Sikap Moderat Guru Marzuki Cipinang Muara dalam Maknai ‘Kafir’
Ahad, 28 Maret 2021 | 01:00 WIB
KH Ahmad Marzuki bin Mirsod alias Guru Marzuki, salah satu ulama besar di tanah Betawi yang dimakamkan di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Ia termasuk sosok mahaguru bagi para ulama dan pejuang di Batavia pada era kemerdekaan abad ke-19 dan abad ke-20. Banyak dari muridnya yang kemudian meneruskan estafet dakwah Islam di Jakarta dan sekitarnya.
Di samping terkenal dalam bidang kiprah sosial dan dakwah keislaman, Guru Marzuki juga dikenal sebagai ulama yang melahirkan banyak karya keislaman. Hal ini menjadi bukti dari kontribusi para ulama di Betawi yang mengembangkan nilai-nilai Islam melalui jalur tradisi intelektual.
Karya-karya Guru Marzuki tentu terkait dengan paham Ahlussunnah wal Jamaah yang menganut aliran Asy’ariyah-Maturidiyah dalam teologi, mazhab Syafi’i dalam fiqih, dan aliran al-Ghazali dan al-Baghdadi dalam tasawuf.
Dalam hal ini, dibuktikan melalui biografinya dalam mengembara ke Mekkah dan mengambil ilmu kepada ulama-ulama yang secara genealogi keilmuan bersandar pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti Syekh Mahfudz Termas, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan Syekh Umar Syatha, serta ulama lainnya.
Pada konteks pemikiran Guru Marzuki di bidang teologi, setidaknya ada tiga karya yang membicarakan hal tersebut, yaitu Zahr al-Basatin fi Bayan al-Dala’il wa al-Burhan, Sabil al-Taqlid fi ‘Ilm al-Tauhid, dan Siraj al-Mubtadi fi Usul al-Din al-Muhammadi.
Karya-karya tersebut menjelaskan secara eksplisit bahwa Guru Marzuki menganut paham Aswaja. Misal Siraj al-Mubtadi, disebutnya sebagai sebuah risalah sederhana namun besar manfaatnya yang mengandung akan kaidah-kaidah Ahlussunnah wal Jamaah.
Yang menarik dari ragam karya tersebut adalah sikap Guru Marzuki dalam memahami makna penyebutan kata ‘kafir’. Penelitian Agus Iswanto (2016) yang berjudul Antara Ketaatan Beragama dan Toleransi Sosial: Membaca Pemikiran Guru Marzuki Muara di Betawi tentang Kafir (1877-1934) menyebutkan bahwa Guru Marzuki memberikan peringatan untuk tidak boleh mengkafirkan seseorang selama ia masih mengakui beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebagaimana kutipan dalam Zahr al-Basatin, ”...Tetapi tiada harus mengkafirkan orang Muslim melainkan setelah tahqiq (pasti) kafirnya, karena kebanyakan yang menjadi kafir itu kembalinya kepada qasad (niat) dengan hati. Dan qasad dengan hati itu tiada dapat diketahui.”
Serta kutipan dalam Siraj al-Mubtadi, “...Tetapi jika mengaku bahwa ia orang Islam dan bertingkah laku orang Islam, maka wajib atas kita adab akan dia sebagai kita adab kepada orang Islam, seperti memberi hormat akan dia dan lain-lainnya daripada adab yang patut bagi orang Islam. Karena tiada harus mengkafirkan orang mengaku orang Islam sekalipun ada ia kafir pada Allah Ta’ala.”
Status kekafiran
Guru Marzuki melalui Zahr al-Basatin, sebagaimana dijabarkan oleh Iswanto, membatasi status kekafiran seseorang pada tiga hal. Pertama, berdasarkan perkataan yang menunjukkan ingkar akan Allah dan Rasul-Nya, seperti mengingkari ayat Al-Qur’an. Kedua, berdasarkan mempermainkan hukum-hukum syariat dari Allah dengan tujuan menyepelekannya. Ketiga, berdasarkan perbuatan yang menunjukkan penyembahan kepada makhluk dengan keyakinan mengagungkan selain Allah.
Akan tetapi, Guru Marzuki juga memberi penegasan bahwa bagaimana pun status kekafiran seseorang itu, baik yang muncul dari perkataan atau perbuatan, harus mempertimbangkan pada tujuan (bahasa Guru Marzuki: qasad) atau niat orang tersebut.
Konteks yang pasti (tahqiq) pada status kekafiran adalah orang-orang yang tidak meyakini prinsip-prinsip keimanan. Jenis kafir ini dicontohkannya berupa kaum penganut agama Nasrani dan Yahudi yang benar-benar nyata bahwa mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Menurut Iswanto, sikap kehati-hatian Guru Marzuki ini didasari pemikiran Imam Abu Hasan al-Asy’ari sebagai pelopor manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam al-Ibanah fi Usul al-Diyanah, al-Asy’ari mengungkapkan soal perlunya kehati-hatian dalam menilai kafir seorang Muslim dengan mengatakan, “jangan mengafirkan sesama Muslim karena perbuatan dosa yang dilakukannya selagi ia tidak menghalalkannya.”
Dengan begitu, pemikiran Guru Marzuki yang tidak sembarang mengajukan klaim kafir ini menunjukkan sikap yang mengedepankan keseimbangan dan toleransi. Kafir atau tidaknya seseorang tergantung pada keyakinan hati atau niat orang tersebut di mana hanya Tuhan yang mengetahui.
Sebagai Muslim, sangat tidak pantas untuk secara mudah memvonis musyrik atau kafir kepada sesama Muslim lain tanpa nyata bentuk kekafirannya, karena hal itu bisa menimbulkan fitnah. Di sinilah perlunya ada pembuktian yang salah satunya melalui klarifikasi.
Sikap yang penuh kehati-hatian dengan mengedepankan pertimbangan merupakan karakteristik dari sikap-sikap al-tawassuth (moderat). Pemikiran Guru Marzuki ini sangat penting untuk diterapkan di tengah-tengah maraknya radikalisme dengan dalih agama.
Mengkaji karya-karyanya, bukan hanya sekedar mengembangkan tradisi intelektual, namun bisa dijadikan upaya untuk mengedepankan prinsip moderasi keagamaan serta menjaga tradisi keislaman Nusantara.
Penulis: Ahmad Rifaldi
Editor: Musthofa Asrori