Tokoh

Syekh Ahmad At-Tijani, Pendiri Tarekat yang Dapat Ijazah dari Rasulullah

Jumat, 27 September 2024 | 18:00 WIB

Syekh Ahmad At-Tijani, Pendiri Tarekat yang Dapat Ijazah dari Rasulullah

Ilustrasi tarekat Tijani. Sumber: Canva/NU Online

Salah satu tarekat mu‘tabarah yang banyak dianut muslim Indonesia adalah Tarekat Tijaniyyah. Sebelumnya, tarekat ini sempat mengalami pro-kontra. Polemik ini tidak lepas dari sosok pendirinya, yaitu Syekh Ahmad At-Tijani yang mendapatkan ijazah secara langsung dari Rasulullah.


Pihak yang menolak menganggap bahwa mustahil Rasulullah yang telah wafat ratusan tahun silam bisa memberikan ijazah. Sementara pihak yang menerima meyakini bahwa Rasulullah bisa menampakkan diri dalam wujud nyata dan berinteraksi dengan umatnya yang telah diberikan keistimewaan oleh Allah, di antara umatnya tersebut adalah Syekh Ahmad At-Tijani.


Biografi dan perjalanan spiritual Syekh Ahmad At-Tijani dapat ditemukan di sejumlah kitab, salah satunya adalah kitab Faidhur Rabbânî karya ulama Tijaniyyah asal Surabaya, Syekh Muhammad Yusuf. Kitab yang cukup representatif ini menjadi kitab manaqib Syekh Ahmad At-Tijani yang sering dibaca oleh para pengamal Tarekat Tijaniyyah.

 

Kitab tersebut juga dipercaya bisa membawa keberkahan bagi orang yang membaca dan mendengarkannya. Keterangan ini sebagaimana dijelaskan Syekh Muhammad Yusuf dalam Faidhur Rabbâni fî Ba‘dli Khashâ’isi Sayyidinâ Abil ‘Abbas At-Tijâni (hlm. 6)


أَمَّا بَعْدُ، فَهَذِهِ رِسَالَةٌ مَنْقُوْلَةٌ مِنَ الْكُتُبِ التِّجَانِيَّةِ فِي بَعْضِ خَصَا ئِصِ صَاحِبِ الطَّرِيقَةِ الْأَحْمَدِيَّةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ الْإِبْرَاهِيمِيَّةِ الْحَنِيفِيَّةِ


Artinya: “Selanjutnya, risalah ini adalah saduran dari kitab-kitab Tarekat Tijaniyyah yang menerangkan keistimewaan pemilik tarekat Ahmadiyyah Muhammadiyyah Ibrahimiyyah Hanifiyyah,” 


Dalam kitab Faidhur Rabbâni juga dijelaskan, Syekh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad At-Tijani lahir di daerah ‘Ain Madhi atau disebut juga dengan Madhawi, Provinsi Laghouat, Aljazair pada tahun 1150 H atau 1737 M. Keluarganya termasuk dari kalangan agamawan dan orang tuanya pun merupakan dzuriyyah Rasulullah dengan jalur keturunan sebagaimana berikut:


Syekh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad bin Salim bin ‘Al-‘Id, bin Salim bin Ahmad Al-‘Alwani bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Jabbar bin Idris bin Ishak bin Ali Zainal Abidin bin Ahmad bin Muhammad An-Nafsuz Zakiyyah bin Abdullah bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan As-Sibti bin Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah.


Guru-guru Syekh Ahmad At-Tijani

Syekh Ahmad At-Tijani termasuk orang yang cerdas dan gigih belajar sejak masih kecil, hal ini terlihat ketika baru berusia 7 tahun ia sudah bisa hafal Al-Qur’an di bawah bimbingan Syekh Muhammad Hamawi. Semangatnya dalam mencari ilmu tidak pernah padam, ia terus menggali hingga menguasai ilmu ushul, furu‘, hingga adab atau tasawuf.


Tidak puas sampai di situ, di usianya yang masih remaja, Syekh Ahmad At-Tijani mempelajari kitab Mukhtashar Syekh Khalil dan Muqaddimah Ibnu Rusyd kepada seorang ulama ma'rifat, Syekh Ibnu Bu‘afiyah Al-Madhawi At-Tijani. Pada saat yang sama, ia juga terus belajar hingga kemudian dipercaya untuk mengajarkan beberapa disiplin ilmu agama Islam, seperti Hadits, Tafsir, Fiqih, Tauhid, dan sebagainya.


Saat menginjak usia 16 tahun, kedua orang tua Syekh Ahmad At-Tijani wafat karena wabah. Meski demikian, hal itu tidak sampai mengganggu rutinitasnya dalam belajar dan mengajar. Sebaliknya, semangat mencari ilmu dalam dirinya terus menyala sehingga di usia 21 tahun, ia hijrah ke kota Fez, Maroko.


Di kota ini ia menggali ilmu kepada sejumlah guru-guru mulia, di antaranya adalah Syekh At-Thayyib Alwâni, Syekh Ahmad As-Shaqali yang dikenal sebagai wali qutub, Syekh Muhammad Wanjali, Syekh Abdullah bin ‘Arabi Al-Andalusi. Ia juga berguru kepada Syekh Abul ‘Abbas Ahmad At-Thawasyi dan ditalqin sebuah zikir serta diperintahkan untuk berkhalwat sampai datang futuh.


Tidak lama kemudian ia kembali ke ‘Aini Wadli yang sebelumnya diperintahkan oleh Syekh Wanjali, selanjutnya ia menetap di kota Tilimsan. Pada tahun 1186 H, Syekh Ahmad At-Tijani berangkat ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi. Perjalanan ini berlangsung cukup lama karena selain faktor kendaraan yang saat itu belum modern, ia juga sowan kepada sejumlah ulama-ulama khash.


Di Kota Azwawi, ia sowan kepada Syekh Abdullah bin Abdurrohman Al-Azhari untuk baiat Tarekat Khalwatiyyah. Di Tunisia, tepatnya di daerah Susah, ia menetap selama satu tahun dan bertemu dengan Syekh Abdussomad Ar-Raḫawi yang mempertemukannya dengan seorang wali qutub. Di Kairo, ia berguru kepada Syeikh Mahmud Al-Kurdy. 


Pada tahun 1187 H, ia sampai di Kota Makkah dan belajar kepada ulama sufi terkemuka di zamannya, Syekh Abil ‘Abbas Muhammad bin Abdullah Al-Hindi dan mendapatkan berbagai ilmu, hikmah, asrar dan anwâr. Uniknya, pola belajarnya berlangsung melalui surat menyurat dan khadim Syekh Al-Hindi menjadi perantara keduanya. Di antara isi surat tersebut adalah mendoakan agar Syekh Ahmad At-Tijani mendapat kedudukan mulia seperti Syekh Abul Hasan As-Syadzili.


Setelah ibadah haji ditunaikan dengan sempurna, ia berangkat menuju Madinah untuk berziarah ke makam Nabi. Usai berziarah ia bergerak menuju seorang wali agung, pendiri Tarekat Sammaniyyah, Syekh Samman yang menyebut bahwa Syekh Ahmad At-Tijani akan menjadi seorang wali bergelar Quthbul Jami‘.


Selanjutnya ia pulang dan transit di Kairo untuk kembali sowan kepada Syekh Mahmud Al-Kurdy. Oleh gurunya tersebut, Syekh Ahmad At-Tijani diberi izin untuk menyebarkan Tarekat Kholwatiyyah. Ia pun pamitan dan menetap di beberapa kota, yaitu Kota Tilimsan, As-Shahra, Syalalah, Atwat, dan Abi Samghun. Di kota-kota ini ia bertemu dengan sebagian para wali Allah.


Bertemu Rasulullah

Setelah berkhalwat dan menghindari pertemuan dengan manusia di Abi Samghun dan Syalalah, tingkat spiritualitas Syekh Ahmad At-Tijani semakin matang hingga ia dapat bertemu secara langsung dengan Rasulullah secara kasatmata. Meskipun hal ini sempat menjadi kontroversi, situasi akhirnya mereda setelah orang-orang menyadari keagungan Rasulullah dan keistimewaan umatnya yang mampu meningkatkan dimensi spiritual mereka.


Dalam pertemuan tersebut, Rasulullah meng-ijazah-kan wirid untuk diamalkan dan disebarkan kepada murid-murid Syekh Ahmad At-Tijani, yaitu bacaan istighfar dan shalawat. Pada tahun 1200 H yang bertepatan dengan genapnya usia 50 tahun, Syekh Ahmad At-Tijani di-talqin oleh Rasulullah berupa bacaan Hailalah. Tidak hanya itu, ia pun diperintahkan untuk meninggalkan semua bacaan tarekat lain. 


Pada bulan Muharam 1214 H, Syekh Ahmad At-Tijani mendapat pangkat wali quthbaniyyatul ‘udhma. Selanjutnya, pada tanggal 18 Safar 1214 H, ia menggapai pangkat wali tertinggi yang bergelar khâtimul auliya. Sampai saat ini, tanggal tersebut dijadikan sebagai momentum Idul Khatmi di kalangan para pengamal Tarekat Tijaniyyah.


Gelar khâtimul auliya ini juga sempat mengundang kontroversi karena secara bahasa, istilah ini bisa diartikan sebagai penutup para wali. Secara sepintas, hal ini seolah menganggap bahwa tidak ada wali lagi setelah Syekh Ahmad At-Tijani. 


Untuk memahami konsep khâtimul auliya, Saepudin dalam disertasi ‘Dinamika Pemahaman Al-Khasa’iṣ dalam Ajaran Tarekat Tijaniyah’ (2018: 142) mengutip penjelasan Muqaddam Tarekat Tijaniyyah, KH Tb Ahmad Rifqi Chowash. Muqaddam adalah gelar untuk seorang mursyid atau guru pembimbing dalam Tarekat Tijaniyyah. Sa


Makna khâtimul auliya bukan berarti setelah beliau itu tidak ada wali lagi. Artinya di sana tidak ada maqam wilayah yang lebih tinggi kedudukannya dibanding maqam auliya ini. Bisa jadi ada para auliya, para aqtab, tapi tidak sebanding dengan maqam beliau.” 

 

Secara hierarki, wilayatul ‘uzhma adalah gelar yang disandang oleh para sahabat Nabi karena mereka murid langsung Rasulullah sehingga wali aqtab mana pun pangkatnya tetap ada di bawah para sahabat, kecuali untuk khatimul auliya karena pangkat ini sejajar dengan para sahabat dan semua ajarannya diawasi langsung oleh Rasulullah. Wallahu a‘lam.

 

Ustadz Muhammad Aiz Luthfi, Pengajar di Pesantren Al-Mukhtariyyah Al-Karimiyyah, Subang, Jawa Barat.