Warta

GP Ansor Dukung Revisi UU Penataan Ruang

Selasa, 6 Maret 2007 | 09:32 WIB

Jakarta, NU Online
Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor mendukung sepenuhnya langkah DPR untuk merevisi Undang-undang (UU) Penataan Ruang. Hal itu diharapkan mampu menjadi solusi atas berbagai persoalan dan kesemrawutan pembangunan di Indonesia. Pasalnya, hingga saat ini, keberadaan UU tersebut dinilai sangat tidak efektif.

“(GP, Red) Ansor mendukung sepenuhnya upaya revisi Undang-undang tersebut. Karena selama ini Undang-undang tersebut tidak efektif. Daerah-daerah kerap tidak konsisten dengan perencanaan pembangunan yang sudah ditetapkan,” kata Ketua Umum PP GP Ansor Saifullah Yusuf kepada wartawan di sela-sela dialog publik tentang Tata Ruang Nasional, di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Selasa (6/3)

<>

Dialog bertajuk “Tata Ruang Nasional: Antara Kepentingan Publik dan Ekonomi (Telaah Kritis Revisi UU Penataan Ruang)” yang digelar PP GP Ansor itu menghadirkan sejumlah narasumber. Antara lain, Dirjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum Dr Ir Hermanto Dardak M.Sc, Wakil Ketua Pansus UU Tata Ruang DPR RI Abdullah Azwar Anas, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor Ernan Rustiadi dan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Chalid Muhamad.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Saifullah yang juga Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal meminta revisi tersebut juga mampu memberikan sanksi setegas-tegasnya bagi setiap pelanggar undang-undang itu. Selama ini, menurutnya, berbagai persoalan tentang tata ruang diakibatkan tidak adanya sanksi yang tegas. “Undang-undang (sebelum revisi, Red) itu kan nggak ada sanksinya,” tandasnya.

Dalam kesempatan itu, Saiful juga mengungkapkan, sudah saatnya perencanaan pembangunan di Indonesia mempertimbangkan aspek keterpaduan. Sehingga, pembangunan bisa dilakukan secara menyeluruh. Selama ini, katanya, perencanaan pembangunan di negeri ini seakan berjalan sendiri-sendiri. Padahal, antara satu daerah dengan daerah lainnya memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan begitu saja.

Politisi yang baru saja pindah ke Partai Persatuan Pembangunan itu tak membantah jika usulannya secara substansi mirip dengan konsep kota megapolitan yang digagas Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. “Megapolitan atau apapun kan cuma nama saja. Substansinya sama, yaitu aspek keterpaduan antara satu daerah dengan daerah lainnya,” ujarnya.

Konsep keterpaduan pembangunan itu, tambah Saiful, diharapkan juga mampu melahirkan aspek keunggulan bagi masing-masing daerah sehingga terdapat hubungan yang saling mendukung. Hingga saat ini, katanya, pembangunan pada sebagian besar daerah di Indonesia seakan tidak memiliki arah dan tujuan serta ciri khas tersendiri.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

“Kota Malang yang dulunya disebut sebagai kota pelajar, sekarang nggak jelas lagi. Kota pendidikan, bukan. Kota industri, bukan. Kota pariwisata, bukan. Kota perdagangan juga bukan. Sekarang menjadi tidak jelas,” ungkapnya.

Senada dengan Saiful, Chalid Muhamad menjelaskan sejumlah permasalahan mendasar dalam pembangunan di Indonesia. Pertama, perecanaan pembangunan di negeri ini terlalu berorientasi pada kepentingan ekonomi sesaat. Sehingga mengabaikan aspek keseimbangan ekosistem yang sangat penting untuk tetap dijaga.

“Mal dibangun di mana-mana. Sementara tidak ada sisa lagi lahan bagi penampungan air. Sehingga tidak bisa disalahkan kalau musim hujan terjadi banjir. Kalau kemarau kekeringan,” terang Chalid.

Kedua, menurut Chalid, perencanaan pembangunan kerap kali mengabaikan aspek bahwa letak geografis Indonesia rawan terjadi bencana alam. “83 persen wilayah di Indonesia rawan bencana alam,” tandasnya.

Ketiga, tambahnya, penataan ruang dalam pembangunan di Tanah Air masih berorientasi pada pendekatan wilayah administratif. Penataan ruang seperti itu, menurutnya, telah mengabaikan aspek bahwa alam ini merupakan satu kesatuan ekosistem yang tidak bisa dipisahkan.

Keempat, lanjutnya, UU Tata Ruang belum menjadi rujukan bagi pemerintah untuk membangun daerahnya. Keberadaannya akan digunakan hanya untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kepentingan kaum pemodal. “Kalau mau ada penggusuran, biasanya UU Tata Ruang baru digunakan untuk melegitimasi kebijakan tersebut,” ungkapnya. (rif)


Terkait