Warta

Jangan Mata-matai Pesantren

Rabu, 19 Oktober 2005 | 05:47 WIB

Jakarta, NU Online
Mantan Cawapres Golkar, Salahuddin Wahid, berharap pemerintah tidak lagi membuka front dengan umat Islam dengan memata-matai pesantren. Gus Solah sapaan akrab Salahuddin-- berharap pemerintah mengurungkan niatnya melakukan cara-cara Orde Baru, apalagi sekedar memenuhi pesanan asing.

''Saya kira, janganlah sampai dilakukan. Sebab, kalau itu terjadi lagi, kiamat lah kita semua. Artinya, pemerintah kembali lagi berseteru dengan umat Islam,'' kata Gus Solah di sela-sela acara diskusi ''Satu Tahun Pemerintahan SBY-JK'' yang diselenggarakan Forum Indonesia Bersatu (FIB), di Jakarta, Selasa (18/10).

<>

Gus Solah berharap mulai berseminya kepercayaan umat Islam kepada pemerintah tidak dicederai tindakan-tindakan yang tidak perlu. Tindakan memata-matai pesantren, kata Gus Solah, akan mengorek luka lama yang traumatis, di mana umat Islam dipandang sebagai seteru. Khususnya, kata dia, periode 1970-1990-an.

Salahuddin mengatakan, mengaitkan Islam dengan terorisme merupakan sikap gegabah. Sebab, kata anggota Komnas HAM ini, ajaran Islam --termasuk yang diajarkan di pesantren-pesantren-- jelas tidak membenarkan tindakan terorisme. ''Jadi, jangan curiga berlebihan. Apalagi sekedar bertujuan melayani kepentingan pihak luar,'' sindirnya.

Anggota Fraksi PPP DPR, Lukman Hakim Saifuddin, juga mengatakan ''intelijen masuk pesantren'' adalah kebijakan yang tidak perlu. Kalau ada masalah-masalah dengan pesantren, kata dia, cukup ditangani oleh pihak kepolisian. ''Terus terang, kebijakan itu membuat saya khawatir pesantren akan disusupi intelijen seperti dulu,'' katanya.

Lukman yang juga anggota Komisi III DPR yang membidangi Hukum dan HAM itu menilai penyusupan intel ke pesantren bisa membuat pesantren jadi korban. ''Kalau ada apa-apa, pesantren akan dikambing hitamkan dan umat Islam akan disudutkan,'' katanya. Lukman berpesan agar para pengelola pesantren meningkatkan kewaspadaan.

Gus Solah meminta semua pihak cermat dalam mengatur tindakan aparat intelijen. Aparat Bintara Pembina Desa (Babinsa), kata Gus Solah, juga harus ditata secara proporsional. Penataan proporsional, kata dia, juga perlu dilakukan untuk perangkat RT/RW. ''Mereka jangan menjadi intel untuk mengawasi rakyatnya sendiri,'' katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, kekhawatiran atas intervensi pemerintah terhadap pesantren itu, mulai mencuat saat terjadinya peristiwa Bom Bali II, 1 Oktober. Mula-mula, yang mucul ke permukaan adalah upaya menghidupkan Komando Teritorial, dengan mengembalikan fungsi Babinsa untuk melakukan pembinaan teritorial.

Masalah Koter ini mulanya muncul dalam pidato Presiden SBY dalam HUT TNI ke-60. Presiden meminta supaya TNI membantu menangani masalah terorisme dengan melakukan operasi militer nonperang. Dan Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto, mengatakan akan menghidupkan Koter. Selanjutnya, terdengar Babinsa mulai menyatroni pesantren. Saat masalah Koter masih diperdebatkan, Wakil Presiden, Jusuf Kalla, mengemukakan pernyataan bahwa pesantren perlu diawasi. (rol/cih )

 

 


Terkait