Warta

KH Ma’ruf Amin: Fikih Ekonomi Harus Berdasar Satu Madzab Saja

Rabu, 1 Agustus 2007 | 01:17 WIB

Jakarta, NU Online
Meski Nahdlatul Ulama (NU) membuka ruang perbedaan madzab fikih, namun fatwa-fatwa keagamaan yang menyangkut persoalan ekonomi harus berdasar pada satu mazbab saja karena sudah menyangkut persoalan global.

Demikian disampaikan Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ma’ruf Amin dalam acara silaturrahmi pengurus NU dari jajaran Mustasyar, Syuriah dan Tanfidziyah di kantor PBNU, Selasa (31/7).

<>

“Pada waktu pertemuan di Kuala Lumpur saya sudah menyampaikan usulan adanya tashwiyatul manhaj atau satu penyamaan metode di dalam membuat fatwa tentang ekonomi, karena ekonomi ini global sifatnya. Ada satu produk misalnya di Indonesia dikatakan haram, padahal di Malaysia atau di Bahrain, atau Inggris dikatakan halal. Ini bagaimana?” kata kiai Ma’ruf Amin.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Pada persoalan ibadah umat Islam bisa berbeda-beda madzab, entah mengikuti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hambali. ”Dalam masalah ibadah kita menggunakan madzab kita masing-masing lah! Tapi dalam soal ekonomi perlu ada taswiyatul madzab. Saya sudah menyampaikan ini di hadapan ulama dari ArabSaudi, Bahrain dan lainnya, mereka mengatakan ini muhimmah jiddan, penting sekali,” katanya optimis.

Pernyataan Kiai Ma’ruf Amin mengenai pentingnya kesatuan madzab dalam masalah ekonomi itu menyusul penyampaian Wakil Rais ’Aam Syuriah PBNU KH Tholhah Hasan tentang perlunya para kiai mempersiapkan bakal terjadinya pluralisme madzab fikih di lingkungan NU. Menurut Kiai Tholhah, diperkirakan 10 tahun ke depan, pluralisme madzab itu akan benar-benar terjadi.

”Anak-anak kita sekarang yang sudah belajar di Maroko, Aljazair, Libia, Turki dan sebagainya Mereka sudah membaca kitab-kitab semua imam madzab sekaligus, jadi tidak hanya Syafi’i. Sekarang ini saja di Indonesia kitab-kitab madzab selain Syafi’i sudah banyak,” kata kiai Thalchah

Diperkirakan, para ulama NU ke depan akan lebih menghargai ”reputasi keilmuan” daripada ”reputasi kemazdhaban”. Para ulama NU ke depan akan memilih pendapat dari madzabmanapun yang paling kuat argumentasi ilmiahnya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

”NU memang membolehkan perbedaan madzab. Tapi kita belum membuat satu aturan tentang itu. Mungkin saja nanti ada kiai di jajaran Syuriah yang bermazhab Maliki atau lainnya. Kalau tidak kita persiapakan saya kuatir kita nanti benturan sendiri gara-gara itu,” kata kiai Tholhah.(nam)


Terkait