Warta

Kiai Tolchah: Gagasan Liberalisme Harus Dalam Kerangka Tawassuth wal I’tidal

Selasa, 27 Desember 2005 | 14:12 WIB

Jakarta, NU Online
Dalam tradisi pemikiran yang dimiliki NU terdapat istilah ‘mendahulukan naql (wahyu) dari pada aql (akal)’. Artinya, dalam membuat sebuah produk hukum atau mengembangkan pemikiran kontemporer yang menjadi sandaran utama adalah naql. Peran aql adalah sebagai sarana penyesuaian dengan realitas perkembangan jaman.

Demikian diungkapkan Wakil Rais ‘Aam PBNU, Drs. KH. Moh. Tolchah Hasan saat hadir pada diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Pemberdayaan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU, di Jakarta, Selasa (27/12). Ungkapan itu disampaikannya menanggapi fenomena liberalisasi pemikiran di kalangan anak muda NU.

<>

Kiai Tolchah—demikian panggilan akrab mantan Menteri Agama di era Gus Dur ini—mengatakan bahwa meski saat ini proses pewahyuan sudah berhenti, namun nash (teks wahyu) tetap menjadi landasan utama. “Nash kan sudah berhenti. Tapi posisinya tetap yang utama. Aql mengikuti naql,” terangnya.

Perdebatan seputar mana yang didahulukan antara naql dan aql, kata Kiai Tolchah sebenarnya telah berlangsung lama. Perdebatan itulah yang kemudian melahirkan dikotomi antara kalangan liberalis dan kalangan fundamentalis. “Liberalis diwakili oleh Mu’tazilah. Sementara yang fundamentalis diwakili Khawarij,” terangnya.

Hal itu juga terjadi dalam tradisi pemikiran di NU. Dalam sejarah perjalanan NU dari waktu ke waktu, ujar Kiai Tolchah, selalu diwarnai munculnya kelompok yang dianggap liberalis dan kelompok fundamentalis. Ditambahkannya, fenomena tersebut merupakan hal biasa dan bukan barang baru di NU. “Hanya saja yang baru istilah liberal dan fundamental itu. Kalau substansinya sudah ada dari dulu,” tandasnya.

Demikian juga dengan yang terjadi dewasa ini. Liberalisasi pemikiran seolah-olah menjadi tren di kalangan anak muda NU. Anak muda NU tampak lebih akrab dengan tema-tema liberalisme Islam atau Islam liberal. Hal itu menurutnya sebuah kewajaran dan merupakan sunnatullah.

“Perbedaan pendapat dan pemikiran itu sunnatullah. Begitu juga leberalisasi pemikiran yang terjadi di kalangan anak muda NU, yang kemudian dianggap ‘nakal’ atau ‘liar’ itu adalah sebuah kewajaran,” ungkap mantan Rektor Universitas Islam Malang (Unisma) ini.

Meski demikian, Kiai Tolchah berpesan kepada anak muda NU agar lebih berhati-hati dalam berpikir dan mengambil sikap. Ia berpesan bahwa harus ada batasan-batasan tertentu yang bisa dijadikan patokan dalam berpikir. “Gagasan liberalisme itu harus diletakkan dalam kerangka tawassuth wal i’tidzal,” ujarnya.

Selain itu, Kiai Tolchah juga berpesan kepada anak muda NU agar dalam penyampaian gagasan-gagasannya lebih menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat umum. Pasalnya selama ini ia melihat pemikiran liberal itu disampaikan dalam bahasa yang cukup asing bagi telinga masyarakat umum. Tidak heran jika kemudian banyak yang menolaknya.

Menurutnya, persoalan bahasa itu penting, karena berhasil atau tidaknya sebuah dakwah tergantung pada penggunaan bahasanya. “Kenapa al Quran diturunkan dengan bahasa Arab, karena bahasa yang dipahami masyarakat Arab ya bahasa Arab. Coba kalau Nabi Muhammad menyebarkan Islam waktu itu pakai bahasa Yunani. Besar kemungkinan pasti ditolak,” terang Kiai Tolchah. (rif)


Terkait