Warta

Menebar Perdamaian dengan Sikap Kebersamaan

Kamis, 29 Desember 2005 | 03:18 WIB

Jakarta, NU Online
Agama tak ada hubungannya dengan terorisme. Penggunaan kekerasan, sebagaimana dilakukan terorisme bukanlah cara yang dianjurkan dalam agama. Oleh karenanya, agama harus lebih lantang menolak terorisme.

Pernyataan tersebut terungkap dalam Silaturahmi Alim Ulama dan Renungan Akhir Tahun di Jakarta, Rabu (28/12) malam. Dalam acara bertajuk “Menebar Perdamaian, Menolak Terorisme” itu hadir antara lain mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Dr. Syafii Maarif, rohaniwan Franz Magnis-Suseno, mantan Ketua Mantiqi III kelompok Jamaah Islamiyah Nasir Abbas, dan Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Masdar F Mas’udi.

<>

Menurut Syafii, demikian panggilan akrab Syafii Ma’arif, menebar perdamaian dan menolak terorisme bisa dilakukan dengan cara mengedepankan sikap mau menerima perbedaan. “Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan,” katanya.

Untuk menumbuhkan sikap menerima perbedaan tersebut, kata Syafii, bisa dilakukan dengan cara mau menerima dan menghormati hak orang lain. Menghormati dalam kontek menerima perbedaan artinya tidak saling meniadakan keberadaan orang lain. Demikian juga ajaran-ajaran yang melecehkan sikap kebersamaan tidak bisa diterima. “Saya tidak sepakat jika ada ajaran yang meniadakan egalitarianisme,” tegasnya.

Senada dengan Syafii, Rohaniawan Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa kebersamaan dalam keberagaman sangat perlu ditumbuhkan. Untuk mewujudkan kebersamaan itu, menurut Magnis, demikian panggilan Frans Magnis Suseno, perlu ada komunikasi intensif antar-umat dari latar belakang agama, suku atau budaya yang berbeda. “Perlu selalu ditekankan sikap kebersamaan hidup sebagai suatu bangsa, katanya.

Magnis menegaskan, agama harus mengedepankan sikap positif dan terbuka terhadap perbedaan. Agama tidak boleh ramah terhadap kezaliman dan kejahatan. Namun, agama ramah terhadap manusia dengan ajaran yang menyejukkan.

Penggunaan kekerasan dan kekuasaan hendaknya tidak dilakukan dalam menyelesaikan masalah yang berlatar belakang perbedaan. “Yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana kita menghadapi mental yang bisa membuat orang menjadi suka dengan kekerasan, katanya.

Pada kesempatan lain, Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, mengingatkan agar pemerintah tidak terlalu jauh mencampuri urusan keagamaan. Pemerintah tidak selayaknya melakukan penutupan pondok pesantren atau jamaah yang dinilai sesat.

Menurut Gus Dur, penilaian sesat atau tidak suatu ajaran bukanlah pemerintah, melainkan masyarakat. Jika suatu ajaran atau kelompok dianggap mengganggu ketertiban masyarakat, bisa ditindak secara hukum.

Tetapi, harus jelas siapa pihak yang berhak menentukan suatu kelompok itu sudah mengganggu atau tidak. Menurut saya, yang berhak adalah MA (Mahkamah Agung), kata Gus Dur. (rif)


Terkait