Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah telah mengeluarkan fatwa haram terhadap daging gelonggongan. Dasarnya, daging tersebut biasanya berasal dari hewan yang telah mati sebelum disembelih.
''Oleh karena telah mati dahulu sebelum disembelih, maka termasuk bangkai,'' ujar Sekretaris Umum MUI Jateng Ahmad Rofiq, di Semarang, Rabu (3/9) kemarin.<>
Dikatakannya, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan ekstra terhadap peredaran daging gelonggongan di bulan Ramadhan. Pengalaman tahun sebelumnya menunjukkan, biasanya selama Ramadhan peredaran daging bangkai itu meningkat, seiring peningkatan permintaan daging di masyarakat.
Rofiq menjelaskan, fatwa haram atas daging gelonggongan dikeluarkan MUI Jateng pada Februari 2006. Sebagai barang haram, daging gelonggongan tidak boleh dikonsumsi dan diperjualbelikan.
"Dengan dipaksa dimasuki air atau digelonggong, biasanya hewan yang akan disembelih itu sudah mati duluan. Jadi, sudah jadi bangkai baru disembelih," ujar Rofiq.
Dalam dua hari pertama Ramadhan, telah lebih dari tiga kuintal daging gelonggongan ditemukan beredar di Kota Semarang. Satu kuintal ditemukan petugas Dinas Pertanian Kota Semarang pada pemeriksaan rutin, Selasa (2/9) dinihari. Dua kuintal lainnya tertangkap razia Satpol PP di Pasar Wonodri Baru dan Pasar Johar, pada malam sebelumnya.
Keseluruhan daging gelonggongan yang ditemukan diperjualbelikan itu berasal dari Ampel, Boyolali, Jateng. Ada yang telah dilengkapi dengan stempel RPH Boyolali, tapi sebagian lainnya tidak dilengkapi surat keterangan sama sekali.
Selain daging sapi gelonggongan, Rofiq mengimbau, masyarakat juga mewaspadai kemungkinan peredaran daging bangkai. Tingginya permintaan daging ayam, membuka peluang peredaran ayam bangkai di pasaran.
Dikatakannya, meski ayam sudah mati, kadang-kadang tetap disembelih dan diperjualbelikan. Selain tidak halal, penjualan daging bangkai juga membahayakan kesehatan konsumen. ''Karena daging tersebut lebih mudah busuk dan terkontaminasi bibit penyakit,'' kata dia. (sm)