Bedah buku dan Seminar Nasional bertajuk 'Ijtihad Kiai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender' di Gedung Student Center IAIN Sunan Ampel Surabaya, beberapa waktu lalu mendapat sorotan tajam dari Katib Syuriah PWNU Jatim, KH Abdurrahman Navis.
Selain membedah buku karya Kiai Husein, acara yang digagasa LSM Rahima Jakarta, PSG IAIN Sunan Ampel, PW Fatayat NU Jatim dan Pesantren Mahasiswa (Pesma) IAIN Sunan Ampel juga melantik Dewan Mahasantri dan peluncuran Islamic Journalism Community serta buletin Fikrun Jadid.<>
Dalam paparanya, Kiai Husein yang hadir dalam acara tersebut menyatakan, dalam Islam posisi laki-laki dan perempuan sebagai manusia sebenarnya tidak pernah dibedakan. Hanya saja pemahaman yang kurang tepat atas ajaran-ajarannya serta didukung oleh kontruksi sosial-budaya diakui menjadi sebab posisi perempuan termarjinalkan hingga menjadi manusia kelas dua setelah laki-laki.
Akibatnya, urai Kiai Husein dalam bukunya, dalam ranah sosial, budaya dan politik keterlibatan perempuan masih dianggap persoalan bagi banyak orang apalagi berkaitan dengan kepemimpinan lokal hingga nasional.
Dalam paparanya, Kiai Husein yang bagi komunitas LSM Rahima disebut sebagai 'Pejuang Gender' tersebut tidak segan-segan menyentil referensi kitab klasik “kitab kuning’ ala pesantren sekedar mengungkap bahwa keadilan gender harus disingkirkan sebab bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, khususnya nilai-nilai cinta kasih (rahmah) serta keadilan (‘adl).
Kontan, apa yang dibicarakan oleh Kiai Husein dalam forum ini mendapat kritikan tajam dari KH Abdurrahman Navis.Pengasuh Ponpes Nurul Huda, Jl Sencaki Surabaya tersebut terang-terangan menolak penggunaan kata Ijtihad dalam judul buku tersebut dan layak direvisi. Sebab, ujarnya, sampai hari ini diakuinya belum ditemukan ulama’ yang besar dimanapun yang mendeklarasikan dirinya sebagai Mujtahid.
''Apa yang dibicarakan oleh Kiai Husein bagi saya lebih pada konteks gender mainstream. Artinya, semua persoalan teks keagamaan yang konon diduga menjadi sebab munculnya ketidakadilan gender ditakwil kembali dengan mengutip berbagai pendapat ulama yang tidak mashur (marjuh),'' tegas Kiai Navis.
Sementara Aktivis Fatayat NU Jatim, Faridatul Hanum lebih memilih jalan tengah terkait kontroversi isu-isu gender. Baginya, perempuan harus “melek” atas realitas yang dialami kaum perempuan saat ini terkait dengan peran-perannya dalam ranah sosial dan budaya. Apapun alasannya, kata dia, perempuan adalah patner penting bagi laki-laki, bukan saingan yang harus dilawan apalagi disingkirkan.
Hanum menegaskan, sudah saatnya pemahaman atas perempuan harus dilihat dari sisi kemampuannya bukan sisi fisik sehingga tidak ada alasan penolakan atas perempuan yang ingin menjadi penguasa.
''Jika memang punya kemampuan lebih apalagi pesaingnya adalah laki-laki yang kurang memiliki komitmen serta tidak memiliki format kekuasaan yang jelas,'' tutur dia. (lan)