Penetapan status lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang dinyatakan akibat faktor alam dan bukan karena aktivitas manusia, merupakan keputusan yang tidak ilmiah dan sarat muatan politik.
Pernyataan tersebut dikemukakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor DI Yogyakarta, Noor Cahyadi SH, di Bandung, Jawa Barat, Senin (18/2) kemarin, seperti dilaporkan Kontributor NU Online di Bandung, Muhammad Yanis.<>
Cahyadi menjelaskan, TP2LS tampak tidak mengindahkan pendapat sejumlah pakar yang menyatakan bahwa semburan lumpur panas tersebut akibat kesalahan manusia (human error). “Banyak ahli geologi di perguruan tinggi di Tanah Air dan bahkan luar negeri menyatakan bahwa ini merupakan human errors bukan factor alam,” ujarnya.
Ia memberikan contoh pendapat Prof Mori, pakar geologi dari Jepang, yang menyatakan bahwa posisi lumpur Lapindo di Sidoarjo ternyata berada jauh di luar episentrum gempa yang terjadi di Yogyakarta.
Menurut Mori, seperti dijelaskan Cahyadi, getaran yang sampai ke Sidoarjo tidak cukup kuat untuk dapat menimbulkan aktivitas gunung api lumpur (mud volcano).
Pendapat para praktisi dan pakar yang mengatakan bahwa semburan lumpur panas bukan bencana alam diperkuat dokumen rapat teknis PT Lapindo Brantas dan rekanan pada 18 Mei 2006. Dokumen itu menggambarkan kronologi kejadian semburan lumpur panas.
Dokumen rapat itu menyatakan, saat pengeboran mencapai 8.500 kaki, PT Medco Energi, sebagai salah satu pemegang saham Lapindo memperingatkan agar operator segera memasang selubung pengaman (casing) berdiameter 9.297 kaki. Tapi, prosedur baku pengeboran itu diabaikan.
Mantan aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia itu meminta sidang paripurna DPR RI menolak ketetapan TP2LS. Selain itu, pemerintah harus melakukan pengkajian secara ilmiah dan mendalam.
“Ini keputusan sesat. Wajib hukumnya bagi angota DPR yang punya nurani dan moral untuk menolak keputusan TP2LS,” pungkas Cahyadi yang juga Koordinator Lembaga Penelitian dan Pengembangan PW GP Ansor DI Yogyakarta. (rif)