Warta

Para Pakar Nilai Lumpur Lapindo Murni Kesalahan Manusia

Rabu, 30 Januari 2008 | 06:46 WIB

Jakarta, NU Online
Para pakar dari bidang teknik pengeboran dan geologi menegaskan bahwa semburan lumpur di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006 murni disebabkan oleh kesalahan manusia.

Tak kurang dari pakar teknik pengeboran dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Rudi Rubiandini, mantan wakil direktur Pertamina Mustiko Saleh, dan Andang Bachtiar - mantan ketua IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) di Jakarta, Selasa (29/1), menolak secara tegas pernyataan yang menyimpulkan semburan lumpur merupakan bencana alam.<>

Menurut Rudi, yang pernah menjadi ketua tim investigasi independen luapan lumpur Lapindo, semua teori yang terus dikembangkan oleh Lapindo sebenarnya sudah terbantahkan oleh fakta-fakta ilmiah.

Teori-teori yang menyebutkan bahwa luapan lumpur merupakan bencana alam - alias di luar kendali manusia dan tidak disebabkan oleh kesalahan manusia - kata Rudi, tidak lain merupakan upaya mengaburkan tanggung jawab dan tidak sejalan dengan fakta ilmiah.

Rudi menjelaskan, teori bencana alam yang katanya akibat luapan panas bumi, gunung lumpur, dan pergerakan akibat gempa tektonik pada 27 Mei 2006 tidak ada yang didukung oleh bukti-bukti ilmiah secara keilmuan.

"Kalau pakai teori luapan geotermal atau panas bumi, seharusnya air di permukaan mencapai 250 derajat Celcius, tapi ’kan ternyata lumpur Porong panasnya cuma 100 derajat," kata pria berkumis itu.

Sementara dugaan luapan lumpur akibat gunung lumpur, Rudi membantah teori itu karena memang lumpur tidak mungkin meluap tanpa pemantik, "Dan pemantiknya itu jelas berupa kegiatan pengeboran."

Dugaan lain yang berlandaskan teori bencana alam, adalah gempa bumi yang bersumber di Yogyakarta.

Dua hari sebelum lumpur meluap di Sidoarjo, terjadi gempa berkekuatan 6,3 skala Richter di Yogyakarta, dan sebagian orang mengkaitkan gempa bumi dengan semburan lumpur.

"Tapi teori ini juga terbantahkan karena Sidoarjo yang 300 km dari titik gempa terlalu jauh untuk terkena efek gempa, para pakar memperkirakan gempa bumi memang bisa memicu pergeseran di bawah tanah bila kekuatannya di atas 9 skala Richter," kata Rudi.

Sementara Mustiko Saleh menegaskan bahwa upaya yang ingin membuat opini publik luapan lumpur merupakan bencana alam merupakan pengalihan persoalan.

"Saya tidak setuju pernyataan Lapindo yang mengatakan luapan ini merupakan bencana alam, karena sebenarnya luapan bawah tanah sudah sering terjadi di sumur-sumur eksplorasi di Indonesia dan bisa ditangani bila penanganannya dilakukan dengan benar dan segera," kata Mustiko yang telah puluhan tahun berpengalaman mengatasi luapan bawah tanah (underground blow out).

Ia mengaku telah menangani kasus-kasus seperti di sumur Lapindo, dan selalu masalah ini datang akibat kesalahan disain.

"Masalah ditambah lagi dengan rig yang buru-buru diambil dari sumur pada 3 Juni, ini karena ternyata pemilik rig takut rugi akibat rig tidak diasuransikan," katanya.

Dari sudut geologi, Andang menjelaskan bahwa kasus lumpur Lapindo sangat sarat akan ketidaktulusan dalam penyelesaian masalah, bahkan internal para ahli tidak pernah ada pembahasan yang komprehensif tentang solusi luapan.

Sebagai geolog, Andang meyakinkan bahwa luapan lumpur Lapindo tidak mungkin disebabkan oleh gempa bumi.

"Bencana alam tidak bisa menjelaskan masalah ini," kata pria yang rambutnya mulai beruban semua itu seperti dilaporkan sumber Antara.

Gugatan hukum terhadap PT Lapindo oleh Walhi telah diputuskan oleh PN Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Dan menurut pertimbangan majelis hakim, luapan lumpur yang kini menenggelamkan berhektar-hektar tanah bukan disebabkan oleh kelalaian aktifitas pengeboran yang dilakukan oleh PT Lapindo.

Majelis melihat tidak ada korelasi antara aktifitas pengeboran dengan meluapkan lumpur dari bawah tanah (underground blow out), alih-alih menyebut Lapindo sebagai pihak yang harus bertanggungjawab, majelis hakim menyatakan bencana alamlah yang menyebabkan fenomena luapan lumpur panas Sidoarjo.

Putusan ini mendapat kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk Walhi yang langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.

"Ada publikasi sistematis yang menyebutkan bahwa lumpur Lapindo adalah fenomena bencana alam," kata Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Walhi.

Ia mengimbau kepada para penegak hukum agar membebaskan diri mereka dari belenggu kepentingan pribadi dan sesaat, karena luapan lumpur akibat aktifitas pengeboran di sumur Lapindo telah membawa implikasi yang sangat besar bagi rakyat dan negara.

Dikutip dari taksiran Greenomics Indonesia, tiap harinya negara rugi 90 miliar rupiah akibat semburan lumpur Lapindo, sementara ribuan orang harus mengungsi dan kehilangan kehidupan yang layak setelah tempat tinggal mereka tenggelam di dalam lumpur. (dar)