Wawancara

Ahmad Tohari: Sastra Islam Menjunjung Tinggi Keadaban Manusia

Senin, 2 Mei 2016 | 08:01 WIB

Ahmad Tohari: Sastra Islam Menjunjung Tinggi Keadaban Manusia

Ahmad Tohari

Mungkin benar bila dikatakan Ahmad Tohari (Kang Tohari) merupakan sosok sastrawan mumpuni dari kalangan NU, dengan karya-karyanya yang tidak dikenal di Indonesia, namun juga sampai ke tingkat dunia. Mengamati proses panjangnya dalam berkarya, bisa menjadi wawasan bagi penulis-penulis NU, apalagi generasi muda, agar bagaimana bisa menciptakan karya Islami yang bernilai abadi. 
Berikut wawancara Kontributor NU Online Kendi Setiawan dengan Ahmad Tohari, (23/4) di Jakarta. 

Kang Tohari, beberapa waktu lalu Kang Tohari menerima penghargaan dari Bakrie Award untuk bidang sastra. Kemudian bulan April ini dimasukkan sebagai 46 Tokoh Inspirasi Pengubah Dunia oleh Harian Media Indonesia. Bagaimana perasaannya?

Soal penghargaan Ahmad Bakrie itu saya merasa bukan penghargaan terhadap pribadi saya. Saya menganggap itu sebagai penghargaan atas eksistensi  kesusastraan Indonesia. Ini menurut saya patut diapresiasi apabila ada satu lembaga yang memberi perhatian kepada kesusastraan Indonesia. Saya berharap penghargaan semacam ini menginspirasi sastrawan-sastrawan muda, tapi dengan pesan ketika menerima penghargaan seperti itu anggaplah itu penghargaan kepada kesusastraan Indonesia secara keseluruhan, bukan dianggap penghargaan sebagai pribadi.

Jadi mewakili dunia sastra ya?

Ya tentu. Karena sebetulnya sastrawan kan secara pribadi tidak mengharapakan apa-apa. Berkarya bukan untuk mencari penghargaan. Kemudian ini, saya mendapat kiriman koran yang isinya ternyata Harian Media Indonesia mengadakan agenda ulang tahun mereka ke 46, jadi angka 46 itu dipakai untuk memilih 46 orang Indonesia yang mereka anggap mampu menembus batas-batas ke-Indonesia-an, batas-batas nasionalitas. Orang-orang yang mampu menghasilkan Indonesia di dunia internasional mereka anggap sebagai orang yang mampu menundukkan dunia. 

Ini mungkin sebutan yang terlalu tinggi. Saya sebagai objek yang ditulis ya berkarya biasa-biasa saja. Kalau itu  dianggap bisa menginspirasi anak-anak  muda ya silakan. Tapi bagi saya itu tidak memengaruhi perasaan apa pun, silakan saja.

Teman-teman muda NU ada juga yang tertarik atau menyukai dunia sastra, tapi mungkin di satu sisi malah tidak menyukai. Sebenaranya kalau menurut Islam, sastra itu seperti apa?

Ya sastra di Islam sebetulnya sudah lama berlangsung berabad-abad di dunia, sudah ada sastra Islam. Misalnya sastra-satra yang mengajarkan hukum-hukum Islam, etika Islam, adab-adab, itu sudah lama ada. Kalau di sini di Indonesia, itu ya sejak Sultan Ali Haji abad ke-18 yang namanya Gurindam 12. Juga ada macam-macam puji-pujian di suku Jawa, Sunda, Madura. Itu kan bentuk sastra lisan. Semuanya mengajarkan nilai-nilai ke-Islam-an. Jadi bagi saya sastra Islam itu suatu sastra yang disemangati oleh nilai-nilai ke-Islam-an. Tidak harus mengajarkan dalil-dalil agama Islam, itu pun saya kira Islami. Jadi selama sastra itu mempertinggi keadaban manusia, saya anggap itu sastra Islam.

Kalau misalnya teman-teman di NU ada yang mengembangkan sastra. itu bagaimana?

Ya malah harus, kan? Jadi anak-anak muda NU harus mengembangkan sastra Islam di kalangan NU sendiri. Tetapi, bukan untuk diberikan atau diabdikan untuk NU melulu, tapi bersastra untuk diabdikan kepada Indonesia, atau bila mana perlu kepada dunia, kepada peradaban ini. Mereka harus menyadari bahwa yang sekarang ada ini sudah pada tua-tua. Saya sendiri, Pak Zawawi Imron, Gus Mus, Kang Acep Zamzam Noor. Itu golongan-golongan tua. Tapi saya tahu yang muda di kalangan NU  juga mulai tumbuh, mulai banyak di kalangan NU.

Berarti Kang Tohari mengikuti perkembangan anak-anak muda di NU?

Ya tentu, tentu saja. Saya melihat banyak sekali potensi di kalangan muda NU. Kaya ‘NU Miring’ Binhad Nurahmat, Candra Malik, Abdullah Wong dan banyak sekali anak-anak muda NU yang di bawah 30 tahun sudah melahirkan karya-karya yang menurut saya menuju proses pematangan dan pendewasaan.

Ada juga yang berpendapat bahwa sejauh ini yang paling baik karya sasatranya sampai mendunia adalah Ahmad Tohari. Nah, bagaimana supaya teman-teman lain juga bisa mengikuti?

Ya teruslah berproses karena siapa pun tidak serta menjadi penulis terkenal. Seorang menjadi penulis terkenal itu berproses lama. Saya sendiri kan mulai menerbitkan karya sastra pada tahun 1971. Kalau dihitung sampai sekarang itu sudah 45 tahun saya berkaryasastra. Kalau katakanlah karya saya mendapatkan pengakuan, itu telah berproses lama sekali. Nah itu artinya apa? Anak-anak muda sekarang pun akan mencapai hal seperti itu apabila mereka terus berproses. Jangan berhenti berproses. 

Tapi ada satu permasalahan nih, Kang Tohari. Teman-teman penulis ketika menulis agak serius atau idealis, kurang diterima oleh publik atau penerbit gitu. Sejauh ini apakah perlu mempertahankan atau beralih ke yang agak pop, gitu?

Menurut saya seorang penulis punya takdirnya sendiri. Kalau dia seorang yang serius yang total, mungkin tidak bisa beralih ke pop. Sebaliknya yang memilih jalur pop mungkin sulit untuk serius. Dua-duanya boleh kok, nggak ada larangan.

Kami ikut mengamati perjalanan Kang Tohari yang sering diundang ke kampus, sekolah dan pesantren untuk memberikan seminar sastra. Di satu sisi saya optimis bahwa sastra yang serius masih diterima, tapi kenyataannya susah. Jadi apa yang paling penting untuk dilakukan calon penulis yang masih muda-muda?

Menurut saya sebagai hobi dulu. Silakan anak-anak muda menulis karya sastra sebagai hobi. Hobi itu bukan berarti main-main. Serius sebagai hobi maksud saya begini, sastra itu kalau yang baru-baru itu kan sulit dijual. Artinya orang yang baru-baru kan sulit untuk mendapatkan penghasilan dari karya sastra. 

Menurut saya boleh-boleh saja kok seorang sastrawan itu jadi wartawan, pedagang, dosen atau guru, ndak papa. Kita juga punya tokoh sastrawan yang nyatanya menjadi pegawai negeri. Pak Budi Darma itu seorang dosen, seorang profesor yang karya sastranya masih sangat bagus pada usia 80 tahun. Juga Pak Sapardi Djoko Damono, itu kan profesor yang sangat setia mengajar, tapi toh tetap berkarya sastra. 

Jadi boleh-boleh saja misalnya ada anak muda yang pedagang kemudian menulis karya sastra. Apalagi bila sastrawan tersebut sudah berkeluarga. Saya tidak setuju apabila sastrawan mengabaikan anak istrinya. Jadi silakan saja berdagang sambil berkarya sastra.

(Kendi Setiawan)


Terkait