Wawancara

Bagaimana Puasa dalam Pandangan Tasawuf?

Kamis, 23 Juni 2016 | 22:30 WIB

ADVERTISEMENT BY OPTAD

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Tujuan berpuasa, sesuai perintah Allah SWT adalah untuk menjadikan manusia bertakwa. Pelaksanaan ibadah puasa tidak hanya sekadar menahan makan dan minum. Dikaji dari sisi tasawuf, puasa harus dilaksanakan dengan melibatkan hati.

Berikut wawancara Kendi Setiawan dari NU Online dengan KH Lukmanul Hakim, dari Majelis Ifta’ Jam’iyyah Ahlu at-Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (Jatman) DKI Jakarta.   

Ibadah puasa itu menurut tasawuf seperti apa?

Ibadah adalah perbuatan yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Nah, puasa itu menahan makan dan minum dari fajar sidiq sampai terbenamnya matahari. Puasa menurut tasawuf, bukan hanya menahan makan minum saja. Tapi harus bisa menjaga lisan dan hati. Makanya apa yang bisa membatalkan pahala puasa harus kita jaga.

Ada lima hal yang bisa membatalkan pahala ibadah puasa, yaitu berbohong, mengadu domba, gibah, bersumpah palsu, dan mengumbar pandangan secara syahwat. Jikalau kita sanggup menghindarkan itu, maka kita bisa menjaga pahala puasa kita. Bukan hanya pahala puasa, tapi mendapatkan pahala di hadapan Allah SWT.

Kalau misalnya sekarang hanya puasa menahan makan dan minum itu puasa yang umum. Karena puasa itu ada dua, yaitu puasa ‘aam (umum) dan puasa khos (khusus). Puasa khos bukan hanya tidak makan dan tidak minum, tetapi termasuk menjaga hati. Maka puasa secara tasawuf tidak sekadar menahan haus dan lapar.

Kalau dari sisi tasawuf seperti apa dalam menjalankan ibadah puasa ini?

Orang yang betul-betul senang dengan datangnya bulan Ramadhan yang diwajibkan berpuasa, puasanya akan menambah semangat. Sehingga terjadi peningkatan ibadah, juga dari fisiknya akan sehat. Seperti dalam hadits disebutkan “Berpuasalah engkau, maka akan sehat.” Insyaallah orang yang sedang sakit pun dengan melaksanakan puasa sesuai aturan, ia menjadi sehat.

Bagaimana upaya-upaya untuk berpuasa seperti yang disebutkan secara tasawuf?

Ya kita harus belajar, bukan hanya dari pelaksanaan secara syariat, tapi juga dari ketasawufannya, artinya belajar masalah hati. Ini yang paling berat. Termasuk orang yang mencapai tingkatan takwa, prosesnya tidak hanya ibadah syariat. Dari tahap muslim meningkat menjadi mukmin, kemudian muhsin. Setelah mukhlisin lalu mutaqqin (bertakwa).

Orang menjadi mukmin tidak hanya cukup dengan syahadat, karena iman itu apa? Iman itu diucapkan dengan lisan, hati meyakininya, dan anggota badan merasakan. Sebab orang muslim, tapi tidak mukmin masih banyak. Misalnya orang Islam, dalam KTP-nya dicantumkan beragama Islam. Tapi ia tidak shalat, itu kan namanya bukan mukmin.

Nah, sekarang melaksanakan ibadah, tapi harus muhsin. Artinya hal yang baik-baik saja yang dikerjakan, yang tidak baik harusnya ditinggalkan misalnya perbuatan maksiat.

Ada cara lain?

Sekarang orang yang sudah muhsin, menjalankan kebaikannya karena ingin dipuji orang lain. Ini jelas akan sia-siapa walaupun itu perbuatan baik. Oleh karena itu harus ikhlas, semata-mata perbuatan yang dikerjakan untuk mengharap ridla Allah SWT, barulah akan mencapai tahap mutaqqin.

Kalau sudah mutaqqin, Allah akan janjikan lima hal seperti disebutkan dalam Al-Qur’an surat At-Talaq ayat 2-5. Wamayyattaqillahi yaj ‘allahu mahrajaa, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan membukakan jalan keluar baginya, artinya akan keluar dari kesulitan.

Kemudian, wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasibu, wa mayyatwakkal ‘alallahi faguwa habuhu. Dan Dia memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya, dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.

Berikutnya, wa mayyattaqqillaha yaj ‘allahuu min amrihii yusraa. Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.

Balasan lainnya bagi orang bertakwa adalah wa mayyattaqillaaha yukaffir ‘anhu sayyi aatihii wa yu’thim lahuu ajraa. Barangsiapa yang  bertakwa kepada Allah, nicscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.

Nah, untuk bisa mencapai tahap takwa seseorang harus lebih dulu ikhlas. Melakukan ibadah tanpa diketahui atau dipengaruhi orang lain. Hal yang sepele adalah saat seseorang misalnya akan mengerjakan shalat sunah, ada perasaan takut dipuji orang lain, akhirnya tidak jadi melakukan shalat sunah. Padahal  kalau ikhlas orang mau bilang apa, dia akan kerjakan demi ridha Allah. Masalah ikhlas ini, kita semua harus belajar, termasuk saya juga masih terus belajar. (Red: Abdullah Alawi)



Terkait