Setelah penetapan ini, seluruh elemen masyarakat khususnya para santri selalu menggelar peringatan dengan berbagai tema. Pada tahun 2016, Hari Santri mengangkat tema Dari Pesantren untuk Indonesia, tahun 2017 Wajah Pesantren Wajah Indonesia, tahun 2018 Bersama Santri Damailah Negeri, dan 2019 Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia.
Eksistensi santri dalam ikut membangun bangsa diperkuat dengan terbitnya Undang-undang Pesantren. Dengan undang-undang ini, santri yang menjadi bagian tak terpisahkan dari pesantren memiliki peluang besar mendapatkan pendidikan yang lebih baik dalam rangka pembentukan karakter santri yang siap terjun ke masyarakat.
Terkait dengan keberadaan santri dan pembinaan karakter di dalam pesantren ini, Jurnalis NU Online Muhammad Faizin berdiskusi dengan Wakil Ketua PWNU Lampung KH Abdul Syukur, Ahad (20/10) yang juga Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung dalam rangka memperingati Hari Santri 2019. Berikut petikan wawancaranya:
Menurut Pak Kiai, apa itu santri?
Santri adalah sosok dalam komunitas yang berada di pesantren. Mereka memiliki tujuan sama untuk menuntut ilmu, khususnya ilmu agama Islam. Mereka tinggal di asrama pesantren untuk ditempa agar memiliki akhlak mulia dan kemandirian. Hal ini diwujudkan dengan berbagai aktivitas mandiri seperti memasak bersama teman-teman untuk melatih kesederhanaan dan persahabatan.
Mereka juga dididik untuk shalat jama'ah bersama sang kiainya yang menjadi imam sebagai wujud membimbing tanggung jawab dan kebersamaan. Santri juga dididik menaati peraturan di pesantren sebagai bentuk disiplin dan kesadaran hidup bersama, hidup berkomunitas dengan kesamaan hak dan kewajiban.
Bagaimana pendidikan karakter yang menjadi nilai lebih dari pesantren dan santri?
Kita semua paham bahwa di pesantren, berbagai perbedaan latar belakang keluarga, asal daerah dan budaya, riwayat pendidikan, niat dan tujuan dari para santri diwadahi melalui penyamaan gelombang frekuensi dengan aturan dan tata tertib di dalam pesantren. Mereka dididik kedisplinan yang tergambar dari intensnya mereka belajar ilmu nahwu (tata bahasa).
Ilmu nahwu sendiri memiliki makna filosofis-etis yakni agar santri membiasakan hidup yang tertata baik, disiplin, rasa dan penuh tanggung jawab, serta hidup yang peduli dan peka kepada orang lain dan lingkungan.
Ilmu Nahwu juga mengajarkan santri belajar kritis. Contoh Qara'tul Qur'ana (saya membaca Al-Qur'an), jika dibaca Qara'tul Qur'anu itu salah. Sebab Qara'a (berarti telah membaca, berkedudukan sebagai fi’il/kata kerja/predikat). Tu itu dhamir/kata ganti berarti saya, yang dalam susunan kalimat berkedudukan sebagai Fail/pelaku/subjek), dan Al-Qur’ana berkedudukan sebagai Maf’ul/objek).
Begitulah watak bahasa Arab dalam Ilmu Nahwu mengajarkan santri bersikap kritis dan analitis adalah sikap dan perilaku santri yang tanggung jawab, disiplin dan santun, membela kebenaran, cinta kebijakan. Itulah santri yang dapat belajar Ilmu Nahwu untuk mengusai bahasa Arab sekaligus mengembangkan karakteristik santri (akhlak mulia, akhlakul karimah).
Karakter apa yang yang harus dimiliki oleh para santri?
Sudah seharusnya para santri mengaplikasikan karakter sesuai ilmu nahwu tadi yang saya jelaskan. Dalam ilmu Nahwu, khususnya Ilmu I'rab santri diajarkan empat tanda bacaan yaitu: Rafa' (dhammah), Jarr (kasrah), Nashab (fathah), dan Jazm (sukun). Keempat dasar tanda bacaan ini bermakna agar santri bisa membaca kalimat (kalam) yang baik dan benar, yang bisa dipahami oleh dirinya dan orang lain, bahkan dengan susunan kalimat yang benar.
Kata atau lafaz yang dipilihnya secara tepat dan lugas itu sebagai petanda santri itu cerdas dan baik budi bahasanya sekaligus sebagai penanda bahwa santri itu berkarakteristik mulia dikenali dari bahasanya. Dalam ilmu logika dinyatakan bahwa bahasa seseorang mencerminkan kepribadiannya, menandai karakteristiknya.
Jadi, apa makna tanda bacaan dalam imu nahwu itu, Pak Kiai?
Secara singkat makna empat tanda bacaan ilmu Nahwu dalam analisis makna filosofis-etis yang pertama adalah tanda Rafa' berarti mengangkat derajat yang tinggi, bahwa santri mesti belajar berakhlak mulia untuk membiasakan berbuat yang baik sehingga terangkat derajatnya dengan akhlak mulianya.
Yang ketiga Nashab atau Fathah berari santri mesti selalu berbuat sesuatu yang mengena sasaran, mimiliki keterbukaan sehingga apa yang ia sampaikan dan yang ia berbuat mengena atau sesusi dengan yang diinginkan masyarakat.
Maka lebih baik diam, sakata, sukun, yaitu tenang, teguh, dan prinsip yang kuat untuk membela kebaikan dan kebenaran. (*)