Wawancara

Soal Papua, Pemerintah Harus Gunakan Pendekatan Jangka Panjang

Selasa, 10 September 2019 | 10:30 WIB

Soal Papua, Pemerintah Harus Gunakan Pendekatan Jangka Panjang

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid usai pertemuan tokoh lintas iman dalam menyikapi kasus Papua, Senin (9/9) di Kantor PBNU Jakarta. (Foto: NU Online/Syakir NF)

Bumi Cendrawasih bergejolak sejak pertengahan Agustus lalu. Hal itu diawali dengan adanya penggerebekan asrama mahasiswa Papua di Surabaya sehari sebelum peringatan Hari Kemerdekaan ke-74 Republik Indonesia.
 
Hal itu pun semakin diperparah manakala ada pengiriman ular hingga minuman keras. Belum lagi teriakan hinaan yang terlontar. Tak ayal hal tersebut menimbulkan gejolak emosi masyarakat Papua. Demo pun terjadi di beberapa kota di Papua dan membakar berbagai fasilitas umum dan perkantoran pemerintah.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan sikapnya bersama tokoh-tokoh agama dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Gedeung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Senin (9/9). Hal itu dilakukan agar kondisi Papua lekas stabil kembali. Mereka menekankan agar pemerintah melakukan upaya persuasif, tidak dengan pendekatan yang represif.

Usai pertemuan tersebut, Syakir NF dari NU Online menemui Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid untuk mengetahui lebih dalam mengenai pengentasan persoalan Papua agar tidak lagi memanas dan tetap sejuk.

Masyarakat Indonesia sampai saat ini masih ada yang mengkelasduakan masyarakat Papua. Bagaimana cara mengubah pola pikir masyarakat Indonesia?

Gus Dur ketika mengelola isu Papua adalah untuk Papua bukan untuk Indonesia. Jadi bukan transaksi gitu loh. ‘Saya melakukan ini untuk kalian karena itu kalian harus berbaik-baik’, bukan gitu. Tapi karena Gus Dur menyadari Papua itu bagian dari Indonesia, kita punya kewajiban supaya kesetaraan, kesenjangan yang sekarang ada itu bisa kita atasi. Itu salah satunya. Jadi berangkat dari dalam sekali.

Jadi, tindakan yang dilakukan sekarang terkesan seperti transaksi, Mbak?

Iya. Iya kan sering sekali ya kalimatnya Papua kan sudah dapat banyak, daerah yang lain gak dapat tuh sebanyak Papua, misalnya, dana otsus misalnya. Tidak bisa begitu. Apakah kita sudah menunaikan kewajiban kita untuk menjamin kesejahteraan masyarakat Papua? Misalnya seperti itu. Atau misalnya begini, ketika ada pelanggaran-pelanggaran HAM selama ini kan ini terjadi konflik ini.

Lalu ada kontak senjata ada orang-orang yang menjadi korban apakah kemudian pemerintah melakukan investigasi? Sampai sekarang tidak ada satu pun loh. yang tahun 2014 atau berapa yang pertama itu masih zaman ada yang di zamannya Pak SBY ada yang di zamannya Pak Jokowi itu tidak ada penyelesaian sampai saat ini, sehingga warga Papua itu banyak yang merasa warga kami kau kayak kurang berharga ya.

Teman-teman media pasti aware ya dengan black lives matter di Amerika itu kan intinya satu kenapa polisi Amerika kepada orang kulit hitam kok gampang banget sih nembaknya. Terus ujung-ujungnya orang itu ternyata orang yang tidak bersalah. Nah, saya memahami perasaan sentimen warga Papua sekarang ini juga begitu. Kok gampang banget sih nuduh kita makar, kok gampang banget sih nuduh kita separatis. Padahal kami ini tidak selalu separatis. Tapi kami ini orang Papua yang kecewa, belum puas dengan yang terjadi sekarang, misalnya seperti itu. 

Lalu, bagaimana mestinya yang harus dilakukan?

Jadi, pendekatannya jangan keamanan lah, tapi yang lebih suistanable, yang lebih jangka panjang. Meredakan ketegangan itu tidak harus dengan memaksakan represi, tapi dengan meminta siapa sih orang-orang kunci yang kemudian bisa mendinginkan saya sangat meyakini sebagian banyak orang Papua masih ingin menjadi bagian dari Indonesia. Tapi kalau kita salah, pendekatan sekarang makin lama luka batinnya makin banyak.

Kalau pendekatannya masih pendekatan keamanan, itu berarti pendekatannya prasangka. Beberapa waktu terakhir ini, sekitar lima tahun terakhir ini, asrama-asrama mahasiswa Papua di berbagai tempat itu sering sekali disatroni oleh aparat. Saya tinggal di Jogja, dan asrama Papua di Jogja itu berkali-kali mengalami seperti itu. Kan Gusdurian ada di mana-mana nih. Ada laporan datang bahwa asrama mahasiswa Papua itu.

Seharusnya didatangi untuk diajak diskusi, ayolah kalian gimana nih supaya kita bisa lebih mengindonesia bersama-sama. Ini nggak. Jadi, lukanya makin banyak. Bukannya dirangkul, ini malah dipukul. Jadi, kalau diteruskan akan kejadian seperti ini lagi. Ini adalah hasil dari beberapa waktu terakhir ini, pendekatannya begitu. Jadi, ini yang harus berhenti. Pendekatan penuh kecurigaan, pendekatan yang keamanan yang berlebihan itu yang perlu diganti dengan pendekatan merangkul.

Ayo kita duduk bareng! Yuk, kalian maunya apa sih sepanjang masih dalam bingkai keindonesiaan! Ayo kita diskusikan! 

Kalau pendekatan keamanan yang demikian masih tetap dilanjutkan, bagaimana, Mbak?

Suatu ketika akan ada lagi dan mungkin lebih besar lagi. Ini zaman teknologi informasi. Tindakan represif di satu tempat di dunia ini, nggak akan bisa dicegah untuk sampai ke pentas dunia. Terus kita mau bagaimana? Kita mau menyatakan diri sebagai negara yang berdaulat yang seperti apa, kalau kemudian kita tidak sanggup menyelesaikan ini dengan bermartabat terus akhirnya malah justru jatuh korban.

Bagaimana sikap warga Papua sendiri yang Mbak Alissa lihat?

Soal bagaimana sikap warga Papua itu sebetulnya tinggal dibandingkan saja sikap warga Papua kepada warga NU di sana dengan sikap kepada pendatang yang lain. Kalau sikap terhadap pendatang yang lain ada ketegangan tapi terhadap warga NU di sana itu tidak berarti kan ada pendekatan yang berbeda, apa sih yang dilakukan warga NU di sana sampai warga salah satunya karena tidak merasa terancam identitasnya, kearifan lokalnya.

Sementara kepada warga pendatang yang lain yang kemarin-kemarin muncul ketegangan, ya itu karena mereka bahwa seharusnya sumber kehidupannya tapi diambil oleh orang lain, misalnya seperti itu. Itu hal-hal yang barangkali faktanya tidak begitu tapi sentimen yang dirasakan itu seperti itu hal yang seperti ini kita perlu urai dan tidak bisa diurai dengan senapan.

Peristiwa demikian seringkali berulang. Lalu, sebetulnya apa akar persoalan Papua ini?

Kewajiban Jakarta dalam hal ini untuk mengatasi kesenjangan antara Papua dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia belum selesai. Kalau itu sudah selesai. kalau kebanggaan itu sudah ada, bisa selesai dengan sendirinya. Kuncinya di sana. Kita akui Jakarta belum selesai menunaikan kewajiban di Papua. Itu kita akui saja ya memang masih kurang. Nyatanya itu tadi, sumbangan ke PDB negara itu nomor 5 dan nomor 6, tapi kualitas kesejahteraannya nomor terakhir ya gimana gitu. Kan jauh sekali.

Soal ada campur tangan asing di dalamnya?

Kalau menurut saya yang punya kepentingan itu pasti banyak ya. Menurut saya tidak realistis tidak ada kelompok-kelompok dunia internasional yang tidak punya kepentingan di Papua. Itu pasti ada. Itu harus diakui. Karena itu, bagi pemerintah untuk memperhatikan betul aspek ini, tapi caranya bukan dengan menutup komunikasi. Malah kita harus tunjukkan pada dunia bahwa ini urusan kedaulatan RI. Kami melakukan pendekatan bermartabat dan tak usah khawatir nanti bisa selesai seperti di Aceh gitu. Itu yang perlu kita sampaikan ke dunia. (*)