Tak ayal, dalam menyongsong abad kedua, NU mengangkat tema-tema kemandirian sebagai pemicu guna dapat sepenuhnya berdiri di atas kaki sendiri, baik jamaah maupun jamiyahnya. Untuk menuju ke sana, tentu gelombang badai terus menghantam kapal yang berpenumpang lebih dari 90 juta menurut hasil survei terbaru itu.
Untuk menuju ke sana, pewarta NU Online Syakir NF menemui Prof KH Nasihin Hasan di kediamannya di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pada Senin (16/3). Ia merupakan seorang yang sudah malang-melintang di dunia ke-NU-an.
Ia menjadi salah satu pendiri Lembaga KajianSebelum masuk proses menuju cita-cita kemandirian, Nasihin menjelaskan bahwa NU harus memiliki pulau harapan, yakni destinasi utama dari perjalanan NU. dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) bersama KH Abdurrahman Wahid, dr KH Fahmi Saifuddin, KH Abdullah Syarwani, dan sebagainya.
Sosok asal Rembang, Jawa Tengah itu juga menjadi salah satu pendiri Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Sebelum masuk proses menuju cita-cita kemandirian, Nasihin menjelaskan bahwa NU harus memiliki pulau harapan, yakni destinasi utama dari perjalanan NU. Menurutnya, hal tersebut adalah yang termaktub dalam Qanun Asasi Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Ia dengan tegas menyatakan bahwa siapapun yang berinteraksi dengan NU harus melihat ke empat hal tersebut. Sebab, NU merupakan organisasi ulama untuk masyarakat umum.
Sesuatu mendasar lain yang harus dimiliki demi menuju kemandirian, menurutnya, adalah adanya kesepakatan fundamental di luar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Ia mencontohkan Qanun Asasi, keputusan untuk kembali ke Khittah 1926, hingga sembilan pedoman berpolitik warga NU yang ditetapkan di Yogyakarta.
Terakhir, sebelum masuk ke strategi dan sebagainya, ia menegaskan bahwa NU secara organisasi harus memiliki aset, baik yang bergerak maupun tidak.
Apakah makna kemandirian bagi NU?
Mandiri itu ya al-i’timad ‘ala al-nafs, bersumber pada diri sendiri. Tidak dipengaruhi, tidak dibantu. Berjalan dengan kemampuan sendiri. Ada mandiri dalam dimensi politik, bisa mandiri dalam dimensi ekonomi, dan mandiri dalam dimensi budaya.
Bisakah NU mandiri?
Bisa! Karena NU punya modal sosial. Ideologi Ahlussunnah wal Jamaah ini doktrin kokoh dan mengikat jamaah serta jamiyah.
Apa syarat bisa mandiri?
Pertama, Harus ada perubahan jati diri dan watak organisasi di dalam pengelolaannya. Lepas sepenuhnya dari pengaruh dan anasir partai politik manapun. Wong namanya mau mandiri. Jadi harus ada perubahan ini. Yes, we can!
Kedua, perubahan dari instrumentalistik ke membuka peluang entrepreneurship. NU itu jangan diperalat. NU itu sumber berwirausaha secara mulia dan berdaya.
Ketiga, dari kegiatan usaha personalistik ke kooperatif dan korporatif. Ya, harus korporasi, sifatnya usaha bersama, manajemennya harus korporasi.
Keempat, dari otoritatif sentralistik ke kemitraan strategis. NU ini kan kayak franchaise. Misalnya, pesantren bukan milik NU, tapi mau bergabung. Mereka jaringannya NU, bukan punya NU. Harus berpikir bagaimana mendayagunakan franchaise ini. Itu kemandirian berkembang. Sudah ada PTNU di pesantren, bagus. Tapi apa sumbangsih NU untuk mereka?
Oleh karena itu, harus ada perubahan organisasi dari tertutup ke transparan. Harus transparan. Kemudian di samping harus transparan, juga perubahan akuntabilitas. Ya, harus bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian pengelolaan yang baik.
Perubahan dari hal-hal yang kharismatik ke interaktif dialogis dialektis. Karisma iya, tapi bagaimana munculnya dari hal-hal yang sifatnya ilmu pengetahuan.
Dari hal-hal yang sifatnya ontologis, nilai-nilai, ke aksiologis tetapi melalui epistemologis. Kalau ada sesuatu itu ilmu pengeetahuan semua. Jadi sifatnya ilmu pengetahuan, ilmul ulama. Jelas program sosialnya, layanan rumah sakit itu aksiologis.
Bagaimana caranya untuk mencapai itu?
Pertama, revitalisasi.
Kedua, kontekstualisasi. Jangan terlalu tekstual skriptualistik. Norma transenden seperti Qur’an dan Hadis itu tetap perlu. Harus. Tetapi juga harus menjad kontekstual dan transformatif. Jadi, ayat itu dikontekskan melahirkan perubahan beragama, beraswaja.
Ketiga, aktualisasi. Qur’an itu harus menjadi perilaku. Prosesnya internalisasi. Apa saja yang saya dengar, apa yang saya baca itu dibawa ke otak, diproses di hati, lalu keluar lewat tangan, dan lain-lain.
Bagaimana konsepnya?
Pertama phatos sebagai bukti emosional militan. Karena hutan dirusak, tambang dihancurkan, tanah rakyat diambil seenaknya, saya jadi militan. Phatos itu harus logos, yaitu bukti rasional. Harus menjadi ethos, bukti etis yang menggerakkan.
Oleh karena itu, militansi agama, militansi aswaja saya itu harus inovatif, tidak destruktif (merusak). Syukur kalau produktif.
Lalu, apa syarat untuk para pengurusnya?
Amanah. Orang yang mengelola sudah selesai dengan dirinya. Gak menunggu gaji dan lain-lain. Ini syarat ini. Kalau gak, waduh gak bisa. Ini soal kejujuran. Pengelola itu harus kayak Yudistira dalam pewayangan. Dia terkenal dengan kejujurannya.
Tidak memanfaatkan organisasi, tapi memberikan manfaat sebanyak mungkin.
Profesional syaratnya (pengurus). Jadi, idza wushida al-amru lighairi ahlihi fantadhir al-sa’ah, jika sesuatu dipasrahkan kepada bukan ahlinya, maka tinggal tunggu waktu kehancurannya. Ya harus profesional. Jangan karena teman.
Harus siap melayani, melindungi, dan mengayomi. Leadership-nya ini membebaskan. Berbuat sesuatu yang benar itu leadership. Lalu harus mempunyai kriteria manajer.
Harus berbuat sesuatu secara benar, menguasai metode, strategi, pendekatan. Ada achivement-nya, capaiannya. Tahun berapa harus punya apa, kayak apa. (*)