Wawancara

Tiga PR Besar NU Menurut Helmy Faishal Zaini

Jumat, 28 Agustus 2015 | 08:59 WIB

H. Helmy Faishal Zaini, mantan menteri PDT dipercaya menjadi sekretaris jenderal PBNU periode 2015-2020. Dengan pengalamannya dalam berbagai bidang dan jaringannya yang luas, ia diharapkan mampu turut menjalankan bisi, misi, dan program yang menjadi amanat NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia yang mengayomi puluhan juta pengikutnya. <>Bagaimana ia melihat NU ke depan, berikut wawancara dengan Mukafi Niam di ruang kerjanya di lt3 gedung PBNU, Jum’at (28/8).

Sebagai orang yang diberi amanah untuk menjalankan peran sekjen PBNU, bagaimana Mas Helmy melihat NU ke depan?

Ada tiga hal yang menurut saya menjadi PR besar yang akan terus relevan dengan perkembangan dunia yang dinamis. Pertama adalah langkah yang disebut deradikalisasi. Ini meliputi tiga level, yaitu level fikrah, kedua, haraqah, ketiga amaliahnya. Upaya deradikalisasi harus dimulai dari perspektif pikirannya atau pada manhaj-nya. Kalau haraqah harus ada aksi kegiatannya sedangkan pada tataran amaliah dengan menjaga tradisi yang sudah ada. Ini pekerjaan yang menjadi fokus kita. Banyak orang berpikir dan berharap terhadap NU tentang ini. 

Selanjutnya apa? 

Pekerjaan rumah kedua adalah mengambil anak muda. Ini kan generasi indie, ada anak band, Superman is Dead dan lainnya yang menurut saya punya grass root yang kuat. Mereka harus tahu bagaimana itu NU dan mereka jumlahnya besar. Jadi sangat penting bagaimana kita membuat pola transformasi yang bisa masuk ke lapis anak muda tersebut. Mereka juga harus jadi NU, paling tidak punya kesadaran tentang NU. 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Yang ketiga apa Mas?

Pekerjaan ketiga adalah karena ini organisasi ulama, maka harus punya perencanaan yang matang dalam konteks memproduksi para ulama pewaris nabi. Ulama yang ideal adalah yang mewarisi sifat-sifat kenabian. Dalam konteks leadership-nya, amanah, fathanah, siddiq, dan tabligh. 

Dulu kita punya pola pengembangan kader keulamaan. Ini kan dalam tanda petik meng-upgrade atau mensosialisasikan ide-ide besar NU itu apa, agar mereka satu pemahaman dan satu visi. Ini tugasnya syuriyah yang dijalankan oleh tanfidziyah. 

Mengenai rekomendasi dan program hasil muktamar bagaimana?

Adapun pekerjaan yang bersifat rekomendasi dan program muktamar, kita akan konsen pada tiga hal. Pendidikan dengan fokus pada pendidikan menengah dan tinggi. Kedua bidang kesehatan dengan memberikan fasilitasi ruang pelayanan kesehatan pada warga NU, dan ketiga pada pengembangan ekonomi kerakyatan. 

Apa langkah dalam pengembangan ekonomi kerakyatan?

Ekonomi kerakyatan ini kita definisikan dalam dua basis. Pertama adalah basis produksi yang berasal dari sektor voluntary, yang bersifat partisipasif, yaitu zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Bagaimana hal ini dikelola secara baik sehingga menghasilkan sesuatu untuk pengembangan pendidikan, keagamaan, kemudian layanan sosial. Ke depan bisa untuk mengembangkan rumah sakit, beasiswa, dll. Ini harus dikelola secara baik.

Model kedua, yang sifatnya reguler, dengan mengembangkan investasi berbasis komunitas unggulan yang dimiliki pesantren. Ini misalnya yang dilakukan oleh pesantrennya Al Ittifaq di Ciwidey Bandung. Kemudian yang dilakukan oleh Kiai Nawawi Sidogiri dengan pengembangan BMT Sidogiri. Pola ini yang harus dikembangkan di pesantren-pesantren lain sebagai pusat produksi dan pertumbuhan ekonomi. Ini kalimatnya kan sederhana tetapi rumit dalam pelaksanaannya. Bisa menjalankan ini saja sudah luar biasa. 

Anda mulai terlibat di NU sejak IPNU, pola pengkaderan dulu kan berbeda dengan sekarang seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup?

Saya mulai berorganisasi dari di IPNU tingkat PAC dan PC Cirebon, sempat juga menjadi anggota PMII, juga di Ansor. 

Untuk strategi dakwah, yang bersifat akidah tak bisa kompromi, tetapi soal cara bisa berkompromi. Ini yang dilakukan oleh Walisongo. Kalau dulu tantangannya ketika mendakwahkan Islam Aswaja adalah berhadapan dengan adat budaya lokal yang sudah mengakar, dan mereka berhasil. Sekarang tantangannya adalah masyarakat baru yang modern. Kalau menggunakan teknologi lama sudah tidak bisa. Sekarang dakwah harus lewat Twitter, FB, Instagram dan media sosial lainnya. Sudah harus pakai periskop. Kesadaran beberapa kiai, ulama, dan muballigh yang masuk ke sosmed itu luar biasa. Di NU ada Gus Mus, ada Gus Ali, ada Yusuf Mansur, ada Anwar Zahid. Kalau kita lihat follower-nya, mereka adalah orang yang tidak terjamah pesantren. Ini yang saya maksud sebagai penjaring. 

Di lingkungan anak muda yang aktif di ranah sosial media ada Ahmad Sahal, ada Syafiq Hasyim, ada Syafiq Allielha, ada Ulil Abshar, meskipun menjadi kontroversi. Kita harus melihat mereka sebagai potensi anak muda yang bisa masuk ke dunia baru itu, yang oleh beberapa yang lain tidak masuk. Jadi ini sifatnya berbagi tugas saja, karena ada fakta bahwa jumlah warga yang masih tradisional di pedesaan masih sangat banyak. Pola lama harus tetap dikembangkan. 


Terkait