Balitbang Kemenag

Berapa Lamakah Hukuman yang Layak untuk Pelaku Penodaan Agama?

Senin, 5 Desember 2016 | 06:30 WIB

Jakarta, NU Online
Masalah penodaan agama bukanlah isu baru. Sejak Kemerdekaan Indonesia, masalah ini sudah mengemuka. Presiden Soekarno telah mengeluarkan Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang kemudian dinamakan UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 

Untuk melihat pandangan para tokoh agama terhadap UU tersebut, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama (2013) melakukan penelitian untuk melihat pandangan para pemuka agama terhadap isi UU No.1/PNPS/1965. Termasuk yang ditanyakan adalah soal berapa lama hukuman yang layak bagi para pelaku penodaan agama.

Hasil riset tersebut menemukan, para pemuka agama Islam terbagi ke dalam 2 bagian. Pertama, pemuka agama Islam memandang bahwa hukuman maksimal 5 tahun penjara sudah dianggap memadai apabila dilaksanakan dengan benar. Kedua, pemuka agama Islam memandang bahwa hukuman maksimal 5 tahun dianggap kurang memadai terlebih bagi para penggagas dan pemimpin faham yang dianggap telah melakukan penistaan/penodaan agama. Hukuman berat tersebut penting sebagai upaya memberikan efek jera serta langkah preventif agar tidak terjadi lagi tindakan penistaan/penodaan terhadap agama. 

Mengenai perlu atau tidaknya pendekatan persuasif terhadap pelaku penistaan/penodaan agama, para pemuka agama Islam pada umumnya menyatakan perlu dilakukan dialog dan konsultatif sebelum diajukan ke pengadilan.

Menurut para pemuka agama Islam, pokok-pokok ajaran Islam yaitu Rukun Iman, Rukun Islam, dan Akhlak. Namun demikian perbedaan sekte/aliran dalam Islam, mereka sepakat bahwa selama perbedaan itu masih dalam koridor ikhtilaf (perbedaan pendapat yang tidak qath’i), maka ia dipandang tidak menodai agama. Namun apabila sudah menyangkut perbedaan ikhtirof (perbedaan pendapat yang qath’i), maka jelas mengandung unsur penistaan/penodaan agama.

Pandangan pemuka agama terhadap pelaksanaan UU No.1/PNPS/1965 terbagi dua: Pertama, pemerintah dinilai belum benar-benar melaksanakan UU tersebut. Kedua, pemerintah dinilai sudah melaksanakan dengan baik UU tersebut.

Selanjutnya pandangan pemuka agama Islam terhadap siapa yang paling berhak menentukan bentuk penistaan/penodaan agama, pemuka agama Islam menyatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian Agama RI yang berhak menentukan bentuk penodaan agama dengan tetap memperhatikan pandangan dari pemuka agama Islam di MUI dan ormas Islam. Meskipun demikian terdapat pandangan lain yang menyatakan bahwa MUI yang paling otoritatif dalam menentukan bentuk penistaan/penodaan agama. (Mukafi Niam)