Madrasah sebagai salah satu institusi pendidikan Islam semakin menunjukkan peran pentingnya dalam dinamika pendidikan nasional. Di saat banyak pelajar di sekolah umum terseret dalam citra negatif kemerosotan moral seperti seks bebas dan tawuran, madrasah mampu tampil gemilang dengan berbagai prestasi.
Beberapa waktu lalu siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Pamulang, Tangerang Selatan, menggondol sejumlah medali dan penghargaan pada International Islamic School Robot Olympiade (IISRO) yang digelar di Johor Malaysia. Tim robotik MTsN Pamulang itu berhasil mengalahkan tim dari beberapa sekolah unggulan negara-negara Islam di mancanegara.
Di tingkat nasional, tim robotik MTsN Pamulang ini juga meraih juara 1 untuk tingkat sekolah menengah pertama atau madrasah tsanawiyah (SMP/MTs). Belum lagi kita memasukkan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia dalam dereten madrasah berprestasi. Madrasah yang digagas Presiden ke-3 RI, BJ Habibie itu selalu tampil membanggakan dalam ajang kompetisi sains, baik nasional maupun internasional.
Karena berbagai prestasi yang diraihnya itulah, Kementerian Agama berencana memperbanyak MAN Insan Cendekia. Saat ini, sekolah tersebut baru beroperasi sebanyak tiga sekolah, yaitu di Serpong, Gorontalo, dan Jambi. Kemenag RI ingin agar setiap provinsi di Indonesia mempunyai MAN Insan Cendekia.
Prestasi ini tentu membanggakan. Pasalnya, madrasah yang selama ini dicitrakan terbelakang, bahkan dinilai tidak mampu bersaing dengan sekolah-sekolah umum dalam kompetisi sains, ternyata tampil sebagai juara pertama dalam kejuaraan bergengsi di pentas nasional dan internasional. Prestasi madrasah tidak hanya dalam sains, di bidang pelestarian lingkungan hidup juga tak kalah gemilangnya.
Tak tanggung-tanggung, empat madrasah dianugerahi penghargaan Adiwiyata Nasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penghargaan yang didasarkan atas Kepmen LHK No 183 Tahun 2014 itu diberikan kepada MAN 1 Pekanbaru, Riau; MAS Mareku, Tokep Maluku Utara; MTsN Dowora, Tokep Maluku Utara; MIN Dowora, Tokep Maluku Utara.
Anugerah tersebut, kata Direktur Pendidikan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam M Nur Kholis Setiawan, sekali lagi menjadi bukti bahwa madrasah mampu bersaing dengan sekolah umum. Kesan madrasah hanya mampu menguasai ilmu agama tapi ketinggalan dalam ilmu umum merupakan pandangan lama yang musti direvisi. Buktinya, madrasah mampu mengalahkan sekolah umum dalam berbagai kompetisi. Dalam beberapa kasus, madrasah justru lebih unggul. Keunggulan siswa madarasah ini bahkan diakui profesor Jepang. Guru besar Ritsumeikan Asia Pacific University (APU), Profesor Kondo Yuichi, mengaku kagum dengan alumni madrasah yang kuliah di APU. Menurutnya, prestasi alumni madrasah di APU sangat memuaskan. Bahkan menduduki peringkat dua besar di Universitas unggulan Jepang itu.
Karena berbagai prestasi itulah, Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, mengimbau kepada semua siswa madrasah untuk tidak minder berhadapan dengan siswa sekolah umum. Madrasah sudah terbukti mampu menyaingi sekolah umum, bahkan dalam bidang sains yang seharusnya menjadi andalan sekolah umum. Menurut Lukman, hal itu luar biasa lantaran madrasah punya beban yang lebih tinggi ketimbang sekolah umum. Madrasah, selain mengejar prestasi ilmu umum atau sains, juga dituntut menguasai ilmu agama. Madrasah lahir dari rahim pesantren, karenanya ia harus diwarnai oleh ilmu agama.
Dalam perkembangannya, Lukman menilai, madrasah mampu mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum dalam penguasaan yang seimbang. Tak salah bila dikatakan, justru kemampuan mengintegrasikan ilmu agama yang implementasinya adalah iman dan takwa (Imtak) dengan ilmu pengetahuan teknologi (Iptek) inilah, madrasah saat ini menjadi primadona. Madrasah dipercaya masyarakat mampu membentuk generasi muslim yang berkarakter unggul dengan kemampuan ilmu yang kombinatif antara ilmu agama dan umum atau sains.
Benteng Pertahanan Remaja
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin selalu menekankan peran madrasah sebagai pusat pendidikan karakter generasi muda. Menag berharap, madrasah menjadi benteng pertahanan para remaja dari penyebaran virus dekadensi moral. Madrasah tak boleh terjerumus pada maraknya problem moral remaja seperti narkoba, miras, seks bebas, dan tawuran.
Karenanya, madrasah harus menguatkan penanaman nilai-nilai keislaman kepada siswa. Penanaman itu, tentu saja melalui pengajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). PAI harus mampu internalisasi sedemikian rupa nilai-nilai Islam dalam fikiran, jiwa, dan sikap siswa sehingga mampu mengkonter virus dekadensi moral dan mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam.
Hasilnya, mereka diharapkan dapat menghayati dan mengamalkan ajarannya, dan menghormati hak-hak pemeluk agama lain, serta dapat hidup damai, harmonis berdampingan dengan sesama warga Indonesia dalam perbedaan dan kebersamaan. Tuntutan praktis ini adalah implikasi dari realitas yang tak terelakkan dari dimensi kehidupan keagamaan di ranah keragaman dan kerukunan antarumat beragama.
Karena itu, penelitian yang dilakukan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan (Puslitbang Penda) Badan Litbang dan Diklat Kemenag menjadikan tiga aspek sebagai tolok ukur keberhasilan pengajaran PAI di madrasah. Tiga aspek ini hendak memotret bahwa Islam tak hanya ditanamkan di pikiran (kognitif), tapi juga dalam penghayatan jiwa (afektif), dan pengamalan tindakan (psikomotorik).
Secara lebih khusus, penelitian PAI itu berusaha menjawab pertanyaan “Bagaimana hasil capaian pembelajaran PAI pada peserta didik di madrasah aliyah (MA)”. Pertanyaan itu sering disuarakan oleh banyak kritikus pendidikan Islam, dan jawabannya sangat ditunggu. Seberapa mampu proses formal pembelajaran PAI membentuk karakter-sikap sosial-keagamaan siswa yang positif, terutama dalam konteks relasi antarumat beragama.
Menjawab pertanyaan itu dengan memasukkan tiga aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan bentuk penelitian survei, Puslitbang Penda melakukan terobosan besar. Sebab, sebelumnya belum ada studi khusus dengan sampel yang representatif yang berusaha mengevaluasi keberhasilan pembelajaran PAI di MA, terutama dalam kerangka pembentukan sikap-karakter sosial-keagamaan (outcome) peserta didik.
Dengan memasukkan tiga aspek itu pula, penelitian tersebut juga menjadi jawaban atas kritik para pakar pendidikan tentang pengajaran PAI yang dinilai hanya mementingkan aspek ilmu dan terlalu lebih berorientasi pada model pengajaran, bukan pada pendidikan dan pembentukan sikap dan karakter. Akhirnya, hasil pendidikan agama Islam hanya menghasilkan output, peserta didik yang sebatas ahli-ahli agama, dengan sejumlah titel dan atribut formal lainnya, tetapi mereka tidak berhati dan berjiwa agama.
Capaian kognitif
Dangan gambaran capaian kognitif itu, Puslitbang Penda menemukan bahwa capaian kognitif bervariasi menurut status madrasah, bidang pelajaran, dan semester. Pertama, capaian nilai siswa untuk semua pelajaran PAI semester ganjil baru mencapai standar cukup baik, di level antara 78-80.
Sementara itu, hasil capaian semester genap relatif lebih baik untuk semua pelajaran. Nilai kognitif siswa MAN sudah mencapai taraf baik (81-90), kecuali untuk pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Kedua, hasil capaian kognitif pelajaran Quran-Hadis dan Fikih di atas rata-rata hasil capaian pada dua pelajaran lainnya, yaitu Akidah Akhlak dan SKI. Ketiga, hasil capaian kognitif siswa madrasah aliyah berstatus negeri (MAN) selalu lebih tinggi dibanding dengan hasil capaian kognitif siswa madrasah aliyah berstatus swasta (MAS). Keempat, hasil capaian nilai semester genap selalu lebih tinggi dibanding dengan hasil capaian siswa pada nilai semester ganjil untuk seluruh bidang pelajaran PAI.
Jika hasil capaian kognitif di atas dicermati lebih detail, maka tampak beberapa ciri berikut: Pertama, pelajaran al-Quran-Hadis dan Fikih nampak lebih mudah dibanding pelajaran lainnya, karena nilai capaian siswa untuk kedua pelajaran pertama lebih tinggi dibanding dengan nilai dua pelajaran PAI lainnya (Akidah-Akhlak dan Sejarah Kebudayaan Islam).
Kedua, guru kedua pelajaran tersebut pertama di atas lebih mudah-murah memberi nilai kepada siswa. Ketiga, skor nilai siswa MAN selalu lebih tinggi dibanding dengan nilai siswa MAS. Keempat, perbedaan nilai per pelajaran dan semester PAI adalah signifikan pada level 5 % menurut status MA, kecuali untuk pelajaran SKI. Dengan kata lain, latar belakang status MA siswa dapat dijadikan variabel prediktor yang akurat untuk menganalisis keragaman nilai pelajaran PAI siswa kelas 2 dan 3 MA.
Capaian afektif
Capaian afektif adalah tingkat keberhasilan siswa dalam menginternalisasi pelajaran PAI ke dalam watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Afektif berhubungan dengan nilai (value), karenanya ia sulit diukur. Karena itu, penelitian Puslitbang Penda berusaha memberi batasan ketat dalam menilai tingkat keberhasilan afektif siswa dalam pembelajaran PAI.
Ada lima dimensi yang diteliti dalam bidang afektif dan hal itu merupakan turunan dari penilaian dalam capaian kognitif pelajaran PAI seperti telah dijelaskan sebelumnya. Lima isu itu adalah, pertama, sikap terhadap etika teologis relasi lintas agama. Kedua, sikap terhadap etika sosial relasi lintas agama. Ketiga, sikap terhadap wacana formalisasi hukum Islam dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Keempat, dukungan terhadap doktrin jihad berbasis kekerasan. Kelima, dukungan terhadap prinsip demokrasi.
Hasilnya, tingkat hasil capaian afektif pembelajaran PAI bervariasi menurut bidang ajarnya. Hasil capaian afektif sudah sangat baik pada bidang ajar yang tidak terlalu menyentuh aspek keyakinan keagamaan, seperti pada kasus materi ajar tentang wacana demokrasi dan penerapan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat capaian afektif pada materi ajar yang bersentuhan dengan prinsip dan keyakinan keagamaan relatif masih sangat rendah. Sikap responden cenderung kurang toleran dalam konteks relasi lintas agama, baik pada aspek relasi sosial, maupun pada relasi yang berkaitan dengan faktor teologi.
Capaian psikomotorik
Hasil belajar psikomotorik ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan berperilaku). Hasi belajar kognitif dan afektif akan menjadi hasil belajar psikomotorik apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan afektif. Aspek capaian psikomotorik dipilah ke dalam tiga aspek: perilaku ritual (pelaksanaan ibadat konvensional, cenderung ibadah ghairu mahdlah), perilaku taat, dan penyimpangan prinsip moral-susila.
Tingkat hasil capaian psikomotorik dalam hal pelaksanaan ibadat konvensional sangat baik. Lebih dari sepertiga responden rutin melaksanakan secara maksimal menurut standar normatif Islam, seperti pelaksanaan ibadah harian, atau mingguan. Namun demikian, masih ada minimal sekitar 9 % responden mengaku tidak pernah mengerjakan kegiatan ibadat dimaksud minimal sekali sebulan.
Indikator perilaku moral-susila mencakup pengalaman berpacaran dan tindakan buruk yang pernah dilakukan saat pacaran, mulai dari bergandengan tangan sampai menyentuh bagian tubuh yang sensitif dari lawan jenis, atau identik dengan bagian reproduktif.
Meski perilaku pacaran juga dilakoni siswa madrasah aliyah (MA), namun gaya pacaran mereka masih relatif normal jika dibanding dengan gaya pacaran dan seks bebas di kalangan siswa SLTA yang pernah dipetakan dalam sejumlah penelitian lain, seperti survei BKKBN yang mencatat bahwa separo siswa SLTA di Jakarta mengaku sudah pernah mempraktikkan seks bebas.
Tingkat capaian psikomotorik bidang ini sangat positif. Lebih dari 95 % responden mengaku tidak pernah, atau hanya sekali melakukan perilaku buruk seperti yang ditanyakan dalam penelitian ini, kecuali pada aspek mengunduh gambar porno atau menonton film porno. Bahkan kecenderungan perilaku positif ini sangat merata di kalangan responden.
Hasil penelitian Puslitbang Penda membuktikan bahwa pengajaran PAI di madrasah sudah cukup berhasil dalam ranah kognitif dan psikomotorik. Akan tetapi kurang berhasil dalam ranah afektif, terutama pada materi yang bersentuhan langsung dengan prinsip dan keyakinan keagamaan.
Meski cukup memuaskan dalam ranah kognitif dan psikomotorik, tapi potensi masuknya virus dekadensi moral tetap perlu diwaspadai. Hal ini setidaknya mengacu pada angka 3% pada survei yang menyatakan dan mengaku pernah melakukan tindakan tidak terpuji saat pacaran, dan angka 95% yang walau tidak pernah melakukan tindakan amoral tapi mengaku setidaknya sekali mengunduh atau menonton film porno.
Potensi itu perlu mendapat perhatian serius karena madrasah, seperti dikatakan pemerintah, adalah simbol pendidikan moral dan sekaligus benteng dari virus dekadensi moral remaja. Moralitas yang menjadi turunan nilai-nilai keislaman adalah visi utama PAI di madrasah.
Jika visi moralitas ini dicapai, harapan pemerintah dan masyarakat terhadap madrasah sebagai pencetak generasi bangsa yang mampu mengintegrasikan iptek dan imtak akan tercapai. Tak hanya itu, sukses dalam integrasi Iptek dan Imtak bakal menjadikan madrasah sebagai primadona yang lulusannya mampu menghadapi era global. (Musthofa Asrori/Mukafi Niam)