Penelitian Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Balitbang Diklat Kemenag terkait Kehidupan dan Pelayanan Keagamaan di Wilayah Perbatasan pada tahun 2017 juga dilakukan di Badau dan Sangihe.
Kedatangan Islam ke Badau jika menilik usianya masih dikategorikan muda. Salah satu yang menjadi penghambat wilayah yang tidak mudah dijangkau di masa lalu. Mengingat akses masuk ke Badau saja baru tahun 1990-an bisa ditembus.
Dalam laporan Ade Ibrahim (2015) tujuh kerajaan di Kapuas Hulu sebenarnya membawa anasir luar, salah satunya agama Islam. Jika merujuk sejarah itu, dapat dipastikan hampir seluruh Kalimantan Barat mendapat pengaruh Islam, hanya mungkin persebarannya agak sporadis. Bagi orang Badau, membela kedaulatan teritorial sama saja dengan membela simbol-simbol yang dilekatkan dalam kedaulatan itu sendiri, seperti tapal batas, bendera, dan simbol lainnya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kelompok radikal belum menembus sekolah-sekolah di Badau, yaitu lokasi Badau yang sangat jauh dari kabupaten dan transportasi yang sangat terbatas; para alumni SMP/MTs kebanyakan melanjutkan sekolah ke pesantren berbasis NU, yang dikenal sebagai antiradikalisme; sebagian alumni yang menyelesaikan kuliah di kota-kota besar di luar Badau enggan kembali ke kampung halamannya sehingga hubungan antara yunior dan senior tidak terjalin secara intensif.
Ada juga beberapa aktivitas yang dilakukan untuk mencegah terjadinya radikalisme dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan. Pertama, melakukan pendekatan kepada tokoh masya-rakat dan tokoh agama. Kedua, mengembangkan program literasi. Taman bacaan yang dibangun Polsek Badau tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan budaya membaca tetapi juga meningkatkan kecintaan pada NKRI dan menangkal radikalisme.
Sementara jaringan transnasional yang ada di Badau dan masih aktif melakukan dakwah untuk memperluas jaringan adalah Jamaah Tabligh, yang didirikan pertama kali oleh Muhammad Ilyas al-Kandahlawy di India di tahun 1926. Jamaah Tabligh, sebenarnya, sudah mulai masuk ke Badau sejak tahun 2000an tetapi kurang mendapatkan pendukung.
Adapun di Kepulauan Sangihe sebagai pintu gerbang dan benteng utara NKRI yang berbatasan langsung dengan Philipina, ada berbagai kepercayaan (agama lokal) yang sering disebut secara umum dengan agama animisme dan dinamisme. Kepercayaan agama lokal tersebut yang pada akhirnya setelah masuk (datang) agama baru (Islam, Katolik dan Kristen), secara alami berdialektika dan beradaptasi.
Di Kepulauan Sangihe dan bahkan di Sulawesi Utara banyak kalangan mengatakan kehidupan masyarakatnya relatif rukun, dalam artian tidak terjadi konflik secara terbuka. (Kendi Setiawan)