Balitbang Kemenag

Hoaks dalam Sistem Jaringan Saraf

Rabu, 11 Oktober 2017 | 01:15 WIB

Hoaks dalam Sistem Jaringan Saraf

Diskusi dan bedah buku Teknologi Ruh di Pusdiklat Kemenag Tangsel

Tangerang Selatan, NU Online
Di dalam kehidupan tidak ada istilah bodoh dan pintar. Menurut Wakil Sekretaris LTM PBNU Ali Sobirin yang ada adalah orang yang sudah mengetahui dan mengalami terlebih dahulu dengan orang yang belum mengetahui dan mengalami. Oleh karena itu, siapapun menurutnya bisa menjadi apapun sesuai dengan kehendaknya, selama dia mau memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi yang diharapkan itu. 

“Syarat yang paling utama menurutnya adalah memenuhi di area kepala kita dan jantung kita dengan data yang terkait dengan hal yang kita harapkan,” tuturnya saat bedah buku Teknologi Ruh, Senin (09/10) di Pusdiklat Kemenag Ciputat Tangerang Selatan.

Sebenarnya, lanjutnya, yang menjadikan kita hebat adalah apa yang ada di dalam diri kita yang tersimpan dalam otak dan area jantung kita. Kedua hal itu menurutnya menjadi kunci pertama struktur ahsanutaqwim. 

“Ahsanutaqwim kita adalah di wilayah lelembut. Koneksi tersebut disebutnya sebagai jiwa. Jiwa tidak bisa lepas dari dua hal ini,” ujar alumi Pondok Pesantren Mahadut Tholabah Babakan itu.

Namun, menurutnya problem saat ini di zaman banjir informasi, kita sulit untuk mengendalikan otak dan jantung kita. Zaman yang di mana Facebook dan Whatsapp sekarang menurutnya menjadi kitab suci melampaui Al Quran. Ketika informasi itu masuk, menurutnya suka atau tidak suka dengan informasi itu, alam bawah sadar kita tidak selalu menerima.

“Ketika kita memandang handphone, secara fisik dilihat secara menunduk. Kepala menunduk, suka atau tidak itu adalah respon penerimaan,” tambahnya.

Bahkan, pria yang akrab disapa Mas Also itu memandang betapa seringnya kita membaca informasi yang sebenarnya tidak kita butuhkan dan tidak kita inginkan, justru membacanya di kamar. Padahal, menurutnya kamar itu sudah terdeteksi oleh sistem otomatis bawah sadar kita sebagai alam istirahat. 

“Alam istirahat itu alam ikhlas. Alam ikhlas itu menerima apapun. Secara otomatis ketika Anda baca, maka Anda suka atau tidak, menganggap sistem otomatis Anda menganggap bahwa itu adalah informasi yang benar,” ujar Direktur TOPP Indonesia itu.

Walaupun kita mampu menganggap informasi itu salah, ia menegaskan bahwa kita tidak akan bisa mengontrol diri kita dari informasi yang berjubel itu. Hal itu dikarenakan manusia menurutnya merupakan sistem jaringan saraf. 

Dalam penjelasannya, sistem jaringan saraf, kalau dilihat dari sisi gradasinya, itu serupa dengan kulit jagung. Ada banyak. Semuanya berlapis-lapis. Satu lapisan satu, mendukung lapisan kedua, ketiga dan seterusnya dan saling berkoneksi. 

“Informasi yang masuk bagai air bah itu tidak mudah untuk diidentifikasi masuk di arena yang mana. Untuk mengidentifikasi ini, diperlukan seorang hipnoterapis,” tutunya.

Ia menceritakan tentang orang yang membabi buta suka kepada term tertentu. Setelah ditanya sebab dan manfaatnya, tidak tahu. Ini menurutnya adalah akibat informasi yang sudah masuk entah di layer berapa dalam sistem saraf kita yang seperti jagung itu.

“Semakin dalam, semakin lembut, berarti semakin membutuhkan waktu dan keletihan untuk mengubahnya,” tambahnya.

Padahal, ia menerangkan bahwa pikiran dan perasaan kita adalah benih. Dari pikiran dan perasaan itu, secara gradual, menurutnya akan terus berkomunikasi dan merembes menjadi satu sistem keyakinan. Keyakinan tentang sesuatu yang dianggap benar itu kemudian merembes masuk ke dalam sistem yang menggerakkan diri kita.

“Keyakinan lahir melalui informasi. Ketika ada satu informasi masuk melalui panca indra kita, maka dia akan masuk dan terolah di sini. Biasanya, lazimnya, ketika informasi yang terserap itu baru, maka dia akan langsung dan diterima sebagai  sebuah kebenaran dan itu menjadi keyakinan,” terangnya.

Ia menjelaskan bahwa prosesnya dimulai dari keyakinan masuk dulu ke dalam area nalar kita. Kemudian berdialog secara internal, lantas diyakini mana yang benar. Mana yang benar itu lalu menurutnya akan meresap menjadi sebuah keyakinan. Keyakinan akan meresap ke dalam sistem otomatis atau yang dimaksud dengan ilmu alam bawah sadar.
Ketika sudah menyatu dengan alam bawah sadar, maka menurutnya keyakinan itu akan bekerja menjadi ekspresi sebagaimana mestinya. Kebenaran itu terus-menerus dilakukan hingga menjadi kebiasaan, dari kebiasaan itulah maka dikenal sebagai karakter.

Sedangkan menurutnya saat ini informasi tersebut yang tumpah adalah informasi yang hanya diterima, sehingga yang muncul adalah hoaks dan fitnah. 

"Informasi yang tumpah itu seakan kita anggap sebagai informasi kosong, faktanya tidak. Informasi itu adalah
kumpulan-kumpulan data yang terserap dan akan menjadi diri kita dan kita mengalami gagap. Kita menjadi individu yang gagap karena tidak mempunyai kualitas untuk menolak informasi yang lewat di dalam ‘kamar’ kita. Akibatnya di wilayah sadar kita sering tidak terkontrol dan tiba-tiba yang masuk adalah kata-kata sampah,” tambahnya.

Kegiatan bedah buku Teknologi Ruh tersebut diadakan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Dalam kegiatan tersebut, hadir sebagai pembedah yaitu Sekretaris Balitbang dan Diklat Kemenag RI H Rohmat Mulyana Sapdi, dan Guru Besar Psikologi Islam dan Dekan Fakultas Psikologi UIN Jakarta Abdul Mujib.

Abdul Mujib menanggapi secara positif karya yang dihasilkan oleh kader NU itu. Hal itu dikarenakan menurutnya kultur menulis kita lemah sekali. Mempublikasikannya pun menurutnya kurang terbentuk di kalangan akademisi. 

“Orang NU kalau suruh nulis kalah sama orang barat. Orang barat suruh nulis dalam satu tahun itu bisa satu kilo buku yang diterbitkan. Tetapi kalau orang NU itu sekian kilo proposal minta bantuan,” ungkap alumni Pesantren Langitan Tuban itu.

Mengapa orang NU kalau disuruh berbicara sehari semalam sanggup, tetapi kalau disuruh menulis, lebih banyak menghapusnya. Hal itu menurutnya bukan karena orang NU tidak pintar menulis. Tetapi ada kondisi psikologis, yaitu tentang ketawadhuan yang tidak pas. Padahal menurutnya janganlah kebencian atau kecintaan suatu kaum itu menjadi berlaku tidak adil. Kita harus berani mengkritik.

Ia melihat Ali Sobirin sebagai pengurus Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menurutnya ada mainstream yang berbeda. Jika menurutnya orang NU biasanya apapun yang dilakukannya berbasis tasawuf, bahkan lebih tepatnya tariqat. Tetapi sekarang Mas Also bukan itu yang ditampilkan. 

“Lebih ke praktisi, entertaiment. Sehingga ia mengajukan konsep IQ, SQ, dan EQ. Bahkan ketika orang-orang NU selalu mengutip ulama-ulama besar. Jarang ada yang mengutip selain itu. Mas Also ini mengutip Kreyo Ki Samurta. Kita harus menciptakan peluang dan peluang itu tidak mengganggu yang lain,” tandasnya. (M. Ilhamul Qolbi/Kendi Setiawan)