Balitbang Kemenag

Menguak Fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi

Jumat, 20 Oktober 2017 | 16:45 WIB

Jakarta, NU Online
Masihkah Anda ingat kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi? Tahun 2016 lalu jagat Indonesia dikejutkan dengan fenomena Dimas Kanjeng. Seseorang yang ‘dipercaya’ mampu mengeluarkan uang dari tangannya secara tiba-tiba dalam jumlah yang fantastis banyak. Ia juga dipercaya memiliki bunker penyimpanan uang. Yang lebih mengejutkan adalah Dimas Kanjeng melakukan aksinya tersebut dibalut dengan agama. Jadi, sebelum mengeluarkan uang, ia dan pengikut-pengikut melakukan beberapa amalan.

Dalam kajian Balitbang Kementerian Agama, ada dua tipe gerakan kelompok keagamaan yang menimbulkan persoalan. Pertama, gerakan keagamaan yang melawan hukum dan konstitusi. Pemerontakan DI/TII dan Permesta adalah contoh dari tipe yang pertama ini. Mereka menggunakan dalih agama dan melakukan gerakan-gerakan keagamaan untuk makar dan menentang pemerintahan yang sah. 

Kedua, gerakan keagamaan yang berupaya menggalang pengikut dan pendanaan. Biasanya mereka menggunakan manajemen serta program perjuangan dengan menggunakan cara atau strategi taktik manipulatif, pencucian otak, pemaksaan, ancaman dan memikulkan beban kewajiban yang berat kepada para korban. Akibatnya korban berada dalam kesadaran palsu yang mudah dikendalikan oleh para pemimpin gerakan. Apa yang dititahkan oleh pimpinan, mereka akan mengikutinya tanpa memperdulikan apakah itu rasional atau tidak.

Kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi adalah tipe yang kedua. Banyak korban yang terbius oleh aksi dan sepak terjang padepokan Dimas Kanjeng ini. Aktivitas kegiatan keagamaan digunakan di padepokan ini sebagai topeng seakan padepokan mengembangkan ritual-ritual keagamaan. Ribuan orang percaya dan ‘berbaiat menjadi santri’ Dimas Kanjeng ini.

Permasalahan kemudian muncul belakangan. Publik pun terhenyak. Padepokan Dimas Kanjeng digerebek oleh anggota kepolisian daerah Jawa Timur. Ia ditangkap karena diduga sebagai dalang dalam perkara pembunuhan dua orang anak buahnya.

Memang, masyarakat di sekitar padepokan Dimas Kanjeng tidak merasa dirugikan dengan eksisnya padepokan tersebut karena hanya sedikit dari masyarakat Desa Wangkal dan Gading Probolinggo—tempat dimana padepokan berada—yang menjadi pengikutnya. Dengan adanya padepokan tersebut jalan-jalan desa yang menjadi akses ke padepokan dan desa sekitarnya dilebarkan dan diperbaiki. 

Namun, masyarakat merasak prihatin karena banyak anggota padepokan yang berasal dari daerah lain. Rata-rata, mereka datang dari tempat yang jauh dan menjadi korban penipuan.  

Hasi penelitian Balitang Diklat Kemenag yang diadakan tahun 2016 menyebutkan bahwa ritual keagamaan dan kegiatan sosial seperti santunan anak yatim, fakir miskin, dan lainnya hanya sebagai kedok dan kamuflase saja. Hal itu dikukuhkan dengan pernyataan Majelis Ulama Indonesia yang menyebut bahwa padepokan Dimas Kanjeng telah mengajarkan banyak penyimpangan seperti praktik kun fayakun, wirid manunggaling kawula-Gusti, membaca shalawat fulus, memiliki gudang penyimpanan uang (bank gaib), mengklaim memiliki karomah tapi dipertontonkan, menyalahgunakan makna istighatsah, dan mengamalkan shalat radhiyatul qubri.

Maka dari itu, agar ke depan tidak terjadi lagi seperti itu maka ada dua hal yang seharusnya menjadi bahan perhatian. Pertama, menyusun database lembaga yang menamakan diri dengan padepokan atau semacamnya yang bernuansa pelayanan spiritual keagamaan. Kedua, memberikan penyuluhan agama terhadap kelompok keagamaan yang dianggap tertutup oleh masyarakat sekitarnya. (A Muchlishon Rochmat/Kendi Setiawan)