Bagaimana hubungan antara agama dan nasionalisme? Apakah ada nilai-nilai agama yang mendorong nasionalisme, mengingat munculnya negara bangsa (nation state) baru belakangan muncul. Sedangkan agama, termasuk agama samawi sudah muncul sejak ribuan tahun yang lalu. Tak heran, masih ada kelompok yang menginginkan munculnya sistem kekhilafahan global oleh organisasi transnasional. Hal ini dikarenakan mereka belum memahami hubungan antara agama dan nasionalisme.
Dari fenomena itulah, Balitbang Diklat Kementerian Agama pada 2015 melakukan penelitian tentang penggalian dan perumusan nilai-nilai agama yang terdapat di kitab suci, teologi, hukum dan etika keagamaan yang mendukung NKRI. Poin NKRI merujuk pada bentuk negara nasional, Pancasila, UUD 1945, dan kemajemukan. Hasilnya, dalam semua agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, semuanya terdapat ajaran-ajaran yang mendukung nasionalisme.
Bagi kalangan Muslim, agama dan nasionalisme tidak bertentangan. Bahkan sebaliknya, Islam mengajarkan rasa cinta kepada tanah air serta ketundukan kepada pemerintah selama ia tidak melenceng dari syariat Islam. Bahkan Persis yang dikenal sebagai gerakan puritan, maupun Ikatan Jamaad Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang merupakan representasi Syiah dan oleh karenanya menjadi bagian dari gerakan transnasional; menjadikan NKRI sebagai bangunan politik bersama yang harus dibela, sebagaimana umat Islam membela agama.
IJABI dalam Deklarasi Persatuan 14 November 2013 menempatkan diri sebagai anak bangsa yang lahir di bumi Indonesia dan menjadikan Pancasila sebagai asas kenegaraan. Demikian pula Persis dan Matlaul Anwar (MA) yang menempatkan NKRI sebagai bangunan final kenegaraan, dengan menempatkan Pancasila sebagai falsafah dan Islam sebagai akidah.
Bagi kalangan Kristen, agama dan nasionalisme tidak bertentangan. Hal ini didasarkan pada dua hukum kasih, yakni kasih kepada Tuhan dan sesama manusia. Artinya, mengasihi manusia tidak mengenal batas teritorial, sehingga setiap umat Kristiani harus menegakkan kemanusiaan di segala kondisi kebangsaan.
Dalam konteks NKRI, kalangan Kristen menerapkan the Kingship of God, bukan the Kingdom of God. Bagi yang terakhir, kerajaan Tuhan harus berbentuk lembaga dengan teritori yang jelas. Sedangkan bagi Kingship of God, kerajaan Tuhan diwujudkan melalui penerapan nilai-nilai kemasyarakatan Kristus, bukan lembaga Negara Kristen. Dengan demikian, umat Kristen tetap bisa mewujudkan the Kingship of God melalui bentuk NKRI.
Bagi kalangan Katolik, hubungan agama dan nasionalisme diwakili oleh istilah Invocatio Dei, yakni mengundang Allah dalam kehidupan bernegara. Makna dari istilah ini ialah agama merupakan bagian esensial dari negara, sehingga salah satu tugas negara terletak dalam jaminan atas hak beragama. Hal ini diperkuat dengan semboyan tokoh perjuangan kemerdekaan RI dari Katolik, Monsinyur Soegijapranata, "100% Katolik, 100% Indonesia". Artinya, iman dan kebangsaan bukan opisisi. Justru sebaliknya: kebangsaan merupakan perwujudan nyata dari iman. Hal ini didasarkan pada asumsi sekular yang dietapkan oleh Yesus, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi haknya, berikanlah kepada Allah apa yang menjadi hak-Nya (Matius 22:21). Artinya, wilayah negara berbeda dengan wilayah ketuhanan sehingga ketaatan terhadap pemerintah tidak mereduksi ketaatan terhadap Tuhan.
Bagi kalangan Hindu, nasionalisme sudah familiar di dalam kesejarahannya. Sebab seloka Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan kesatuan dan perbedaan di Pancasila, diambil dari falsafah hidup di masa kehinduan Kerajaan Majapahit. Seloka yang dinukil dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular itu menggambarkan hakikat kebenaran yang satu sebab tidak ada kebenaran yang mendua (tanhana dharma mangwra). Dengan demikian, kebangsaan Indonesia berakar pada kesejarahan dan kebudayaan masyarakat Nusantara di mana ajaran Hinduisme menjadi salah satu dasar pandangan hidup yang kuat. Oleh karenanya, umat Hindu merasa menjadi bagian dari kesejarahan kebangsaan RI, sehingga tetap membela keutuhan NKRI.
Menurut tokoh-tokoh Budha, ajaran nasionalisme terdapat di kitab Sigalovada Sutta yang merupakan kitab pengaturan masyarakat. Di dalamnya, nasionalisme didasarkan pada prinsip sederhana: "Jangan biarkan kejahatan terjadi dalam kerajaanmu". Artinya, di manapun umat Budha berada, ia harus menegakkan kebenaran.
Dengan demikian, nasionalisme dipahami dalam dua hal. Pertama, penegakan kebenaran sehingga yang terpenting bukan corak kebangsaan, tetapi kemampuan menegakkan Dharma di wilayah kebangsaan tersebut. Kedua, cinta kasih kepada sesama makhluk sebagai pengabdian masyarakat dalam kerangka hidup berbangsa.
Menurut Konghucu, arti penting nasionalisme terletak pada loyalitas rakyat kepada negara, ketika negara mampu mensejahterkan rakyat. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Sabda Lun Yu, pemerintah yang berdasarkan kebajikan laksana kutub utara yang tetap di tempatnya, sedangkan bintang-bintang lain berputar mengelilinginya. Negara yang dibimbing oleh Undang-Undang, akan menjaga rakyat menjatuhkan harga diri karena menciderai martabat kemanusiaannya. Dengan demikian, nasionalisme mewujud dalam peran negara untuk mewujudkan nilai-nilai luhur yang ada di dalam aturan hukum dan falsafah pendiriannya.
Penelitian dilaksanakan di 10 kabupaten/kota yaitu Kota Bandung dan Kabupaten Pandenglang (komunitas Islam), Kota Bogor dan Kota Manado (komunitas Kristen), Kota Selatiga dan Kota Kupang (komunitas Katolik), Kota Pontianak dan Kabupaten Temanggung (komunitas Buddha), Kota Denpasar (komunitas Hindu), dan Kota Surakarta. ( Mukafi Niam)