Balitbang Kemenag

Pembahasan soal Gempa dalam Manuskrip Indonesia

Selasa, 13 November 2018 | 00:15 WIB

Pembahasan soal Gempa dalam Manuskrip Indonesia

Manuskrip Aceh membahas perihal gempa (balitbangdiklat.kemenag.go.id)

Indonesia termasuk wilayah yang rentan terhadap bencana, baik gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir dan sebagainya. Gempa bumi adalah salah satu bencana yang tidak bisa diprediksi kehadirannya. Ia telah mengguncang bumi negara Indonesia sepanjang sejarahnya. Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah adalah wilayah yang baru saja diluluhlantakan oleh gempa bumi dan bahkan tsunami. Banyak korban dan kerugian yang menimpa wilayah ini.  Sebelumnya, Banten juga mengalami gempa bumi hingga warga Jakarta juga ikut merasakannya.

BMKG mengambil peran dalam perkiraan waktu kejadian gempa, meski kadang tidak terdeteksi dengan baik. Ilmuwan menggali ilmu untuk mencari tahu jalan penyelematan ketika gempa. Para ulama juga ikut memberi andil dalam penyelamatan jiwa warga dengan semangat agama.

Tidak hanya itu,  gempa dimaknai juga sesuai dengan ajaran tradisi masyarakat setempat, semisal peringatan, kutukan, atau dihubungkan dengan dengan folklor masyarakat setempat. Sebagai umat beragama, masyarakat Indonesia terbiasa memaknai gempa sebagai peringatan Tuhan dan pesan moral kepada manusia, agar melihat kembali dalam hubungannya dengan Tuhan atau dengan sesama makhluk dan lingkungannya.

Sejak masa lampau, kepedulian terhadap bencana ini sudah dilakukan oleh para tokoh agama dan masyarakat sebagai pendahulu kita. Mereka memaknai gempa dalam kehidupan dan lingkungan mereka. Ajaran, petuah, dan ungkapan mereka telah dituangkan dalam tulisan yang sekarang sudah menjadi manuskrip. Ungkapan manuskrip kemudian diharapkan dapat diadop oleh generasi sekarang, karena mereka tidak bisa lepas dari sejarahnya, agar keselamatan hidup dapat diraih.

Fakhriati dari Balitbang Diklat Kemenag dalam Manuskrip Bicara Gempa mengungkapkan Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, Manajemen Organisasi, Badan Litbang dan Diklat kementerian Agama RI sebagai lembaga pemerintah yang memokus kajian pada  manuskrip, tahun 2017, telah mengambil topik fokus kajian tentang bencana alam, khusus gempa dengan dua lokus, Aceh dan Jawa Tengah. Kajian ini dilakukan dalam bentuk kerjasama dengan lembaga di daerah, yaitu UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan IAIN Surakarta.

Naskah-naskah masa lampau yang menjadi sasaran kajian menginformasikan banyak hal yang bermanfaat untuk diambil ibrah dan hikmah dalam mencegah dan menghadapi gempa yang sering kali terjadi untuk wilayah Indonesia khususnya. Kearifan lokal yang khas dan unik diungkapkan di dalam naskah. Dalam naskah-naskah Aceh yang ditemukan dalam kajian bencana yang berjumlah 30 naskah, menceritakan tentang takwil gempa dan penanganannya, agar tidak terulangi lagi pada gempa berikutnya.

Gempa yang terjadi dilihat dari sisi bulan, hari dan waktu kemudian diuraikan secara detail dan ditakwilkan akibat positif dan negatif yang akan dialami masyarakat setempat. Seterusnya diberikan cara penanganannya agar tidak terulang pada gempa berikutnya. Contoh dalam naskah RFC/TG/BNA/2017, disebutkan apabila terjadi gempa pada bulan safar, waktu Isya, maka akan terjadi turun keberkahan, setiap insan diwajibkan memberi sedekah. Apabila dilihat dalam tradisi masyarakat Aceh hingga saat ini, melaksanakan kenduri untuk Rabu Abeh (Rabu terakhir di bulan Safar), disarankan mandi dan membersihkan diri, serta banyak bersedakah dan  berbuat amal soleh agar jauh dari bencana.  (Tim Aceh, Laporan hal: 54 dan 102).

Di tanah Jawa, manuskrip menampilkan ramalan gempa dan penanganannya sesuai dengan kondisi lokalnya. Rekaman sejarah bencana alam dalam hal ini gempa ditemukan dalam teks-teks primbon, kumpulan doa, mujarabat, dan sebagian kecil lagi berada pada teks babad. Demikian tim IAN Surakarta, dalam hal ini Islah Gusmilan, menyebutkan dalam laporannya. Dalam Serat Primbon Koleksi Kraton Kasultanan Yogyakarta nomor D6/M269/Bh 139, misalnya, disebutkan bahwa gempa yang terjadi pada bulan Sura, siang hari, pertanda tidak baik karena banyak orang prihatin. Demikian juga halnya bila terjadi pada malam hari, pertanda orang menjadi pailit, akibatnya beras atau padi menjadi mahal. Maka penanganannya adalah dengan cara mengadakan selametan berupa menyajikan nasi uduk kepada masyarakat setempat dengan membaca doa agar diberi keselamatan. (Islah, Laporan Bab. 4, manuskrip, hal. 111).

Banyak lagi naskah lain yang berisi tabir gempa dan penanganannya secara sosial and agama. Persoalan bencana alam seperti gempa sangat terkait dengan kehidupan antara manusia, alam, dan Tuhan yang maha Kuasa. Ketika hubungan baik terjadi, maka harmonisasi juga akan muncul dengan sendirinya. Menjaga alam dan sesama makhluk adalah kewajiban dan mendekatkan diri kepada Tuhan akan berimplikasi kepada kehidupan sosial yang baik dan lingkungan sekitar yang baik. Karena itu, kultur lokal sudah mengajari umatnya untuk hidup seimbang di antara sesama, menjaga ekosistem dan selalu dekat dengan Rabbnya, sehingga diharapkan bencana alam dapat diminimalisir. (Kendi Setiawan)