Jakarta, NU Online
Pesantren termasuk lembaga pendidikan keagamaan tertua di Indonesia. Sejarah pesantren oleh berbagai pakar tidak bisa dipisahkan dengan kajian kitab kuning. Dalam berbagai definisi tentang pesantren, kajian kuning menjadi salah satu unsur di samping kiai, santri, masjid, dan asrama.
Seiring dengan perjalanan waktu, sistem pembelajaran atau kurikulum di pesantren tidak hanya mengacu pada kajian kitab kuning. Banyak pesantren sudah mengakomodasi kurikulum dari Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama. Akibatnya, kajian kitab kuning menjadi tereduksi.
Di samping itu, pesantren di Nusantara juga mengalami transformasi dalam berbagai bentuk. Sehingga, kajiannya bukan saja terkait pada kajian-kajian keagamaan, namun lebih luas pada kajian nonagama. Kemudian ditemukan di beberapa tempat pesantren berbasis seperti teknik mesin, agrobisnis, kebaharian, dan lain sebagainya. Pada akhirnya kajian kitab kuning bukan satu-satunya kajian yang paling urgen di pesantren. Bahkan banyak pesantren yang sudah tidak mengajarkan kitab kuning lagi.
Dengan kata lain pesantren tersebut tidak jauh beda dengan madrasah atau sekolah lainnya pada umumnya kecuali hanya santrinya yang diasramakan sebagai pembeda. Sehingga, muncul istilah bagi pesantren yaitu 'madrasah berasrama'.
Menurut PMA Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, pasal 5 menyebutkan bahwa “Pesantren wajib memiliki unsur-unsur pesantren yang salah satunya adalah pengajian atau kajian kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola muallimin. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama telah turut serta dalam upaya pengembangan pesantren dalam bentuk dukungan regulasi, bantuan sarana dan prasarana serta kegiatan pengembangan. Kegiatan pengembangan tersebut yaitu pelaksanaan Musabaqah Qiraatil Kutub (Lomba Baca Kitab Kuning), serta adanya bantuan berupa kitab-kitab kuning dalam judul tertentu yang didistribusikan ke beberapa pesantren.
Berdasarkan realitas tersebut, pada tahun 2018 Balai Penelitian dan Pengembangan Makassar Badan LItbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan penelitian Pembelajaran Kitab Kuning di Kawasan Timur Indonesia. Hal-hal yang menjadi pokok masalah penelitian yaitu ‘Bagaimana Pembelajaran kitab kuning di Pondok Pesantren?’ Pokok masalah ini dirumuskan dalam sub masalah yaitu: Apa jenis kitab kuning yang diajarkan di Pondok Pesantren?; Bagaimana mekanisme pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren?; dan Bagaimana problem dan solusi yang dihadapi dalam pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren?
Penelitian dilakukan di beberapa pesantren sepuluh provinsi di Kawasan Timur Indonesia meliputi: Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Maluku, dan Maluku Utara.
Pesantren yang dijadikan lokus penelitian umumnya membina beberapa satuan pendidikan seperti madrasah atau sekolah dengan kurikulum yang ditetapkan oleh Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan, kecuali Pesantren Salafiyah Subulussalam Balikpapan, Pesantren Al-Risalah (Polman)
Sementara itu, Pesantren Asadiyah Sengkang Wajo, walaupun membina banyak satuan pendidikan, di sisi lain telah membina Pendidikan Diniyah Formal, merupakan salah satu Madrasah Diniyah Formal di Sulawesi selain Madrasah Diniyah Formal Pesantren Salafiyah Polman.
Madrasah Diniyah Formal ini sendiri merupakan program yang diluncurkan Kementerian Agama dengan sebagian besar kurikulumnya mengacu pada pembelajaran kitab kuning. Penelitian ini mengoperasionalkan metode kualitatif deskriptif dalam rangka menemukan problem pembelajaran kitab kuning di pesantren di Kawasan Timur Indonesia.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Di samping itu, untuk memperkuat analisis dan landasan teori digunakan teknik studi kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan, pertama, kitab kuning yang diajarkan di pesantren cukup variatif dari berbagai jenis seperti al-Amtsilah al-Tashrifiyyah, Matnu al-Asas wa al-Bina, al-Arabiyyah Bayna Yadayk, Matan Ajrumiyyah, Mutammimah Ajrumiyyyah, Syarah Kaylani, Matan Alfiyyah Ibnu Malik, Kawakib al-Durriyyah (Bahasa Arab), Safinah al-Naja, Risalah al-Jamiah, Muqaddimah Hadramiyyah, Sullamu al-Tawfiq, Mabadi al-Fiqhiyyah, Kaysifah al-Saja Syarah Safinah al-Naja, Matan al-Taqrib, Fathu al-Qarib Syarah Matan al-Taqrib, Kifayah alAkhyar, Tawdhihu al-Ahkam (Fiqih), Aqidatu al- Awwam, Kifayatu al-Awwam, Fathu al-Allam (Tauhid), Tafsir al-Sadiy (Tafsir), alArbain li Nawawi, Tanqihu al-Qawl a-Hatsis, Bulugu al-Maram li Ibni Hajar al-Asqalani, Riyadhu al-Shalihin (Hadits), al-Akhlaq li al-Banin, Talim al-Mutaallim, Nashaihu al-Diniyyah (Akhlak), Khulasha Nuru al-Yaqin, dan al-Rahiq al-Makhtum (Sejarah).
Di samping itu, diajarkan pula kitab yang dikarang oleh ulama lokal yang mengombinasikan Bahasa Arab dan Bahasa Daerah seperti kitab Sharaf Galappo (Arab-Bugis), Kitab Nahwu Isafu al-Thalibin (Banjar) Batu Ngompal (Kitab tajwid berbentuk syair berbahasa Arab dengan penjelasan dalam bahasa Melayu beraksara Jawi karya TGKH Zainuddin Abdul Madjid). Dari berbagai jenis kitab tersebut, judul kitab lebih didominasi oleh jenis Nahwu-Sharaf dan Fiqih.
Kedua, pesantren yang dijadikan lokus penelitian umumnya mengombinasikan kurikulum pemerintah dengan kajian kitab kuning. Oleh karena itu, metode pembelajaran kitab yang digunakan menggunakan sistem klasikal (madrasi) yang terintegrasi ke dalam sistem pendidikan formal. Namun, mereka juga tidak mengabaikan metode tradisional halakah ataupun sorogan di luar waktu formal.
Ketiga, tujuan pembelajaran kitab kuning di pesantren terbagi dua yaitu membekali santri keterampilan membaca kitab kuning dengan lebih awal fokus mendalami pembelajaran kaidah Nahwu Sharaf; dan pembelajaran yang bertujuan untuk menambah pemahaman keagamaan kepada santri tanpa menekankan pada penguasaan kaidah Nahwu Sharaf.
Keempat, kendala paling utama yang dihadapi beberapa pesantren dalam melaksanakan program pembelajaran kitab yaitu kaderisasi tenaga pengajar yang tidak berjalan dengan baik sehingga berakibat pada minimnya tenaga pengajar, penguasaan metodologi pengajaran kitab kuning yang kurang variatif, pesantren tidak memiliki standar kurikulum, serta minimnya sarana kitab kuning yang dimiliki santri.
Rekomendasi
Dari hasil-hasil tersebut, melahirkan beberapa rekomendasi sebagai acuan rencana tindak lanjut. Pertama, Kementerian Agama perlu mendorong pendirian Madrasah Diniyah Formal dengan kurikulum sebagian besar adalah kajian kitab kuning. Kedua, Kementerian Agama perlu menyusun standardisasi pembelajaran kitab kuning di pesantren sebagai acuan yang mesti dijadikan pedoman oleh pesantren berdasarkan tipologi pesantren.
Berikutnya, pihak pesantren harus memperkaya khazanah kajian kitab kuning di pesantren. Pihak pesantren perlu meningkatkan kualitas tenaga pengajar terkait metode dan teknik kitab kuning tanpa mengurangi tradisi belajar seperti sorogan dan halakah. Misalnya melakukan studi banding ke pesantren yang sudah memiliki sistem pembelajaran kitab kuning, mengikutkan ustaz dalam kegiatan pelatihan pembelajaran kitab kuning dan lain sebagainya.
Selain itu, pihak pesantren merumuskan acuan kurikulum berbasis kitab kuning agar memudahkan kontrol dan pengukuran kualitas pembelajaran kitab kuning di pesantren. Dan, Kementerian Agama perlu memfasilitasi pesantren dalam pengadaan kitab kuning dan tenaga pengajar kitab kuning di pesantren. (Kendi Setiawan)