Pada 7 November 2018 yang lalu, Badan Litbang dan Diklat menyelenggarakan International Symposium on Religious Life di Yogyakarta. Kepala Balitbang Diklat, H Abdurrahman Mas'ud dalam simposium yang bekerjasama dengan The Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) ini, menegaskan bahwa radikalisme bukan hanya terkait mtif anti-Barat.
Kaban juga meyampaikan hasil beberapa studi mengenai sikap keagamaan masyarakat menggambarkan adanya jarak sosial antara kelompok-kelompok etnik dan umat antaragama, menguatnya penggunaan politik identitas, dan meningkatnya intoleransi dan konservatisme.
Potensi radikalisme di kalangan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) berdasarkan temuan penelitian Badan Litbang dan Diklat berkategori mengkhawatirkan, di mana terdapat kecenderungan radikalisme meningkat dari waktu ke waktu. Hal itu terjadi di semua agama. Namun, perkembangan radikalisme di Indonesia menunjukkan ada perbedaan pola dengan kesimpulan dan teori-teori besar arus utama radikalisme yang ada.
Menurut Mas’ud, sementara studi-studi konvensional menunjukkan potensi radikalisme acap kali dimotivasi dan didasarkan pada konteks sosio-politik gerakan anti-Barat, penelitian Badan Litbang dan Diklat menggunakan gabungan pendekatan kuantitatif dan kualitatif menunjukkan temuan berbeda.
Pertama, potensi radikalisme muncul di kalangan siswa karena faktor internalisasi pemahaman agama yang cenderung ideologis dan tertutup serta tidak melulu terkait dengan gerakan radikalisme yang secara politis didasarkan pada motif anti-Barat. Kedua, potensi radikalisme yang didasarkan pada pemahaman ideologis yang cenderung kaku dan hitam putih terjadi di semua agama, baik di kalangan Muslim, Katolik, Kristen, Hindu maupun Budha.
Untuk itu, Mas’ud merekomendasikan beberapa hal. Pertama, perlu merumuskan konsep dan perspektif teoritis tentang Islam moderat yang bisa dipahami dan memperkuat masyarakat. Kedua, perlu menyebarkan seluruh sumber daya arus utama Islam moderat. Ketiga, menginternalisasikan dan menebarkan pendidikan Islam yang santun, toleran, dan rahmatan lil’alamin. Keempat, pembentukan karakter siswa bukan hanya tanggung jawab sekolah, melainkan juga tanggung jawab keluarga dan masyarakat. (Kendi Setiawan)