Balitbang Kemenag

Telaah Pelaku Bom Gereja Oikumene Samarinda

Jumat, 20 Oktober 2017 | 14:25 WIB

Telaah Pelaku Bom Gereja Oikumene Samarinda

Ilutrasi: Intelejennews.com

Jakarta, NU Online
Agama diturunkan dengan fungsi sebagai sumber nilai, norma dan kehidupan sehingga apa yang dikerjakan manusia dan yang dikehendaki Tuhan, bisa selaras. Namun, terkadang yang terjadi malah sebaliknya. Orang menggunakan dalih agama untuk melakukan hal-hal yang sebetulnya bertolak belakang dengan esensi agama yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan, cinta kasih, dan damai. 

Tidak sedikit dari mereka yang membajak agama untuk melakukan kekerasan dan tindakan-tindakan teror, sehingga agama terlihat dengan wajah yang sangat menyeramkan dan menakutkan. Di antara ajaran agama yang mereka bajak adalah konsep jihad. Mereka memiliki keyakinan dan pemahaman bahwa jihad adalah perang atas nama Allah dan membunuh orang-orang kafir yang tidak mau memeluk Islam.

Ada banyak kasus soal jihad di Indonesia. Umumnya, mereka melakukan bunuh diri di tengah-tengah kerumumunan ‘orang kafir’. Dengan meledakkan dirinya dan ‘orang kafir’ tersebut, ia meyakini Tuhan akan menyambutnya dan akan memberinya imbalan surga dan bidadari. Ada juga yang melakukan pemboman di tempat-tempat yang diyakini sebagai tempat kemungkaran, umumnya rumah ibadah agama lain seperti gereja. 

Di antara kasus jihad teror yang terjadi di Indonesia adalah kasus Gereja Oikumene Sengkotek Samarinda tahun 2016 lalu. Kasus ini mendapat perhatian yang cukup ramai dari warga Indonesia. Setidaknya ada lima korban dan semuanya anak balita. Intan Olivia Marbun, salah seorang korban, meninggal dunia saat menjalani perawatan di rumah sakit. Tentu jihad teror ini meninggalkan pilu yang mendalam bagi semuanya. 

Sebagaimana hasil penelitian Balitbang Diklat Kemenag Ritahun 2016, pelaku teror Juhanda bukanlah orang baru dalam kasus peledakan. Sebelumnya, ia pernah mendekam di penjara selama 3,5 tahun karena melakukan pemboman di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Tangerang. Tahun 2014, ia dibebaskan dari penjara dengan status bebas bersyarat. 

Belakangan diketahui, Juhanda tinggal di Masjid Mujahidin Sengkoten, jaraknya hanya 180 langkah ke Gereja Oikumene. Tercatat, ia tergabung dalam kelompok Jem’ah Anshorut Tauhid (JAT) yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir.

Di kehidupan barunya ini ia berprofesi sebagai penceramah dan tukang ikan. Hasil penelitian juga mengungkapkan, ia menganut paham keagamaan Salafi Wahabi, sebuah paham yang kaku dalam beragama karena hanya memiliki peniliaan hitam-putih dan halal-haram saja. Ia mengembangkan pahamnya ini ke jamaah yang tergabung dalam majelis taklim di masjidnya tersebut.

Apabila kita cermati, proses deradikalisasi yang dilakukan oleh pihak terkait berjalan kurang efekttif. Sebelumnya, Juhanda sudah ditahan karena kasus pembomam lalu kemudian dikeluaran setelah mendapatkan tindak lanjut deradikalisasi. Namun, nyatanya setelah keluar, ia terlibat dari dalam kasus yang sama. 

Berdasarkan kasus Juhanda ini seharusnya ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh lembaga yang terkait dalam masalah terorisme. Pertama, metode deradikalisasi terpidana terorisme harus disusun secara baik dan benar agar bisa berjalan secara efektif. Kedua, meningkatkan kualitas penyuluh agama di penjara untuk mengikis pemahaman jihad terpidana terorisme.

Ketiga, terpidana terorisme harus dipantau secara intensif meskipun ketika ia sudah keluar penjara. Terakhir, melakukan pembinaan yang berkelanjutan terhadap mantan terpidana terorisme, termasuk diantaranya adalah dengan memberikan lapangan pekerjaan. (A Muchlishon Rochmat/Kendi Setiawan)