Balitbang Kemenag

Tiga Tradisi Masyarakat Indonesia Timur Sarat Nilai Agama

Kamis, 25 April 2019 | 05:00 WIB

Tiga Tradisi Masyarakat Indonesia Timur Sarat Nilai Agama

Ritual Pasuo (galeriwisata.wordpress.com)

Keberagaman tradisi yang ada di Kawasan Indonesia Timur ternyata tidak kalah menarik untuk dikaji. Keberagaman kebudayaan yang dimiliki Indonesia tentu menjadi aset yang tidak dapat dinilai oleh apa pun.

Jika digali secara mendalam, masih banyak tradisi di Indonesia Timur yang belum diketahui oleh kebanyakan orang. Untuk itu perlu ada langkah langkah strategis agar tradisi tersebut dapat lestari dan menjadi penguat identitas bangsa.

Paling mungkin dilakukan adalah resolusi konflik, dan menjadikan kebudayaan sebagai investasi menginspirasi pengayaan untuk membangun masa depan dan kurikulum dalam media peradaban bangsa demi terwujudnya tujuan Pendidikan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Upaya itu misalnya melalui langkah-langkah Pemajuan Kebudayaan melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam Kebudayaan.

Dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 2017 yang dimaksud Pemajuan Kebudayaan, yakni tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus.

Aspek penting lainnya adalah keberagamaan yang akhir-akhir itu banyak diulas, didiskusikan, dan diviralkan. Sehingga perhatian terhadap aspek keagamaan dalam suatu wujud kebudayaan tertentu (resepsi agama dalam budaya).

Tahun 2018 lalu, Balai Penelitian dan Pengembagnan Agama Makassar, Badan Penelitan Pengembangan dan Pendidikan Pelatihan (Balitbang Diklat) Kementerian Agama  telah melaksanakan penelitian terkait nilai-nilai keagamaan pada ritual tradisional di Indonesia Timur. Penelitian bersifat kualitatif tersebut setidaknya menemukan hal-hal baru mengenai tradisi masyarakat Indonesia Timur.

Pertama, tradisi Bakar Batu. Bakar Batu adalah salah satu tradisi lokal yang telah dilakukan sejak dahulu sampai sekarang. Dalam perkembangannya, Bakar Batu yang dulunya merupakan ekspresi kuliner mama-mama Papua dengan memilih wadah memasak yang disediakan alam, yakni tanah, batu, ternak, dan hasil kebun dengan tujuan makan sama-sama. Kini telah banyak dilakukan dalam rangka memperingati hari besar, damai setelah perang, menyambut tamu, untuk syukuran, dan bahkan sebagai sarana komunikasi politik.

Tradisi Bakar Batu adalah budaya asli tanah Papua yang telah mengalami transformasi dalam tata laksana, dan tujuan tradisinya. Awalnya, tradisi itu sebuah kearifan kuliner masyarakat di tanah Papua, kemudian menjelma menjadi salah satu alat pelarut dendam dan pelebur luka bagi masyarakat yang sebelumnya saling bertikai.
Bakar Batu berfungsi sebagai media penyaluran berkah-berkah 'Sang Maha' kepada masyarakat, melalui tangan pelaksana tradisi. Toleransi, gotong royong, dan saling menghormati juga tercermin dalam nilai-nilai luhur yang ter ilhami dari proses pelaksanaan tradisi Bakar Batu.

Konon, Bakar Batu kini menjadi media pemersatu antar orang asli Papua, orang yang tinggal di Papua, dan para pendatang. Semuanya dapat ikut berpartisipasi aktif dalam setiap proses tradisi, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Bakar Batu itu tidak hanya diketahui oleh pendukung/penduduk asli, namun oleh masyarakat di luar komunitas (pendatang, pelancong, wisatawan, dan lain lain) 

Kedalaman dan keluhuran hikmah dari segenap proses-demi proses pelaksanaan Bakar Batu telah menunjukkan ejawantah nilai-nilai keagamaan (etika, moral, dan akhlak) yang potensial mewujudkan cita-cita bersama menuju Papua tanah damai.

Kedua, tradisi Koli Kie dan Feri Kie, ritual yang sudah berjalan selama ratusan tahun tersebut erat kaitannya dengan kondisi sosial-geografis Kota Ternate yang dikelilingi oleh laut, gunung vulkanik dan makam-makam keramat. Pelaksanaan ritual adat itu, sarat dengan nilai-nilai Islam. Hal itu terlihat pada makna simbol-simbol yang digunakan dalam pelaksanaannya ritual adat.

Selain simbol tersebut sarat dengan nilai-nilai ketuhanan, juga kemanusiaan dan eksistensi alam semesta yang notabene menjadi satu kesatuan dalam filosofi hidup kesultanan dan masyarakat Ternate. Melalui ritual adat itu kita dapat melihat gagasan atau cara padang masyarakat Ternate terhadap alam, manusia dan Tuhan dalam pelaksanaan ritual adat Koli Kie dan Fere kie.

Dalam penelitian Kemenag itu ditemukan juga beberapa fakta nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam pelaksanaan ritual adat kesultanan Ternate. misalnya; Pertama; nilai ketuhanan, hal itu terlihat pada upaya mereka mentadaburi kemahakuasaan Tuhan dengan menjadikan gunung Gamalama sebagai simbol perekat persatuan, baik antara sultan dan rakyat, maupun antara Tuhan dan hamba yang diistilahkan jou se ngofa ngare (kau dan aku satu).

Selanjutnya, nilai sosial, nilai itu terlihat pada kepedulian sultan yang senantiasa mendoakan rakyat dan wilayahnya agar selamat dari bencana, baik bencana alam maupun sosial, tetap rukun dan harmonis, sebagaimana filosofi hidup mereka Marimoi ngone futuru, masidika ngone foruru, yang artinya bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.

Terakhir, lingkungan. Bagi masyarakat Ternate, alam tak hanya berfungsi sebagai ruang materi, tapi juga sumber kedamaian hidup. Gunung dimaknai sebagai representasi dari sifat keibuan (perempuan), selain sarat dengan kasih sayang, juga punya kodrat melahirkan, sehingga dengan demikian, alam tak hanya menjadi sumber kehidupan, tapi juga sumber kenikmatan. Maka sepantasnya pula manusia senantiasa mengucap syukur kepada-Nya dengan senantiasa menjaga alam sebagai bagian dari karunia Tuhan yang tak terhingga.

Ketiga, Posuo. Ritual posuo/pingitan adalah adat istiadat masyarakat Kota Baubau sangat penting dalam membentuk karakter anak perempuan yang telah memasuki usia perkawinan, untuk dapat diberikan pemahaman dan pengetahuan moral yang mumpuni berdasarkan adat istiadat Buton sebagai bekal agar kelak ketika telah dapat mengarungi kehidupan rumah tangganya dapat berjalan dengan baik, dan terhindar dari segala macam permasalahan.

Ritual posuo dinilai sangat penting untuk digalakkan, demi menjadikannya sebagai tameng atas perilaku remaja yang akhir-akhir itu sangat memprihatinkan bahkan ada yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas.
Posuo juga adalah ejawantah penjagaan kesucian perempuan sebelum menikah, yang juga dapat menginspirasi atau mengajak masyarakat hidup berdampingan secara bijaksana.

Posuo diterjemahkan sebagai pembekalan secara adat bagi anak gadis, yang bahkan lebih kompleks dari suscatin yang lebih formal. Jika Posuo bisa digalakkan dan ditumbuh kembangkan, dipahami makna dan tujuannya, serta dikelola dengan baik sebagaimana semangat adat yang melekat sejak dahulu, maka bukan tidak mungkin pelaksanaan Posuo akan membantu mengurangi angka perceraian.

Ketiga tradisi di atas masing-masing menunjukkan nilai keagamaan yang potensial menumbuh kembangkan solidaritas dan kerja sama dalam rangka mempererat hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lainnya, maupun antara manusia dengan alam dan lingkungannya.

Hal itu juga dapat dijadikan sebagai bagian penting dalam hal pemajuan kebudayaan khususnya dalam hal pengembangan Pendidikan Nasional yang berorientasi budaya. Selain itu pula, aspek gotong royong dan solidaritas itu setidaknya dapat dijadikan inspirasi resolusi konflik, juga dalam hal penghambaan dari makhluk kepada Penciptanya.

Nilai-nilai sosial dan keagamaan yang beragam itu kemudian menunjukkan betapa khazanah kebudayaan nusantara sangat kaya dan sangat bermakna. Sehingga konteks tradisi dengan pemaknaannya yang mendalam itu sangat penting untuk diadopsi oleh penyuluh-penyuluh agama dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat. (Abdul Rahman Ahdori/Kendi Setiawan)