Balitbang Kemenag

Toleransi Antarkelompok Umat Beragama pada Komunitas Heterogen di Jabar

Sabtu, 29 Juni 2019 | 01:45 WIB

Salah satu penelitian Balai Litbang Agama (BLA) Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI tahun 2018 adalah Toleransi Anatrkelompok Umat Beragama pada Komunitas Heterogen di Jawa Barat.

Penelitian dengan menggunakan rancangan studi kasus, berusaha mengkaji berbagai wilayah di Jawa Barat dengan komposisi penduduk yang heterogen namun mampu merawat kerukunan. Wilayah-wilayah tersebut adalah Kelurahan Karangmekar Kecamatan Cimahi Kota Cimahi, Kelurahan Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan, Desa Pabuaran Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor, Desa Kertajaya Kecamatan Pebayuran Kabupaten Bekasi, Kampung Sawah Kecamatan Pondok Melati Kota Bekasi, dan Kampung Panggulan Kelurahan Pengasinan Kecamatan Sawangan Kota Depok.

Kerukunan dalam penelitian ini, mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Agama Nomor 9 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RepublikTahun 1945.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian mendapati bahwa kerukunan yang terjaga di sebagian besar wilayah penelitian merupakan akibat dari ikatan kekerabatan hasil dari proses perkawinan antar warga yang sudah terjadi sejak lama. Ikatan kekerabatan sebagai hasil dari proses perkawinan yang sudah berlangsung lama ini kemudian memunculkan berbagai kearifan lokal yang menyatukan setiap warga sebagai sebuah keluarga. Meski kondisi rukun ini tercipta sebagai hasil dari proses perkawinan, bukan berarti bahwa di wilayah-wilayah penelitian yang dimaksud membolehkan perkawinan antar penduduk berbeda agama. Yang terjadi adalah salah satu pasangan ikut memeluk agama pasangan lain.

Kerukunan yang terjaga ditopang oleh ikatan kewargaan yang bersifat keseharian (quotidian) seperti gotong-royong, menjaga keamanan wilayah secara bergantian, saling membantu dalam upacara siklus kehidupan, saling kunjung pada hari raya keagamaan, dan perayaan hari besar nasional. Di sebagian besar wilayah penelitian belum banyak terbentuk perkumpulan-perkumpulan asosiatif, yakni perkumpulan yang mampu menjembatani (bridging) berbagai elemen warga yang berbeda latar belakang agama, suku, etnis. Kerukunan yang terbangun, setiap warga tidak akan mengganggu atau bereaksi selama keyakinan dan peribadatannya tidak diganggu. Belum terlihat upaya untuk membangun kerukunan yang didasari pada pengakuan atas keterbatasan diri dan pemahaman atas keyakinan orang lain.

Peran pemerintah dalam memelihara kerukunan umat beragama di sebagian wilayah penelitian masih sangat minim dan bersifat seremonial dan formalistik. Minimnya peran pemerintah ditandai dengan absennya berbagai program atau kegiatan yang secara sengaja ditujukan untuk memperkokoh hubungan antaragama, baik di kalangan tokoh maupun warga. Absennya program atau kegiatan pemeliharaan kerukunan yang diinisiasi pemerintah mungkin didasari pertimbangan karena kehidupan antarwarga di daerah mereka sudah rukun dan damai. Hal ini tentu mengkhawatirkan karena hanya mengandalkan kondisi kerukunan yang muncul secara alamiah dan tidak diikat dengan mekanisme yang mampu beradaptasi dengan perubahan sosio-demografi.

Selain minim, kegiatan-kegiatan kerukunan masih bersifat seremonial dan formalistik. Pada sebagian besar wilayah penelitian terlihat pada kerap diadakannya kegiatan-kegiatan perayaan hari besar keagamaan dan perayaan hari besar nasional yang mengundang berbagai tokoh agama. Dialog-dialog lintas agama relatif sering dilaksanakan namun hanya mengundang berbagai tokoh agama dan kurang melibatkan warga sebagai peserta. Hal ini mengindikasikan bahwa tokoh agama dan masyarakat masih memiliki peran penting dalam menjaga kerukunan di sebagian besar wilayah penelitian.

Rekomendasi

Kerukunan antarumat beragama yang terjaga di berbagai lokasi penelitian menunjukkan kondisi kerukunan yang terjadi secara alamiah dan sudah berlangsung lama. Mereka merasa bahwa selama keyakinan agama mereka tidak diganggu dan setiap umat beragama menjalankan ajaran agamanya masing-masing sesuai keyakinan yang dianut maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kondisi alamiah ini membuat warga di berbagai lokasi penelitian merasa bahwa tidak perlu ada lagi usaha yang patut dilakukan untuk meningkatkan kerukunan. 

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, maka penelitian ini merekomendasikan beberapa hal. Pemerintah membantu memfasilitasi warga untuk membuat wadah aktivitas warga yang terdiri dari berbagai elemen warga dari berbagai agama hingga tingkat desa/kelurahan. Pembentukan wadah aktivitas warga sejak dari tingkat desa/kelurahan ini karena interaksi warga di tingkat desa/kelurahan jauh lebih lekat dan menjadi pondasi terhadap kondisi kehidupan social dalam struktur yang lebih luas. 

Berikutnya, meningkatkan upaya pemerintah dalam menyosialisasikan berbagai peraturan mengenai kerukunan umat beragama, terutama tentang pendirian rumah ibadah dan kelompok keagamaan bermasalah. Hal ini sebagai upaya menginternalisasi aturanaturan mengenai kerukunankepada khalayak yang lebih luas.

Kerukunan yang terjaga di banyak lokasi penelitian merupakan hasil dari proses panjang yang turun-temurun. Hal ini telah menghasilkan juga berbagai kearifan dan memori kolektif warga mengenai kerukunan di tempat di mana mereka tinggal. Karenanya, konservasi nilai-nilai dan kearifan lokal mengenai kerukunan dari setiap wilayah penelitian perlu dilakukan. Upaya konservasi ini dapat berbentuk penulisan sejarah dan berbagai kegiatan literasi merawat memori kolektif warga mengenai kerukunan. (Kendi Setiawan)