Balitbang Kemenag

Tradisi Ritual Keagamaan di 8 Daerah Kawasan Selat Sunda

Rabu, 5 Juni 2019 | 12:15 WIB

Tradisi Ritual Keagamaan di 8 Daerah Kawasan Selat Sunda

Tradisi sekura dari Lampung (foto: Indonesiakaya)

Meningkatkan pemahaman keagamaan dan kerukunan antarumat beragama merupakan salah satu isu penting dalam rencana strategis pembangunan agama di Kementerian Agama (Kemenag) RI.  Dalam khazanah kebudayaan Melayu, nilai agama merupakan bagian penting tiga simpul perekat kesamaan jati diri, yakni adat istiadat, bahasa dan agama.

Melalui ketiga ciri tersebut manusia dapat bicara tentang orang dalam dan orang luar, orang kita dan orang lain, dan lain sebagainya. Di samping itu, tradisi ritual mengandung beberapa pesan tertentu, baik nilai budaya dan agama yang berguna bagi pemilik dan pelaku tradisi maupun bagi masyarakat luas. 

Tradisi ritual tersebut dimaknai sebagai simbol komunikasi, sekaligus penghormatan manusia secara kolektif terhadap Tuhan dan makhluk-makhluk gaib, yang dipandang memiliki kekuatan luar biasa yang dapat menjamin keberlangsungan dan keharmonisan hidup masyarakat. 

Dengan kata lain ritual-ritual tersebut dimaknai sebagai ‘bujukan’ atau rayuan manusia kepada Tuhan atau makhluk-makhluk gaib agar dapat memberikan perlindungan, keselamatan, sekaligus juga berkah kepada masyarakat setempat.

Hasil Penelitian Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI tahun 2018 di delapan wilayah sekitar Selat Sunda, meliputi Sumatera, Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Penelitian terkait tradisi yang hidup di masyarakat dalam hal ini adalah nilai-nilai agama dan budaya dalam upacara 'Seren Taun' masyarakat adat Sunda Wiwitan Cigugur, Kabupaten Kuningan.

Kemudian, Ratib Tegak (Ratib Seman) di Desa Bungo Tanjung, Kecamatan Sitinjau Laut dan Desa Pulau Tengah, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Jambi; Wuku Taun masyarakat Kampung Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung; tradisi 'Melemang' di Desa Karangraja dan Kepur, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.

Berikutnya, tradisi Sekura pada Kepaksian Skala Brak di Lampung Barat; Seren Taun di Kasepuhan Cisungsang, Lebak Banten; tradisi Baritan di DKI Jakarta; dan tradisi Besaman di desa Kelumu, Lingga, Kepulauan Riau.

Tradisi yang ditemukan dalam penelitian itu menunjukkan bahwa Indonesia banyak sekali memiliki keragaman kebudayaan yang sarat akan nilai-nilai agama dan budaya yang menjadi identitas masyarakatnya. 

Nilai-nilai keagamaan yang terefleksikan dalam tradisi yang telah dipaparkan tersebut sangat beragam, masing-masing mempunyai keistimewaan sesuai dengan masyarakat pendukungnya baik yang heterogen maupun homogen. 

Dalam hal ini, kebanyakan dari tradisi ritual tersebut mengandung nilai etika, ketuhanan (tauhid) dan ibadah yang menjadi inti nilai agama Islam seperti yang termuat dalam tradisi Ratib Tegak (Ratib Seman), Wuku Taun, tradisi 'Melemang', tradisi Sakura, tradisi Baritan, dan tradisi Besaman. 

Dua tradisi memadukan beberapa kepercayaan dalam ritualnya, yakni upacara Seren Taun masyarakat Adat Sunda Wiwitan Cigugur Kabupaten Kuningan dan Seren Taun di Kasepuhan Cisungsang, Lebak Banten. 

Nilai etika itu terlihat dari rasa hormat menghormati, sopan santun, rendah hati, rasa syukur dan adil. Sedangkan nilai ketuhanan (tauhid) terlihat dari penyebutan simbol-simbol agama dalam tahapan-tahapan sebuah tradisi, yakni kata penghormatan kepada Tuhan dan Nabi Muhammad Saw, media menanamkan nilai-nilai ketuhanan (ketauhidan) dan media meningkatkan dan menumbuhkan nilai spiritualitas masyarakat, serta media mengajarkan hakikat diri.

Sebagian besar nilai budaya yang teraktualisasi dalam beberapa tradisi ritual yang telah dipaparkan sebelumnya berfungsi sebagai media perekat di masyarakat. Beberapa bentuk tradisi digunakan sebagai media menyampaikan pesan-pesan yang berupa nilai-nilai agama dan budaya untuk memperkuat kohesi sosial seperti yang terlihat dalam tradisi yang disebutkan di atas. 

Beberapa tradisi tersebut juga biasanya berhubungan dengan identitas komunal masyarakatnya seperti yang terdapat dalam tradisi upacara Seren Taun masyarakat Adat Sunda Wiwitan Cigugur Kabupaten Kuningan, Seren Taun di Kasepuhan Cisungsang, Lebak Banten dan tradisi Sakura pada Kepaksian Skala Brak di Lampung Barat. 

Beberapa nilai-nilai budaya yang teraktualisasi dari beberapa tradisi tersebut adalah, kerjasama atau gotong royong (cooperation), keterbukaan (openess) dan penghargaaan (respect), musyawarah untuk mufakat, hormat menghormati antar suku, bertimbang rasa (empaty, solidarity, dan tolerance), mengedepankan perdamaian dan tenggang rasa, nilai ekonomi dan keselarasan sosial.  

Hasil-hasil kajian itu juga membuktikan bahwa agama dan tradisi dapat berjalan seiring dan tidak saling berbenturan. Seperti dikemukakan oleh peneliti yang mengkaji Ratib Saman di Lingga, Angga Marzuki, tradisi Ratib Saman di Lingga tersebut menunjukkan bagaimana warga Lingga menghayati dan mempraktikkan keislaman mereka yang dipadukan dengan tradisi yang sudah mereka jalani jauh sebelum Islam datang. 

Selain itu, penelitian tersebut menemukan bahwa berkembangnya berbagai tradisi ritual di Indonesia, menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia merupakan orang-orang yang mengedepankan keselarasan dan keseimbangan hidup dengan lingkungan di mana mereka hidup. 

Tradisi ritual yang berkembang merupakan wujud rasa syukur atas berbagai karunia Tuhan yang disediakan di lingkungan mereka. Masuknya agama-agama baru kemudian tidak lantas menghapus tradisi-tradisi tersebut, justru malah memperkaya tradisi ritual dengan masuknya berbagai unsur-unsur agama ini. Tradisi-tradisi ritual yang berbaur dengan unsur-unsur agama ini seperti hendak menguatkan filosofi; siapa menyayangi yang di bumi, maka akan disayang 'Yang di Langit'.  

Upaya menjaga tradisi ritual di masyarakat merupakan bentuk kepedulian dan penghargaan masyarakat akademis dan pemerintah pada warisan budayanya, serta juga memberikan banyak temuan dan masukan yang berguna bagi banyak pihak terkait. 

Karena itu, sebagai bentuk tindak lanjut dari kegiatan penelitian, penulis merekomendasikan beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemangku kepentingan. Pertama, mengembangkan program-program pembangunan yang bersifat multidimensi dan berjangka menengah dan panjang, yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan budaya dalam masyarakat agar sanggup menghadapi tekanan terhadap nilai budayanya.

Kedua, pemberdayaan masyarakat secara sosial, ekonomi, dan budaya lewat tradisi ritual agar setiap masyarakat memiliki ketahanan secara budaya dalam menghadapai perubahan di era modern ini. (Abdul Rahman Ahdori/Kendi Setiawan)