Jakarta, NU Online
Berdasarkan penelitan Balitbang Diklat Kemenag tahun 2016 tentang Wacana Ekstrimisme Keagamaan dalam Media Online, apabila dilihat dari pemetaan isu yang terkait dengan masing-masing kata-kata kunci dalam setiap pemberitaan di dalam situs-situs Islam yang diobservasi, maka dapat diidentifikasi framing situs terhadap permasalahan yang terkandung di dalam berita.
Pemberitaan yang memuat kata kunci “ISIS” tidak selalu menempatkan ISIS sebagai objek langsung dari isu yang dipublikasikan. Adakalanya ISIS ditempatkan sebagai implikasi dari isu yang sesungguhnya ingin disampaikan kepada publik oleh situs Islam. Ada pula berita yang mempertanyakan legal standing dari penangkapan oleh institusi negara, yaitu Densus 88 atau BNPT terhadap pihak-pihak yang diduga sebagai simpatisan ISIS, seperti yang dimuat oleh (islampost.com, 2/2/106) atau pengawasan oleh pemerintah terhadap masjid-mesjid yang diduga menjadi media penyeberan paham ISIS (Hidayatullah.com, 23/3/2015).
Angle berita semacam ini tidak otomatis dapat diartikan bahwa nilai berita tentang ISIS menjadi positif, karena dalam konteks ini, objek pemberitaan sesungguhnya adalah kebijakan dalam kerangka mengantisipasi penyebaran paham ISIS di masyarakat yang dinilai tidak produktif.
Dari isu-isu yang dominan disampaikan oleh beberapa media berita online yang berfaliasi kepada Islam Sebagian besar 43% tujuan pemberitaan adalah untuk mempropagandakan ‘nilai’ atau ‘perspektif’ yang dimiliki pengelola situs kepada pembaca atas satu peristiwa. Hal ini relevan, mengingat situs-situs tersebut berfungsi sebagai media dakwah Islam, seperti penjelasan Muhammad Jibriel, pengelola situs arrahmah.com (kompas.com, 7/7/2015).
Hal yang perlu digarisbawahi, berita-berita yang dimuat oleh beberapa situs Islam yang diobservasi juga mengimplikasikan tujuan memprovokasi pembaca untuk melakukan penolakan atau penilaian negatif terhadap satu peristiwa (13%), seperti pemberitaan yang memuat kata kunci Syiah, Israel, LGBT, BNPT, dan Amerika. 31% berita dimuat oleh situs Islam adalah untuk tujuan mengklarifikasi atau mengkounter satu pernyataan atau peristiwa, seperti berita-berita terkait dengan pernyataan BNPT tentang pesantren yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme atau Islam radikal.
Tidak jauh berbeda dengan media Islam, beberapa media yang berafiliasi non Islam, seperti seperti Katolik dan Hindu juga ditemukan muatan-muatan berita yang bersifat propaganda, provokatif, informative dan klarifikasi.
Berdasarkan hasil observasi sesungguhnya tidak didapati pola wacana keagamaan tunggal yang direpresentasikan oleh masing-masing situs dalam hal pemberitaan terkait isu-isu Islam. Wacana yang terkandung dalam masing-masing berita dapat mengimplikasikan sudut pandang (perspektif) yang puritan, fundamentalis dan bahkan radikalis dari masing-masing situs, tergantung isu, setting berita yang melatarinya serta aktor-aktor yang menjadi subyek penyampaian pesan.
Di sisi publik, media online yang menyajikan berita-berita keagamaan dipandang sebagai hal yang positif sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi informasi, dapat menyajikan materi secara cepat, dinamis sehingga memudahkan distribusi infomasi kepada masyarakat luas, membuat dunia menjadi tanpa batas, sehingga isu-isu yang tadinya bersifat lokal dapat berubah menjadi eksplosif dan mempengaruhi orang-orang yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan isu tersebut.
Munculnya berita-berita keagamaan dalam situs berita berita media online, tidak lepas dari fenomena muculnya ledakan citizen jurnalism dimana setiap orang bisa menulis dan membuat sebuah berita, tidak didukung oleh kaidah kaidah jurnalistik secara benar. Beberapa pihak menilai bahwa memang terdapat media-media yang provokatif dari kalangan media Islam.Namun karatkteristik penyampaian pesannya tidak secara langsung (straight to the point).
Keberadaan media online disadari memiliki dua sisi yang apabila tidak disikapi secara bijak akan berdampak pada beredarnya informasi yang tidak bertanggungjawab apabila tidak terdapat mekanisme yang dapat menfilter dengan baik dan tidak menyalahi prinsip-prinsip demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat.
Dalam konteks yang lain, keberadaan media sosial yang berbasis account pribadi dirasakan lebih memiliki pengaruh terhadap tumbuhnya sikap-sikap keagamaan yang radikal. Saat ini, penggunaan media sosial tidak hanya anak-anak muda tetapi juga sudah sampai pada anak-anak SD. Remaja merupakan kelompok masyarakat yang rentan terpengaruh oleh isu-isu radikalisme kegamaan melalui bacaan mereka dari wall di Facebook yang dapat dengan bebas semua pihak berdiskusi tentang berebagai masalah dan isu. Aktivitas mereka menggunakan internet lebih ruting untuk mengakses media sosial. Keberadaan blog atau situs-situs berita lebih untuk kepentingan tugas sekolah.
Pola wacana radikalisme atau ekstrimisme keagamaan di media online berbasis situs-situs berita yang berafiliasi kepada agama tertentu muncul sebagai bentuk reaktif dari persoalan sosial keagamaan yang berkembang di masyarakat dan dipengaruhi oleh faktor yang kompleks. Dengan kata lain, sudut pandang keagamaan puritan, fundametalis dan radikal yang diperlihatkan oleh situs-situs Islam merupakan peneguhan kembali dari ide-ide atau wacana yang sebelumnya tersebar di ruang publik.
Perkembangan wacana radikalisme atau yang mengarah kepada ektrimisme keagamaan di beberapa media berita on-line, perlu mendapatkan perhatian serius oleh pemerintah cq. Kementerian Agama dalam mengamati perkembangan perilaku keagamaan di tengah masyarakat, sehingga dapat mengantisipasi perilaku radikal keagamaan di masyarakat, khususnya yang dipengaruhi oleh wacana keagamaan yang berkembang di media-media berita online atau di media online lainnya.
Untuk itu, Kementerian agama perlu (i) membuat desk khusus yang mengamati secara terus-menerus perkembangan wacana keagamaan di media online, situs berita, blog dan media sosial, juga video meanstreming, (ii) terlibat secara aktif di dalam merumuskan kebijakan yang bersifat multi-departemen tentang kebijakan pemblokiran situs-situs Islam, (iii) menfasilitasi para penggiat media online dalam memberitakan isu-isu Islam berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan jurnalistik yang benar. (iv) mengoptimalkan peran penyuluh keagamaan dalam rangka deradikalisasi sikap keagamaan masyarakat. (Kendi Setiawan)