Cerita Pendek: Samudera Dwija
Parlan, itulah nama yang sering jadi panggilannya. Ia bukan siapa-siapa, hanya seorang tukang becak yang tiap malam mengayuh peluh demi sesuap nasi. Hidupnya sederhana, bahkan terlalu sederhana, jika dibandingkan dengan mereka yang biasa dilihatnya lalu-lalang di pasar. Tapi Parlan bukan tipe orang yang mudah menyerah. Setiap malam, tepat pukul 22.00, ketika orang-orang lain sudah tenggelam dalam istirahat, ia mulai bersiap. Becaknya yang tua tapi setia selalu menunggu di sudut gang kecil tempat ia tinggal.
Tujuannya adalah Pasar Larangan, Sidoarjo. Di sanalah truk pengangkut kelapa dari Banyuwangi biasanya tiba, memuntahkan muatan berat yang akan menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang, termasuk Parlan. Tugasnya sederhana tapi melelahkan: mengangkut kelapa dari truk besar itu ke dalam pasar. Pekerjaan ini tidak hanya membutuhkan tenaga besar, tetapi juga ketelitian, karena kelapa yang jatuh atau pecah akan menjadi tanggung jawabnya.
Parlan melakukannya dengan sepenuh hati, bukan karena ia suka, tetapi karena ia tahu tak ada pilihan lain. Di rumah, istrinya terbaring sakit, tubuhnya kurus dengan wajah yang sudah lama kehilangan ceria. Tiga anaknya yang masih kecil sering kali menunggu dengan mata berbinar, berharap ada makanan hangat yang bisa mengisi perut mereka di pagi hari. Harapan merekalah yang membuat Parlan tetap bertahan, meskipun rasa lelah sering menyiksa tubuhnya.
Namun, hidup tak selalu ramah kepada orang-orang seperti Parlan. Malam itu, takdir membawa cerita lain. Sebuah pertengkaran dengan juragan kelapa Dasim yang sombong memecah rutinitasnya. Awalnya, hanya soal uang angkut yang tak kunjung dibayar. Tapi juragan itu, dengan nada tinggi dan sikap merendahkan, mengeluarkan kata-kata yang menusuk hati Parlan. Harga diri Parlan yang selama ini ia pendam meledak, dan sebuah perkelahian pun terjadi, juragan itu dipukul kepalanya dengan kelapa hingga berdarah.
Tidak lama setelah itu, nama Parlan tiba-tiba berubah dari tukang becak yang setia bekerja menjadi seorang buronan. Anak buah juragan mencarinya, dan ia terpaksa melarikan diri dalam gelapnya malam, meninggalkan becak tua yang sudah menjadi saksi hidupnya. Di balik pelariannya, ia hanya punya satu pikiran: bagaimana nasib istri dan anak-anaknya jika ia tertangkap kemudian dihabisi oleh anak buah Juragan Kelapa.
Malam itu, roda takdir Parlan berputar terlalu cepat. Dalam keheningan malam yang biasanya menjadi sahabatnya, kini ia berjalan sendiri, membawa beban yang jauh lebih berat daripada sekadar kelapa di atas becaknya.
Di tengah malam yang sepi, Parlan terus mengayuh sepeda motor Yamaha 75 yang sudah renta. Jember adalah tujuannya, tempat di mana seorang jawara yang dikenal dengan ilmu kebalnya tinggal. Parlan merasa hidupnya tak lagi aman setelah mendengar kabar bahwa anak buah juragan kelapa telah mencarinya dengan senjata di tangan. Mereka tidak hanya ingin menangkapnya, tetapi berniat menghabisinya sebagai pembalasan atas perkelahian itu.
Setelah perjalanan panjang dan berliku, Parlan tiba di sebuah desa kecil di pinggiran Jember. Ia mengetuk pintu sebuah rumah sederhana yang dikenal sebagai tempat tinggal sang jawara. Dari balik pintu, seorang lelaki bertubuh tegap dengan sorot mata tajam menyambutnya.
“Siapa kau, dan apa keperluanmu datang ke sini tengah malam begini?” tanya sang jawara dengan suara berat.
“Saya Parlan, Pak. Tukang becak dari Sidoarjo. Hidup saya sedang terancam, dan saya butuh bantuan panjenengan,” jawab Parlan dengan nada memelas.
Jawara itu memperhatikan Parlan dari kepala hingga kaki. “Kenapa kau dikejar-kejar?”
Parlan menarik napas panjang dan menjelaskan semuanya, dari awal perkelahian dengan juragan hingga ancaman yang kini mengintainya. Setelah mendengar ceritanya, jawara itu mengangguk perlahan.
“Kalau memang itu takdirmu, kau harus kuat menghadapinya. Tapi aku akan memberimu sesuatu,” katanya sambil masuk ke dalam rumah.
Ia kembali dengan sebuah sabuk kain hitam yang tampak biasa saja. Namun, sabuk itu memiliki kekuatan luar biasa. “Ini sabuk berisi asmak. Jika kau memakainya, kau tak akan terluka meskipun diserang senjata tajam. Tapi ingat, ini hanya perlindungan fisik, bukan perlindungan batin. Kau tetap harus menjaga dirimu dan keluargamu dengan hati yang bersih.”
Parlan memasang sabuk itu di pinggangnya. Sang jawara kemudian menguji keampuhannya. Dengan sebilah pedang, ia menyabet Parlan di lengan.
Prank! Bunyi logam beradu terdengar keras, dan Parlan tidak terluka sedikit pun. Ia terkejut sekaligus lega.
“Terima kasih, Pak,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Namun, di perjalanan pulang, meski sabuk itu telah memberinya rasa aman, hati Parlan tetap gelisah. Ia merasa ada sesuatu yang kurang. Perlindungan fisik saja tidak cukup untuk menghadapi ancaman sebesar ini. Ia membutuhkan sesuatu yang lebih mendalam—sesuatu yang bisa menenangkan jiwanya.
Setelah berpikir panjang, Parlan memutuskan pergi ke Blitar, tempat tinggal seorang guru bijaksana yang pernah ia dengar dari seorang teman lama. Guru itu dikenal tidak hanya memiliki ilmu kebatinan yang tinggi, tetapi juga hati yang penuh welas asih.
Sesampainya di rumah guru tersebut, Parlan langsung salam takdim di hadapannya. “Guru, tolong saya. Hidup saya sedang terancam, dan hati saya tidak pernah tenang meskipun saya sudah diberi perlindungan fisik.”
Guru itu tersenyum lembut dan membantu Parlan berdiri. “Nak Parlan, ketenangan tidak akan kau temukan dari benda apa pun di dunia ini. Ketenangan hanya datang dari dalam dirimu sendiri dan dari kepasrahanmu kepada Gusti Kang Maha Suci.”
Parlan mengangguk, menyimak setiap kata guru itu.
“Saya akan memberimu sebuah mantra Jawa. Ini bukan jimat, bukan sihir. Ini adalah doa yang harus kau rapalkan dengan penuh keyakinan jika ada bahaya yang mengancammu,” ujar guru itu sambil memejamkan mata.
Guru itu kemudian melafalkan mantra:
"Ingsun amatek ajiku, ajiku sejati rahayu,
Saking kersaning Gusti Kang Maha Suci,
Rahayu slamet ing salami-laminya,
Ora ono sing biso nyedhaki, ora ono sing biso ngelarani,
Kersaning Gusti aku slamet, kersaning Gusti aku rahayu."
Guru itu memegang pundak Parlan. “Ingatlah, mantra ini adalah pengingat bahwa keselamatanmu sepenuhnya ada di tangan Tuhan. Jangan pernah gunakan ini dengan kesombongan atau niat buruk. Gunakan hanya jika benar-benar terdesak.”
Parlan merasa tenang untuk pertama kalinya. Ia menghafalkan mantra itu dan berjanji akan menjalani hidupnya dengan lebih bijaksana. Meskipun ancaman masih ada, ia kini merasa memiliki perlindungan yang jauh lebih kuat—perlindungan dari Gusti Kang Maha Suci.Dengan tekad baru, Parlan kembali ke Sidoarjo, menghadapi apa pun yang ada di hadapannya dengan hati yang pasrah dan jiwa yang teguh.
Parlan tiba di rumahnya dengan tubuh letih setelah perjalanan panjang dari Blitar. Begitu ia membuka pintu, suara isak tangis segera menyambutnya. Ketiga anaknya langsung berlari memeluknya erat, sementara istrinya yang masih lemah menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Ayah! Kami kira Ayah tidak akan kembali!” tangis anak sulungnya, memeluk erat tubuh Parlan yang masih dipenuhi debu perjalanan.
Parlan mengelus kepala anaknya, mencoba menenangkan. “Ayah sudah pulang, Nak. Semua akan baik-baik saja.”
Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung sejenak. Tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu. Parlan menoleh, jantungnya berdegup kencang. Dua orang laki-laki berbadan tegap dengan pakaian preman berdiri di depan rumahnya.
“Kami dari kepolisian. Parlan, kami harus membawamu ke kantor untuk dimintai keterangan,” kata salah satu dari mereka dengan nada tegas.
Parlan menelan ludah. Ia ingin melarikan diri, tapi rumahnya kecil dan sempit, tak ada tempat bersembunyi. Istri dan anak-anaknya langsung menangis, memeluknya erat.
“Pak... suami saya tidak bersalah! Jangan bawa dia!” istri Parlan memohon dengan suara bergetar.
“Kami hanya ingin meminta keterangan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujar polisi itu, meskipun wajahnya tetap dingin. Parlan menghela napas dalam. Ia menunduk, lalu mengangguk pasrah. “Baik, saya ikut.” Dengan langkah berat, ia melangkah keluar rumah di tengah jeritan tangis anak-anaknya.
Sesampainya di kantor polisi, Parlan melihat seseorang yang tidak disangka-sangka sudah menunggunya. Juragan Dasim duduk dengan ekspresi tenang. Tidak ada kemarahan di wajahnya, bahkan ada sedikit penyesalan di matanya. Juragan Dasim berdiri, mendekati Parlan, lalu berkata dengan suara datar, “Aku tidak menuntutmu, Parlan.” Parlan menatapnya dengan bingung.
“Aku hanya ingin mengurus administrasi pencabutan laporan. Polisi butuh berita acara resmi, jadi kau harus menyampaikan keterangan,” lanjutnya. Parlan masih diam, belum yakin dengan maksud baik ini.
Juragan Dasim melanjutkan, “Aku juga sadar, Parlan... selama ini aku terlalu keras. Aku tidak membayarmu dengan adil, dan itu kesalahanku. Aku janji, hak-hakmu akan segera aku lunasi.”
Parlan hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia sudah siap menghadapi hukuman, bahkan mungkin dipenjara, tapi justru yang ia terima adalah pengakuan salah dari seorang juragan besar.
Polisi yang menangani kasusnya pun berkata, “Setelah mendengar keteranganmu, kami memutuskan bahwa kau hanya perlu wajib lapor selama satu minggu, Parlan. Tidak ada tuntutan lebih.”
Parlan menarik napas lega. Semua ketakutannya perlahan sirna. Ia menatap juragan itu dengan mata penuh emosi campur aduk. Terdiam sejenak, akhirnya ia berkata lirih, “Terima kasih, Juragan.”
Juragan Dasim mengangguk. “Hidup ini penuh pelajaran, Parlan. Aku harap kita bisa memulai kembali dengan lebih baik.”
Malam itu, Parlan kembali ke rumah dengan perasaan yang jauh lebih tenang. Ia memeluk keluarganya dengan erat, bersyukur bahwa badai yang menerpa hidupnya akhirnya berlalu.
Samudera Dwija, nama pena dari Siswanto, Kepala Sekolah SDN 1 Bangsri Nganjuk, Jawa Timur. Ia juga Sekretaris MWCNU Kertosono 2022-2027. Ia tengah menyiapkan karyanya dalam bentuk buku berjudul Samudera Guru Terjepit hingga Melejit dan Pitutur Luhur Intisari Ngaji para Kiai.
Terpopuler
1
Khutbah Idul Fitri 1446 H: Kembali Suci dengan Ampunan Ilahi dan Silaturahmi
2
Kultum Ramadhan: Meningkatkan Kualitas Ibadah di 10 Malam Terakhir Bulan Ramadhan
3
Beasiswa BIB Dibuka 1 April 2025, Berikut Link Pendaftaran dan Persyaratannya
4
Habis RUU TNI Terbitlah RUU Polri, Gerakan Rakyat Diprediksi akan Makin Masif
5
Kemenag Prediksi 1 Syawal 1446 H Jatuh pada 31 Maret 2025
6
Kiriman Kepala Babi dan Bangkai Tikus ke Tempo, Pers Hadapi Ancaman Represi dan Pembungkaman
Terkini
Lihat Semua