Batik Garut Masyarakat Sunda Wiwitan, Simbol Budaya dan Jembatan Dialog Antaragama
Senin, 4 November 2024 | 07:00 WIB
Turis mancanegara dan beberapa wisatawan sedang ikut membatik di tengah masyarakat Sunda Wiwitan Garut, Jawa Barat. (Foto: dok. istimewa/Suci)
Suci Amaliyah
Kontributor
Gerombolan turis berpakaian kaos putih tampak fokus saat duduk memangku kain dan memegang canting—alat untuk menerapkan lilin pada kain batik. Di tengah kelompok, seorang pengajar dari komunitas Sunda Wiwitan di Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat membimbing para turis Australia dalam proses membatik. Tradisi membatik menjadi kegiatan yang merangkai budaya lokal dengan keterbukaan pada budaya lain, termasuk kunjungan wisatawan.
Tradisi membatik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda sejak zaman dahulu, seperti yang tercatat dalam naskah Siksa Kandang Karesian pada abad ke-16. Kehadiran motif-motif batik juga tercermin kuat di berbagai daerah Jawa Barat, seperti Cirebon, Tasikmalaya, dan Garut, masing-masing dengan ciri khas motifnya sendiri.
Batik Garut, sebagai salah satu warisan budaya yang tak ternilai, tidak hanya memperkaya tradisi membatik di Indonesia, tetapi juga menjadi simbol kekayaan budaya Sunda. Motif-motif seperti Lereng Surutu, Lereng Camat, dan Lereng Dokter memiliki inspirasi unik dari profesinya pemakai awalnya, sementara motif Drintin mengambil inspirasi dari Kebun Binatang Kota Bandung, mencerminkan kreativitas dalam menggabungkan kebudayaan lokal dengan pengaruh Belanda.
Diperkirakan ada sekitar 40 jenis motif batik tulis tradisional 'Garutan', dengan variasi baru yang terus berkembang. Setiap motif, mulai dari Lereng Doktor hingga motif modifikasi seperti Tanjung Anom dan Tumpal, mengandung cerita dan makna tersendiri yang menjadi cerminan kekayaan budaya dan sejarah Garut.
Warga Desa Cintakarya, Caca menjelaskan membatik menjadi salah satu pekerjaan ibu-ibu di desa. Tak jarang pendatang yang berkunjung ke kampung adat Sunda minta diajarkan bagaimana membuat batik tulis. Hal itu juga menjadi salah satu jembatan komunikasi masyarakat adat dengan pendatang.
“Kegiatan ibu-ibu di sini selain mengisi kerohanian, iya ke sawah jika ada waktu membatik,” kata Caca dihubungi NU Online, Jumat (1/11/2024).
Caca mengatakan kegiatan membatik dalam ajaran Sunda Wiwitan dimaknai lebih luas untuk memanfaatkan kekayaan alam yang diberikan Tuhan kepada manusia. Alam merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa manusia harus bersyukur karena nilai-nilai alam ini sama seperti dalam membuat batik. Seperti dedaunan yang dikembangkan.
Batik tak hanya membantu perekonomian warga saja selama ini setiap ada tamu, setiap ada pejabat, turis selalu datang untuk membeli meski harganya mahal karena proses pembuatannya yang memakan waktu hingga satu bulan.
“Bagi saya membatik tak sekadar pekerjaan, tapi melestarikan budaya kalau enggak sama kita sama siapa lagi. Karena batik juga kita dipertemukan dengan banyak orang,” kata Caca.
Abah Enggan, seorang tokoh adat Sunda Wiwitan, menjelaskan bahwa membatik bukan hanya seni menghias kain, melainkan bagian dari spiritualitas yang berakar pada ajaran Sunda Wiwitan. Konsep “batik” yang jika dibalik menjadi “kitab” mengandung filosofi bahwa meskipun motif batik bisa beragam, kehidupan harus diarahkan pada pemikiran yang lurus dan kuat.
“Perkembangan di masyarakat adat mulai dikenal masyarakat luar setelah datangnya turis asing, lokal, mahasiswa. Dari sini pula interaksi masyarakat dengan agama lain terbangun saling menghormati, menghargai dan saling menjaga kerukunan agama,” ucap Abah Enggan.
Pengaruh budaya dari luar yang masuk sempat menimbulkan ketegangan, namun masyarakat Sunda Wiwitan mengembalikan dengan membuka dialog bersama masyarakat dari luar, membangun dialog lintas iman. Upaya ini tak lain untuk mengenalkan kepada generasi muda bagaimana menghormati antar sesama, menjaga budaya dan kearifan lokal.
Misalnya seperti dalam peringatan 1 Sura tahun ini, mengangkat tema Ngaruat Ngarumat Ka Akur Rukunan Pikeun Nanjer Hebeul Jaya di Buana yang artinya Menjaga Memelihara Keharmonisan Peninggalan Ajaran Atikan Sunda Masa Lampau Kembali Jaya di Dunia, masyarakat mengundang sejumlah tokoh agama dari lintas iman seperti pendeta Katolik, Protestan, Hindu dan Budha.
Tradisi membatik di Sunda Wiwitan tidak hanya berfungsi sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun dialog antaragama dan interaksi dengan wisatawan. Kegiatan ini membantu melestarikan nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal, sekaligus mendukung perjuangan masyarakat untuk mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat adat. Keseluruhan proses ini menciptakan sinergi antara pelestarian budaya, pengakuan identitas, dan dialog antarbudaya.
Salah satu penganut Sunda Wiwitan Madrais, Ajat mengatakan secara historis ajaran yang dianut masyarakat adat Sunda berkiblat pada Agama De Jawa Sunda (ADS) yang berpusat di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Ajaran ini tiba di Garut pertama kali dibawa oleh Abah Ratma Wijaya sejak akhir abad 18 hingga kini tetap lestari melanjutkan tradisi yang telah diturunkan secara turun-temurun ini. Ajaran utama bertumpu pada tiga hal yang tergabung dalam Tri Tangtu. Pertama, olah ka raga, aya sirah, panangan, sampean, safikir atanapi tekad ucap lampah (Ada kepala, tangan, kaki, satu pikiran antara ucapan dan perbuatan).
Kedua, olah ka naga, nusa dan banga yakni harus mencintai negara kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, olah ka maha kawasa atau Tuhan yang Maha Kuasa yang tergabung dalam kekuasaan Tri Eka Karsa, hiji-hijina Gusti anu kagunga kersa dunya jeng sapangisina (Satu-satunya Tuhan yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan dunia berikut isinya).
“Bagi penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan, moderasi beragama adalah ketika individu bisa bertoleransi atas perbedaan agama maupun kepercayaan karena setiap orang berhak atas pilihan mereka sendiri walaupun tidak sepengetahuan tapi sepengertian itulah arti kebersamaan,” kata Abah Enggan.
Kepercayaan lokal tidak termasuk ke dalam enam agama resmi menurut Undang-undang yang ditetapkan namun dalam kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) sudah ditetapkan sebagai Penghayat. Indonesia sejak dulu memiliki agama asli Nusantara yang terbentuk sebelum agama lain datang di antaranya yaitu Sunda Wiwitan, Kejawen, Djawa Sunda, Parmalim, Kaharingan, dan lain sebagainya. Penduduk yang sampai saat ini masih menganut dan memegang teguh agama kepercayaan lokal disamaratakan dalam kolom KTP sebagai Penghayat.
Masyarakat Adat Sunda Wiwitan hingga saat ini masih memperjuangkan kejelasan status hukum sebagai masyarakat adat. Hal tersebut dilakukan bukan untuk menambah jumlah agama yang sudah ada karena eksistensi Sunda Wiwitan sudah ada sebelum enam agama resmi masuk.
Hingga saat ini penetapan masyarakat Sunda Wiwitan sebagai masyarakat adat belum bisa terwujud. Hal ini berkaitan dengan belum terpenuhinya persyaratan yang mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 tahun 2014 mengenai Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua