Daerah BANJIR SUMATRA

Bencana Belum Reda, PWNU Aceh Dorong Penanganan Cepat dan Pemulihan Pendidikan Anak Pengungsi

NU Online  ·  Selasa, 23 Desember 2025 | 13:45 WIB

Bencana Belum Reda, PWNU Aceh Dorong Penanganan Cepat dan Pemulihan Pendidikan Anak Pengungsi

Rumah warga Pidie Jaya, Aceh terbenam lumpur yang sudah mengeras menjadi tanah, 18 Desember 2025. (Foto: NU Online/Helmi Abu Bakar)

Banda Aceh, NU Online

Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra hingga akhir November 2025 masih menyisakan kondisi darurat. Jumlah korban jiwa terus bertambah, sementara ribuan warga terdampak masih bertahan di pengungsian dengan berbagai keterbatasan.


Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan jumlah korban jiwa banjir dan tanah longsor per Senin (22/12/2025) sebanyak 1.106 orang. Sementara itu, jumlah warga yang masih dalam pencarian masih ada 175 jiwa. Adapun jumlah pengungsi, total per Senin sebanyak 502.570 jiwa.


Provinsi Aceh menjadi wilayah dengan jumlah korban jiwa terbanyak. BNPB melaporkan 472 orang meninggal dunia dan sekitar 4.300 orang luka-luka akibat banjir bandang dan longsor yang menerjang berbagai kabupaten dan kota. Disusul Sumatra Utara dengan 370 korban meninggal dan 2.300 orang luka-luka, serta Sumatera Barat dengan 248 korban meninggal dan 382 korban luka.


Selain korban manusia, dampak kerusakan infrastruktur juga terbilang masif. BNPB mencatat sedikitnya 147.236 rumah rusak, serta ribuan fasilitas publik, mulai dari sekolah, jembatan, tempat ibadah, hingga fasilitas kesehatan, mengalami kerusakan ringan hingga berat di tiga provinsi tersebut.


Menanggapi kondisi tersebut, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh Tgk H Faisal Ali atau Abu Sibreh menyampaikan duka mendalam sekaligus mendorong percepatan penanganan bencana yang lebih terkoordinasi dan menyentuh kebutuhan mendasar para korban.


“Musibah ini merupakan duka bersama. Penanganan harus dipercepat dan tidak boleh berhenti pada angka statistik semata. Yang terpenting adalah memastikan keselamatan, kesehatan, dan pemulihan para penyintas, termasuk pendidikan,” ujar Abu Sibreh.


Ia menilai, selain kebutuhan mendesak berupa logistik, pangan, dan layanan kesehatan, persoalan pendidikan anak-anak pengungsi juga perlu mendapat perhatian serius. Di banyak titik pengungsian, aktivitas belajar terhenti akibat rusaknya sekolah, hilangnya perlengkapan pendidikan, serta ketiadaan ruang belajar darurat.


Di sejumlah posko pengungsian di Aceh, anak-anak tampak menghabiskan waktu tanpa kegiatan terarah. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran orang tua karena berpotensi berdampak pada kondisi psikologis dan masa depan anak-anak, terlebih banyak di antara mereka mengalami trauma akibat kehilangan rumah dan anggota keluarga.


“Selain logistik dan kesehatan, pendidikan anak-anak di pengungsian harus dipikirkan secara sungguh-sungguh. Mereka tidak boleh kehilangan hak belajar hanya karena bencana,” tegas Abu Sibreh.


Menurutnya, dibutuhkan langkah yang lebih efektif dan terkoordinasi, seperti penyediaan ruang belajar darurat, pendampingan psikososial, serta kehadiran tenaga pendidik dan relawan yang dapat mendampingi anak-anak selama masa pengungsian.


Ia menambahkan, pendidikan merupakan bagian penting dari pemulihan mental dan sosial. “Anak-anak yang kembali belajar, meski dalam kondisi darurat, akan lebih cepat pulih dari trauma. Pendidikan memberi mereka harapan dan rasa normal di tengah situasi sulit,” ujarnya.


PWNU Aceh mengajak pemerintah, lembaga kemanusiaan, dan masyarakat luas untuk tidak hanya berfokus pada penanganan darurat, tetapi juga merancang program pemulihan jangka menengah dan panjang, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan mental, agar para korban, terutama anak-anak, tidak kehilangan masa depan akibat bencana.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang