Jakarta, NU Online
Belakangan ini seakan menjadi tren baru dalam aksi terorisme dengan hadirnya keterlibatan perempuan dan anak. Dulu perempuan hanya menjadi faktor simpatisan dan pendukung, tetapi saat ini mereka turut mengambil andil sebagai pelaku teror.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigadir Jenderal (Pol) Hamli, saat menghadiri kegiatan seminar Pelibatan Perempuan sebagai Agen Perdamaian dalam Pencegahan Radikalisme di Hotel Lumire, Kamis (1/8).
Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan BNPT di daerah yang bekerja sama dengan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) DKI Jakarta.
Kalau dicermati lebih jauh, menurut Hamli, pola pemanfaatan perempuan dalam aksi ini bagian dari kelompok teror mengeksploitasi perempuan sebagai martir baru. Semakin kurangnya kader dan anggota memaksa mereka untuk mendorong perempuan agar tampil sebagai pelaku aksi.
"Di Syiria banyak pria yang tewas karena peperangan, yang tersisa adalah para perempuan dan anak. Sehingga para perempuan dan anak pun turut dikerahkan untuk menjadi teroris. Ternyata kecenderungan ini pun turut menyebar ke seluruh dunia," ungkap Hamli yang hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut.
Karena itulah, dirinya meminta perempuan menjadi agen perdamaian yang secara aktif memberikan pencerahan dan pendidikan baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat secara luas. Keterlibatan perempuan mempunyai peran strategis karena menjadi tumpuan pendidikan anak di keluarga maupun melalui komunitas perkumpulan perempuan.
Lebih lanjut, Hamli mengatakan di lingkungan sosial kita saat ini sudah banyak sekali sebaran narasi bernuansa sentimen dan kebencian berbasis perbedaan agama yang berpotensi memecahbelah masyarakat. Narasi ini sebenarnya dikembangkan sebagai bagian dari upaya meradikalisasi masyarakat. Perpecahan dan konflik pada akhirnya merupakan ladang subur berkembangnya paham dan jaringan terorisme.
Narasi lainnya yang patut diwaspadai menurut Jenderal bintang satu ini adalah narasi emosi keagamaan dengan mengimpor konflik di negara lain sebagai alasan untuk perjuangan. Penderitaan yang terjadi di Timur Tengah seperti Syiria, Irak dan lainnya dijadikan propaganda untuk mengajak dan merekrut anggota di dalam negeri yang tidak mengerti peta konflik yang sebenarnya.
"Patut dipahami bahwa seseorang menjadi teroris bukan proses yang instan, tetapi melalui tahapan dari mengadopasi narasi-narasi intoleran, radikalisme dan terakhir menuju terorisme,” ungkap Hamli.
Karena itulah, Hamli berharap perempuan harus menjadi bagian penting dalam menangkal narasi-narasi tersebut, bukan justru menjadi korban narasi kekerasan dan teror. Apalagi sebaran narasi radikalisme itu saat ini tidak hanya terjadi secara offline, tetapi yang lebih mengkhawatirkan narasi radikalisme yang bertebaran di dunia maya. (Ibnu Nawawi)