Daerah

Cerita Sabilil Faroshi Attamimi, Sedikit Pemuda yang Memilih Jadi Petani

Kamis, 26 September 2024 | 17:00 WIB

Cerita Sabilil Faroshi Attamimi, Sedikit Pemuda yang Memilih Jadi Petani

M. Sabilil Faroshi Attamimi memilih menjadi petani sejak muda. (Foto: dok. pribadi)

Nganjuk, NU Online

M. Sabilil Faroshi Attamimi, adalah sedikit dari pemuda yang memilih bertahan sebagai petani. Pemuda kelahiran 1995 ini sedang fokus menanam alpukat dan pepaya Hawai tidak jauh dari rumahnya di Kecamatan Baron, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.


"Saat ini sedang menanam alpukat dan pepaya Hawai. Bekerja sama dengan beberapa pihak juga," jelas alumnus Universitas KH A. Wahab Chasbullah Tambakberas, Jombang ini, Rabu (25/7/2024).


Menurutnya, alasan ia tetap menjadi petani yaitu ingin berbagi pengalaman kepada generasi muda lainnya bahwa masih ada harapan di dunia pertanian. Ia juga ingin berbagai ilmu kepada berbagai pihak tentang cara bertani yang menguntungkan dan mudah. 


Ia sudah menyukai dunia pertanian sejak kecil dan sudah merasakan sulitnya menjadi petani dalam hal bahan produksi, harga panen yang tidak stabil dan diremehkan orang banyak. "Saya tetap setia jadi petani, bertujuan memakmurkan bumi Pertiwi serta sarana edukasi bagi yang lain," tegasnya. 


Pria yang akrab disapa Roshi ini menjelaskan, saat ini banyak pemuda yang tidak terlalu tertarik jadi petani. Termasuk teman-temannya saat kuliah jurusan pertanian dulu. Meskipun menyandang gelar sarjana pertanian, tapi sedikit sekali yang mau terjun sebagai petani. 


Padahal, kata Roshi, bidang pertanian memiliki peluang besar dari segi bisnis jika digarap secara konsisten dan mau bersabar. Karena hasil pertanian bisa langsung dinikmati oleh masyarakat luas. 


"Sebenarnya pertanian masih potensial apabila bisa terus kreatif mandiri dalam hal pupuk organik dan lain sebagainya," katanya. 


Ia menjelaskan, alasan banyak generasi muda enggan menjadi petani karena menjadi petani dalam stigma masyarakat pada umumnya kurang menarik serta kurang menghasilkan. Padahal sebenarnya tidak begitu bila diseriusin. 


Bekerja sebagai petani juga dianggap sebagai pekerjaan tradisional dan jadi pilihan terakhir ketika tidak mendapatkan pilihan pekerjaan sebagai pegawai negeri, pegawai kantor dan pabrik. 


"Keengganan jadi petani karena sudut pandang masyarakat pada petani. Makanya kebanyakan tidak menganjurkan, karena dianggap kurang potensial bagi karirnya," imbuh Roshi. 


Alumnus Pesantren Kyai Mojo Jombang ini menambahkan, faktor lain yang membuat generasi muda enggan menjadi petani dikarenakan kebijakan pemerintah banyak yang tidak support petani seperti ketentuan harga panen petani yang tidak stabil, pupuk subsidi yang dibatasi serta tidak tepat sasaran. 


"Alasan lain, sarana produksi pertanian seperti pupuk yang mahal. Mafia pupuk luar  biasa," ungkapnya. 


Selain itu, sarana pertanian di Indonesia masih kurang memadai atau masih melakukan cara-cara lama. Oleh karenanya membutuhkan waktu lebih panjang dan melelahkan. 


Hal ini pula yang membuat banyak orang tua kurang menyarankan anak-anaknya menjadi petani sebagai pekerjaan tetap setelah proses belajar. 


"Alasan lainnya, jalur distribusi hasil pertanian yang tidak jelas dari pemerintah, serta banyaknya barang import membuat barang lokal kalah," tandas Roshi.