Jambi, NU Online
Kementerian Agama melalui Pusat Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan sedang merumuskan pedoman pembinaan keagamaan suku/masyarakat tertinggal di Indonesia, khususnya di daerah pedalaman. Salah satu temuan dari lokakarya tersebut adalah penggunaan metode dakwah ala Walisongo.
Kegiatan ini bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Maarif Jambi, yang digelar di Jambi, Kamis (10/03) sebagaimana dikutip dari laman kemenag.go.id.
Untuk mendapatkan rumusan terbaik, lokakarya ini diikuti 75 peserta yang berasal dari para dosen, penyuluh agama, tokoh adat, perwakilan Suku Anak Dalam, organisasi kemasyarakatan Islam dan peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Mewakili Gubernur Jambi, Staf Ahli Gubernur Jambi Bidang Ekonomi Husni Jamal mengatakan, Indonesia kaya akan suku dan beberapa di antaranya dalam kondisi tertinggal. Perhatian Pemerintah Pusat, ditandai kehadiran Presiden Jokowi menemui Suku Anak, melecut semangat pemerintah daerah Jambi untuk segera mengentaskan ketertinggalan warga suku. Program yang selama ini sudah berjalan akan lebih difokuskan agar lebih efektif dalam membina warga suku anak dalam. Terkait itu, Gubernur Jambi menyambut baik penyelenggaraan lokakarya ini sebagai salah satu ikhtiar mengentaskan ketertinggalan Suku Anak Dalam, melalui pendekatan pendidikan keagamaan.
Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jambi, M. Thahir Rahman, mengatakan, potensi masyarakat Jambi, termasuk Suku Anak Dalam, kalau dibina dapat menjadi generasi unggul dan berprestasi. Tahun 2015, Jambi mengirim duta lomba tahfidz di tingkat nasional hingga internasional, ternyata putra Jambi tersebut dapat memperoleh juara pertama.
“Hal ini menunjukkan bahwa potensi putra Jambi tidak kalah dengan daerah lain,” paparnya.
Sementara itu, mantan Direktur Pascasarjana IAIN Jambi Lias Hasibuan yang didaulat sebagai salah satu narasumber mengingatkan, bahwa pembinaan kepada suku khusus seperti Suku Anak Dalam perlu mencontoh Walisongo di Jawa. Menurut Lias, Walisongo sukses mengajarkan kehidupan dan keagamaan melalui tradisi masyarakat Jawa.
“Jangan sampai mengajari mereka justru dengan mengganti tradisi mereka. Langkah seperti itu biasanya lebih banyak gagal daripada berhasilnya,” tuturnya.
Pandangan Lias diamini oleh salah satu warga suku Kokoda di Papua yang ikut dalam lokakarya ini. Menurutnya, layanan pendidikan keagamaan sejauh ini masih sebatas silaturahmi. Mereka menanyakan masalah yang dihadapi, memberikan bantuan, lalu kami ditinggalkan.
“Ini berbeda dengan gerakan keagamaan lain yang mau menunggui komunitas tertinggal dan membinanya,” terang warga suku Kokoda itu sebagaimana dikutip peneliti Puslibang Penda, Murtado.
Kabid Litbang Pendidikan Nonformal/Informal Kementerian Agama, Murtado menyatakan kajian penangangan suku/masyarakat tertinggal ini akan mengambil kasus-kasus pada tiga konsteks sosial, yaitu: suku tertinggal, masyarakat tertinggal di perbatasan negara, dan masyarakat tertinggal di bidang kemaritiman. Untuk menyusun pedoman tersebut, tim pengkaji bidang nonformal berencana melakukan blusukan ke beberapa lokasi seperti Suku Anak Dalam di Jambi, masyarakat tertinggal di perbatasan negara di Nusa Tenggara Timur, dan masyarakat tertinggal di bidang kemaritiman di Pulau Buton Sulawesi Tenggara. Red: Mukafi Niam