Kompak, Komunitas Anak Muda Kupang Suarakan Anti-Kekerasan Lewat Medsos dan Advokasi
Senin, 11 November 2024 | 08:00 WIB
Suci Amaliyah
Kontributor
Kupang dikenal sebagai kota yang toleran dan mampu menjaga kerukunan antarumat beragama. Masyarakat Kupang yang beragam suku dan agama telah menunjukkan bahwa perbedaan dalam beribadah dan keyakinan tidak menjadi penghalang untuk hidup damai. Bahkan, Ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu menduduki peringkat keempat dalam hal nilai toleransi di Indonesia menurut Marcel Manek (2022).
Namun, meskipun Kupang dikenal dengan kedamaian dan toleransinya, kota ini tak sepenuhnya lepas dari sejarah konflik sosial yang pernah terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah konflik Poso yang terjadi pada akhir 1990-an.
Konflik ini berawal dari sebuah bentrokan kecil antar kelompok pemuda di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, yang pada akhirnya berkembang menjadi kerusuhan besar. Peristiwa ini, yang dimulai pada Desember 1998 dan berlangsung hingga 2001, menyebabkan ratusan korban tewas, ribuan orang terluka, serta kerusakan fisik yang parah, dengan ribuan rumah hancur dan fasilitas umum terbakar. Konflik tersebut baru berakhir pada 20 Desember 2001 setelah ditandatanganinya Deklarasi Malino sebagai upaya perdamaian.
Meskipun secara geografis dan administrasi berbeda dengan Poso, Kupang dan wilayah NTT secara keseluruhan tetap terhubung dengan konflik tersebut, terutama karena banyaknya migran yang berasal dari Poso dan sekitarnya yang mencari perlindungan atau berpindah ke daerah lain, termasuk Kupang, selama masa konflik.
Selain itu, dinamika agama dan etnis di Poso juga mempengaruhi ketegangan di daerah lain, termasuk Kupang, yang bisa ikut merasakan dampak. Hal ini diungkap oleh Ketua Komunitas Peace Makers Kupang (Kompak) atau komunitas orang muda lintas agama Kupang, Ningsih.
"Saya punya pengalaman pada 1998 terkait konflik Poso di Indonesia Wilayah Timur, terjadi konflik di Kupang, isu ini gampang terbawa ke agama sehingga merasa perlu untuk dirawat lagi jangan sampai kasus ini terjadi lagi," kata Ningsih kepada NU Online.
Pengalaman yang tidak mengenakan ini mendorong Ningsih dan teman-temannya untuk menggerakkan anak-anak muda di Kupang dari berbagai latar belakang untuk menyuarakan anti-kekerasan lewat sebuah komunitas bernama Kompak.
Kompak berdiri pada 17 April 2012, sebuah komunitas yang terdiri dari anak-anak muda lintas agama di Kupang. Komunitas ini bertujuan untuk mempromosikan perdamaian, keberagaman, dan mengatasi kekerasan melalui pendekatan yang damai.
Ningsih mengungkapkan inisiasi ini juga berangkat dari kegelisahan anak-anak muda di Kupang yang seringkali tidak memiliki ruang untuk bertemu dan berdiskusi mengenai isu-isu sosial dan agama, terutama dengan mereka yang berasal dari agama yang berbeda.
Organisasi berbasis agama yang ada di Kupang biasanya hanya bertemu dalam acara resmi, sehingga kesempatan untuk berkolaborasi dalam isu keberagaman sangat terbatas.
"Kompak hadir untuk menjembatani kekurangan ini dengan menciptakan ruang dialog yang inklusif dan melibatkan generasi muda dari berbagai latar belakang," jelasnya.
Ningsih bercerita sejak dibentuk komunitas ini punya spirit dari Kupang untuk Indonesia damai dan damai NTT, damai negeriku. Spirit aktif tanpa kekerasan, artinya sebisa mungkin orang muda yang terlibat dalam isu keberagaman ini, keberagaman meliputi entitas, agama, suku etnik saat ini merambah lebih luas keberagaman gender, seksual, dan lain-lain.
"Dengan keberagaman yang sangat luas ini maka potensi konfliknya juga tinggi. Anak muda diharapkan untuk bisa mengelola menyuarakan hidup berdampingan atau merajut keberagaman tanpa kekerasan," kata dia.
Sebagai bagian dari misinya, Kompak mengedukasi generasi muda mengenai pentingnya hidup berdampingan dalam kerukunan. Mereka melakukan berbagai kegiatan seperti pendidikan perdamaian, kampanye anti kekerasan, serta advokasi kebijakan yang mendukung kehidupan beragama yang harmonis.
Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah advokasi terkait penolakan pendirian rumah ibadah di Kupang pada tahun 2013. Ketika itu, banyak warga yang menolak pembangunan rumah ibadah di beberapa lokasi di Kupang, sebuah isu yang dipengaruhi oleh gelombang penolakan serupa yang terjadi di Jawa dan sekitarnya.
Sebagai respons terhadap hal ini, Kompak melakukan pendampingan kepada masyarakat untuk memastikan hak mereka mendapatkan izin pendirian rumah ibadah, serta ikut berperan dalam merumuskan kebijakan yang lebih inklusif melalui Peraturan Wali Kota Kupang Nomor 79 Tahun 2020, yang menjadi pedoman bagi pemerintah dalam memfasilitasi pendirian rumah ibadah di kota tersebut. Langkah ini sangat penting untuk menjaga kerukunan antarumat beragama di Kupang dan NTT, yang selama ini dikenal sebagai daerah dengan tingkat toleransi yang tinggi.
"Kita punya karakter sangat menghargai orang/tamu tetapi ketika ada pemberitaan penolakan rumah ibadah, penolakan kegiatan ibadah, diskriminasi meskipun kejadian tidak di NTT tapi cukup mempengaruhi emosi, atas penolakan atau tindakan dan sikap yang diambil orang muda di sini itu sebenarnya ingin kita jaga," ucap dia.
Dikatakan, saat maraknya pengeboman dan perusakan rumah ibadah, masyarakat panik karena kejadian di luar sana berpengaruh terhadap kondisi di NTT.
"Ini yang ingin kita jaga apapun yang terjadi di luar NTT, jangan sampai anak muda terjebak melakukan tindakan yang sama karena kita percaya melakukan tindakan yang sama, diskriminasi, penolakan, pengeboman apa bedanya?" tuturnya.
Kompak juga menyuarakan isu melalui sosial media. Ningsih menilai hadirnya internet dan banyaknya isu yang memenuhi beranda sosial media perlu difilter. Kompak berusaha untuk memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaian dan anti kekerasan kepada khalayak yang lebih luas.
"Terkait kampanye kita awalnya kampanye offline kita bikin dialog, seminar, kemah keberagaman. Ternyata ada keresahan hari-hari ini di sosial media dan itu menjadi bagian dari gerakan kita untuk kampanye itu," ujarnya.
Kompak berkomitmen untuk menjaga dan memperkuat nilai-nilai kerukunan yang telah terbentuk di Kupang, serta mengajak generasi muda untuk berperan aktif dalam menciptakan dunia yang lebih damai. Keberagaman yang sangat luas dan potensi konflik yang tinggi memerlukan upaya bersama untuk memastikan bahwa hidup berdampingan dalam kedamaian dan keharmonisan bukan hanya menjadi cita-cita, tetapi juga sebuah kenyataan yang dapat diwujudkan.
"Masyarakat Kupang dengan dukungan generasi mudanya, akan terus berusaha untuk menjaga kedamaian dan menjadikan NTT sebagai contoh dalam kehidupan beragama yang toleran di Indonesia," tandasnya.
Trisya Frida dalam penelitiannya yang terbit pada tahun 2022 melalui artikel berjudul Fakta Menarik Kupang yang Disebut Sebagai Kota Toleransi mengatakan kesadaran sosial tidak hanya bermakna memiliki empati terhadap seseorang dan lingkungan sekitarnya saja, namun bentuk yang lebih nyata dari implementasi kesadaran sosial adalah memberikan pelayanan pada kemanusiaan dengan melayani masyarakat lainnya, sekalipun itu berbeda keyakinan, suku dan budayanya.
Menurutnya, alasan kenapa Kota Kupang yang memiliki beragam agama itu disebut sebagai Kota toleransi karena Kota ini memberikan kepastian kepada masyarakat bahwa warga memiliki hak dalam beragama dan menjalani ibadah masing-masing dengan nyaman dan leluasa. Kota Kupang juga sering mendapatkan penghargaan dari pemerintah maupun institusi terkait dengan tingginya sikap toleransi di Kota tersebut.
*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI
Terpopuler
1
LAZISNU Gelar Lomba dengan Total Hadiah Rp69 Juta, Ini Link Pendaftarannya
2
Kolaborasi LD PBNU dan LTM PBNU Gelar Standardisasi Imam dan Khatib Jumat Angkatan Ke-4
3
Cara Wudhu di Toilet agar Tidak Makruh
4
Gus Yahya Ceritakan Awal Mula Kiai Ali Maksum Merintis Pengajian Kitab di Pesantren Krapyak
5
Hukum Gugat Cerai Suami karena Nafkah Batin
6
Hukum Khatib Tidak Berwasiat Takwa dalam Khutbah Kedua
Terkini
Lihat Semua