Gampong Keudah, Rumah Guyub Rukun bagi Umat Hindu di Banda Aceh
Selasa, 12 November 2024 | 15:00 WIB
Perayaan hari besar Umat Hindu (Taipusam) di depan Kuil Palani Andawer Banda Aceh pada 30 April 2024 lalu. (Foto: NU Online/Wahyu Majiah)
Wahyu Majiah
Kontributor
Di tengah dominasi Islam di Aceh, sebuah kisah unik tentang toleransi dan kerukunan antar umat beragama hadir dari Gampong Keudah (Kampung Kedah), Banda Aceh. Kampung ini menjadi rumah bagi masyarakat Hindu yang telah hidup berdampingan dengan umat Muslim selama beberapa generasi.
Walaupun Aceh dikenal dengan syariat Islam yang ketat, namun di Kampung Kedah, keberagaman agama justru menjadi kekuatan pemersatu. Mereka telah lama hidup di tengah perkampungan yang padat Kota Banda Aceh bahkan sebelum bencana tsunami meluluhlantakkan sebagian Banda Aceh.
Pengaruh budaya Tamil telah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Kampung Kedah. Tradisi-tradisi kuno seperti pemujaan dewa-dewi, perayaan hari raya, dan sikap hormat terhadap orang yang lebih tua masih terus dilestarikan.
Humas Kuil Palani Andawer Banda Aceh, Mohan mengatakan selain menjaga budaya umat Hindu yang hidup di desa Keudah, Banda Aceh juga menjaga toleransi antar umat dan juga sudah berbaur dengan masyarakat muslim yang merupakan warga lokal.
"Kita berbaur, hidup bertoleransi antar beragama dan itu kita pertahankan sampai saat ini," kata Mohan melalui telpon seluler pada Senin (11/11/2024).
Ia menjelaskan, dalam perayaan hari besar dan keagamaan para umat pun memiliki tempat sendiri dari masyarakat Muslim yang ada di Desa Keudah, sebab saat itu tiba masyarakat di sekitar kuil juga ikut berpartisipasi membantu mereka menyukseskan perayaan.
"Beberapa kali saat ada acara perayaan umat Hindu saya juga melihat ibu-ibu disana yang membantu membagikan makanan untuk umat Hindu yang beribadah di kuil," terangnya.
Kadang kala, kata dia saat hari raya Idul Fitri umat Hindu juga ikut memeriahkan hari kebesaran umat muslim tersebut mereka juga ikut bersilaturahmi ke rumah-rumah tetangga yang berada di sana untuk merayakan hari kemenangan.
Meski demikian, dalam menjaga keberagaman tersebut tentu kata Mohan dirinya dan umat Hindu lainnya mengungkapkan tidak ada tantangan untuk menjaga keberagaman di bumi Seuramo Mekkah tersebut. Bahkan ia menyebutkan, kondisi Aceh sangat jauh seperti yang dibicarakan.
Kata dia, meski Aceh menjunjung tinggi nilai Syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, namun seluruh masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai toleransi.
"Menurutku Anda Aceh surganya seluruh umat, karena semua agama tempat ibadahnya ada disini. Kita masih diberikan kebebasan untuk beribadah dan bahkan ibadah kita itu dikawal juga sama umat muslim," ungkapnya.
Meski saat ini jumlah umat Hindu yang ada di Banda Aceh masih sedikit, dirinya mengaku selalu diperlakukan hangat oleh umat lainnya yang hidup berdampingan di desa Keudah. Jikapun, pada hari perayaan Kuil Palani Andawer Banda Aceh kedatangan tamu dari luar daerah mereka akan disambut ramah oleh masyarakat.
Mohan mengaku tidak pernah mendapatkan diskriminasi apapun dari masyarakat Aceh, dalam sehari-hari beberapa ketua umat Hindu di Banda Aceh juga mengikuti kegiatan dari lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan diberi ruang dalam urusan kepemerintahan di Banda Aceh.
"Kita tidak pernah mendapatkan diskriminasi, kita dilibatkan dan diberikan tempat yang baik," ucapnya.
Dalam menjaga perbedaan, Mohan menyebutnya sikap saling menghormati dan sikap saling mengerti antar umat sangat diperlukan. Seperti halnya pada perayaan hari kebersamaan umat Hindu, Mohan menyebutkan tidak merayakannya karena berlangsung berdekatan dengan kedatangan bulan suci Ramadhan, namun jika jaraknya masih jauh pihaknya akan merayakan pawai-pawai setelah umat Muslim melaksanakan ibadah sholat tarawih dan waktunya akan dipersingkat.
Kemudian, kata dia dalam menjaga keberagaman umat Hindu yang berada di desa Keudah juga turut hadir dalam dalam setiap event-event kebudayaan atau event keagamaan, seperti ketika masyarakat muslim mengadakan hari maulid maka masyarakat Hindu akan ikut berpartisipasi, dan ketika umat Kristen mengadakan Natalan mereka akan menghadiri undangan ke beberapa gereja yang ada di Banda Aceh. "Hal-hal inilah yang bisa menciptakan daerah toleransi," tegasnya.
Mohan juga mengungkapkan, hal lain yang terus dilakukan umat Hindu untuk menjaga toleransi dalam beragama ialah menghormati masyarakat muslim di Keudah, seperti saat masyarakat muslim beribadah pihaknya akan menunda ibadahnya. "Masyarakat di Keudah saling menghormati, karena mereka juga dua sisi yang saling membantu, saya rasa perbedaannya sangat nyata dan toleransi sangat kuat"terangnya
Selain itu, dalam menjaga harmoni keberagaman umat Hindu di Banda Aceh seperti adanya ketua pengurus umat Hindu, dan juga penyuluh umat Hindu yang ada di Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) Aceh.
Mohan berharap ke depannya dalam menjaga keberagaman antar umat di Banda Aceh terutama masyarakat di desa Keudah dapat menjaga toleransi kesatuan serta moralitas bersama. Dia berharap toleransi itu dapat terjalin dengan erat dan masyarakat dapat bersama-sama bekerja menciptakan sebuah kedamaian dan keindahan di antara perbedaan.
"Semoga sikap seperti ini tetap terjaga sampai kapanpun, jangan mudah terprovokasi oleh pihak asing yang memang mungkin tidak menginginkan kedamaian di Banda Aceh," tutupnya.
Di sisi lain, salah seorang masyarakat Keudah, Alfath menyebutkan keberagaman di Gampong Keudah ini mengajarkan dirinya arti toleransi yang sesungguhnya.
"Agama mengajarkan kita untuk saling menyayangi dan menghormati sesama manusia. Di Gampong Keudah, ajaran agama ini benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kita belajar bahwa perbedaan bukan alasan untuk bermusuhan, melainkan sebuah anugerah yang memperkaya kehidupan kita," kata Alfath.
Alfath menyebutkan, pada 2013 lalu dia juga turut melihat perayaan Thaipusam sebagai sebuah perayaan yang inklusif dan menarik. Tanpa adanya batasan yang kaku, perayaan ini menjadi sebuah perayaan bersama, termasuk bagi masyarakat Aceh. Atmosfernya yang meriah dan atraktif membuatnya menjadi sebuah tontonan yang menarik bagi masyarakat lokal.
Alfath sendiri telah menyaksikan langsung perayaan ini pada tahun 2013 di pinggir Sungai Krueng Aceh, dan pengalaman itu membuatnya ingin kembali menyaksikan perayaan serupa di masa mendatang.
"Perayaan ini menunjukkan adanya toleransi yang tinggi antarumat beragama di Keudah, di mana perbedaan agama justru menjadi sebuah warna yang memperkaya kehidupan masyarakat," ucap Alfath.
*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
3
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua