Rembang, NU Online
Wafatnya ulama karismatik KH Maimoen Zubair tentu cukup sulit untuk menghapus rasa kesedihan. Kehilangan sosok ulama yang berilmu, pertanda datangnya hari kiamat kian dekat, Mautul Alim, Mautul Alam.
Tentu sosok yang senantiasa memperlihatkan senyum khasnya itu akan tetap dirindukan oleh para santri dan kita semua bangsa Indonesia.
Meski demikian, Pesantren Al-Anwar Sarang masih memiliki 10 putra dan putri KH Maimoen Zubair yang siap meneruskan perjuangan dalam menggembleng para santri menggeluti agama Islam maupun pendidikan formal.
Kepada awak media putra kesepuluh Mbah Maimoen, Gus Muhammad Idror mengaku mendapatkan pesan dari ayahnda untuk menjunjung tinggi ilmu, menjaga, dan meneruskan pondok pesantren agar dirawat dengan baik.
“Sangat menjunjung tinggi dengan sekali dengan ilmu, supaya pendidikan pesantren dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Kalau saya membantu di Al-Anwar induk, membantu di kajian kitab-kitab berbahasa arab. Banyak sekali kenangan dan banyak ilmu yang diberikan kepada saya. Di antaranya selalu mengajarkan banyak murid dan putra beliau yang ahli ilmu dan ahli Al-Qur’an,” kata Gus Idror.
Sejak kecil Gus Idror dididik oleh ayahandanya sendiri KH Maimoen Zubair di Pesantren Al-Anwar bersama dengan santri-santri yang lain sampai dengan usia remaja. Setelah dinyatakan lulus, Gus Idror pergi ke Makkah untuk memperdalam keilmuannya.
Ia diasuh langsung oleh Sayyid Ahmad Bin Muhammad Bin Alawy Al Maliki. Salah satu ulama tersohor di kota Makkah. Setelah pulang, Gus Idror membantu ayahnya mendidik para santri di Ponpes Al-Anwar satu. Ia merupakan membantu ayahnya untuk melakukan kajian kitab-kitab berbahasa Arab, fiqih, dan juga hadits.
Ia mengaku banyak sekali kenangan bersama beliau yang tidak dapat terlupakan. Ia berdoa semoga dapat meneruskan semua apa yang menjadi cita-cita Mbah Moen yang sangat konsen dalam menggeluti dunia pendidikan.
Tanpa menafikan putra-putra beliau yang lain, nama Gus Idror usianya sekitar 30 tahun dinilai banyak pihak memiliki kemiripan dengan ayahandanya. Dia merupakan putra ke-10 dari almagfurlah, dari Nyai Hajah Mastiah almarhumah.
Dari sisi keilmuan, seluruh putra Mbah Moen sangat mumpuni dalam hal ilmu agama. Mereka juga merupakan lulusan dari para guru dan universitas ternama. Baik dalam negeri maupun Timur Tengah.
"Meski demikian, sebagian masyarakat menilai Gus Idror memiliki kemiripan dengan sosok mendiang ayahandanya," ujar Gus Umam santri yang dekat dengan mendiang Mbah Moen.
KH Maimoen Zubair menikah dengan istri pertama Nyai Hj Fahima Baidhowi putri dari KH Baidhowi Lasem Rembang. Dari pernikahannya, keduannya dikaruniai dua putra dan satu putri, masing-masing KH Abdullah Ubab (Gus Ubab), KH Muhammad Najih (Gus Najih), dan Nyai Hajah Shobihah (Neng Shobihah)
Dari istri kedua, yakni Ibu Nyai Hajah Mastiah, Mbah Moen dikaruniai 6 putra dan satu putri, masing-masing KH Majid Kamil (Gus Kamil), KH Abdul Goffur (Gus Ghofur), KH Abdul Rouf (Gus Rouf), KH Muhammad Wafi (Gus Wafi), Nyai Hajah Rodhiah (Neng Yah), KH Taj Yasin (Gus Yasin), dan KH Muhammad Idror (Gus Idror).
Setelah istri pertama dan kedua wafat lebih dulu, Mbah Moen kembali menikah dengan istri ketiganya yaitu Nyai Hj Heni Maryam putri dari salah satu ulama dari Kabupaten Kudus.
Dari pernikahan ini tidak dikaruniai keturunan. Nyai Hj Heni Maryam menemani Mbah Moen menunaikan ibadah haji di tanah suci sampai dengan wafat. (Ahmad Asmui/Muiz)