Lombok Barat, NU Online
Anak adalah kelompok masyarakat yang peling rentan mengalami kekerasan dengan segala ragam bentuknya. Trend kasus kekerasan terhadap anak kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data yang dirilis oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP2AKB) melalui P2TP2A Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tercatat tahun 2016 angka kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan.
Dari 1.679 kasus kekerasan di tahun 2001 naik menjadi 1.821 kasus di tahun 2016. Kekerasan seksual adalah kasus yang angkanya paling tinggi yang dialami oleh anak-anak di NTB.
Tingginya angka kekerasan terhadap anak di NTB, mendorong Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Nusa Tenggara Barat menggelar diskusi perlindungan anak lewat forum kajian bulanan, Silatul Afkar di kantornya.
Ketua Lakpesdam NU NTB, Muhammad Jayadi mengatakan, diskusi ini adalah cara Lakpesdam merespon situasi kekerasan yang dialami oleh anak-anak di NTB. Lakpesdam PWNU khawatir jika kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh anak-anak tidak menjadi perhatian serius dari pihak-pihak terkait terutama pemerintah.
"Maka akan menjadi bom waktu yang akan susah tertangani dikemudian hari, juga akan menjadi pretense buruk bagi daerah," ungkapnya kepada NU Online, Rabu siang (8/10).
Situasi ini tentu tidak diinginkan, harus ada upaya-upaya sistematis dan terpadu untuk mencegah dan melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan. Salah satu yang bisa dilakukan misalnya mendorong adanya kebijakan strategis yang melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan.
"Seperti diskusi hari Senin (7/10) lalu di Sekretariat Lakpesdam PWNU NTB mengundang Kepala Desa Jembatan Kembar, berdiskusi dan mendorong desanya menjadi desa layak anak," timpal Sekretaris Lakpesdam NU NTB, Apipudin.
Sementara Kepala Desa Jembatan Kembar, Amirullah menyambut baik gagasan yang dikembangkan oleh Lakpesdam. Menurutnya hal itu harus menjadi perhatian para kepala desa khususnya desa-desa yang ada di Lombok Barat, mengingat Lombok Barat adalah daerah yang memiliki potensi terjadinya kasus-kasus kekerasan kepada anak.
"Kami di Desa Jembatan Kembar telah memulai gerakan perlindungan anak, salah satunya dengan mulai menginisiasi awik-awik di masing-masing dusun, mendata jumlah anak, memberikan beasiswa bagi anak-anak, membuat posyandu remaja dan lain-lain," ungkap Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Mataram tahun 2006 ini.
Ke depan pihaknya akan mengupayakan adanya peraturan desa dan mengalokasikan anggaran khusus untuk mendorong Desa Jembatan Kembar menjadi desa percontohan layak anak. "Kami berharap teman-teman Lakpesdam NU mendampingi kami dalam ikhtiar mewujdukan desa layak anak," harapnya.
Forum kajian bulanan dihadiri perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sila, Kepala Desa Persiapan Longseran, aktivis mahasiswa, perwakilan Karang Taruna, akademisi UIN Mataram, aktivis perempuan, dan peserta diskusi lainnya.
Kontributor: Hadi
Editor: Syamsul Arifin