Ketua NU Jakarta: Semua Orang Betawi adalah Nahdliyin, Kecuali....
Ahad, 31 Juli 2022 | 15:30 WIB
Ketua PWNU DKI Jakarta KH Samsul Ma’arif saat Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) II NU DKI Jakarta di Masjid Raya KH Hasyim Asy’ari, Cengkareng, Jakarta Barat, pada Ahad (31/7/2022). (Foto: istimewa)
Aru Lego Triono
Penulis
Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta KH Samsul Ma’arif menyampaikan sebuah ungkapan yang kerap diutarakan di berbagai kesempatan. Ia menyebut bahwa semua orang Betawi adalah orang NU atau Nahdliyin.
"Al-Battawiyyuna kulluhum An-Nahdliyun illa man aba. Semua orang Betawi adalah NU kecuali yang tidak mau," ungkap Kiai Samsul dalam Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) II NU DKI Jakarta di Masjid Raya KH Hasyim Asy’ari, Cengkareng, Jakarta Barat, pada Ahad (31/7/2022).
Kiai Samsul mengutip tulisan Imam Zabidi yang menulis Kitab Ithaf Sadatil Muttaqin Syarah Ihya Ulumuddin. Di kitab itu Imam Zabidi mengungkapkan, apabila diucapkan kata Ahlussunnah wal Jamaah maka yang dimaksud adalah pengikut Imam Asy’ari (Abu Hasan Al-Asy’ari) dan Imam Maturidi (Abu Mansur Al-Maturidi).
"Kalau di Indonesia, saya mengatakan apabila disebutkan kata Ahlussunnah wal Jamaah maka yang dimaksud dengan mereka adalah pengikut Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari," tutur Kiai Samsul, disambut tepuk tangan hadirin.
Menjadi pelopor gerakan perbaikan
Pada kesempatan itu, Kiai Samsul juga mengajak seluruh pengurus NU di DKI Jakarta untuk mampu menjadi pelopor gerakan perbaikan atau harakah islahiyah. Dalam hal ini, Kiai Samsul ingin agar para pengurus menjadi orang yang tidak hanya sekadar baik, tetapi juga mampu melakukan perbaikan-perbaikan.
Kiai Samsul lantas mengisahkan sebuah percakapan antara Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dengan seorang santrinya. Suatu ketika, saat sedang menulis Kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah ditanya tentang perbedaan antara orang yang baik (shaleh) dengan orang yang memperbaiki (muslih).
"Beliau menjawab, orang yang baik (shaleh) itu kebaikannya hanya untuk dirinya saja. Tetapi orang yang mampu memperbaiki (muslih) itu kebaikannya tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan masyarakat banyak," terang Kiai Samsul.
"Kata beliau, orang yang baik (shaleh) itu dicintai oleh banyak orang tetapi orang yang memperbaiki (muslih) kadang-kadang justru malah dibenci oleh banyak orang," tambah Kiai Samsul.
Sebagai contoh, Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad sebelum mendapat gelar kenabian, semua kelompok pada saat itu mencintainya. Sebab ketika itu, Nabi Muhammad masih dalam kategori shaleh.
Akan tetapi, saat Allah telah memberikan gelar kenabian maka sejak itulah Nabi Muhammad berstatus sebagai muslih yang hendak melakukan perubahan besar dan berbagai perbaikan. Ketika sudah mendapat gelar kenabian dan berstatus muslih itu, terdapat banyak yang membenci Nabi Muhammad.
Dalam hal ini, Kiai Samsul mengingatkan para pengurus NU agar memiliki sifat sabar dan lapang dada. Menurutnya, menjadi pengurus dari perkumpulan sebesar NU terdapat banyak risiko yang harus dihadapi.
"Diomongin banyak orang, dikritik, dicaci maki, diomongin, difitnah, itu hal biasa. Maka yang harus kita pasang adalah pengurus harus sabar," ungkapnya.
Dukungan Pemprov DKI Jakarta
Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta H Marullah Matali yang hadir dalam Muskerwil II NU DKI Jakarta itu menyatakan bahwa pihaknya akan memberikan dukungan penuh. Bahkan ia berharap, antara Pemprov dan PWNU DKI Jakarta bisa berkolaborasi.
"Mudah-mudahan Pemprov bisa jalan bareng-bareng dengan NU DKI Jakarta. Kami tidak ragu," katanya.
Ketidakraguan yang disampaikan Marullah itu cukup beralasan. Sebab NU ini berbeda dengan perkumpulan-perkumpulan lain. Perbedaan itu terletak dari nama yang disematkan. Perkumpulan yang lain biasanya hanya mengatasnamakan rakyat jelata, masyarakat biasa.
"Sementara NU itu menggunakan kata ulama. Bukan perkumpulan muridnya ulama, tapi ulama. Kebangkitan ulama. Maka yang hadir pada kesempatan ini, yang berkumpul dan musyawarah untuk merumuskan rekomendasi dalam Muskerwil ini adalah para ulama," ungkap Marullah.
Oleh karena itulah, sebagai pemerintah, Marullah merasa berkewajiban untuk mengamini berbagai hal yang disampaikan para ulama. Sebab menurutnya, seorang ulama tidak pernah sembarangan saat menyampaikan sesuatu. Semua yang disampaikan ulama pasti berdasarkan rasa takut kepada Allah, bukan atas dasar keinginan dan nafsu.
"Ulama lebih banyak nafsunya adalah nafsu muthmainnah yang tenang, baik, dan sudah dipikirkan secara matang-matang. Ketika para ulama berkumpul merumuskan sesuatu dengan cara musyawarah mufakat, insyaallah mendapatkan sesuatu yang patut mendapatkan dukungan dari pemerintah,” ungkap Marullah.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua