Madrasah yang dirintis KH Masyhuri yang kini menjadi Yayasan Pendidikan Islam Al-Masyhur (Foto: NU Online: Syaiful Mustaqim)
Syaiful Mustaqim
Kontributor
Semasa hidup, KH Masyhuri ulama asal Desa Kuanyar Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara sehari-hari berprofesi sebagai petani, di samping perintis berdirinya madrasah di masa awal penjajahan Jepang tahun 1942. Ia juga tergolong penganut Tarekat Syattariyah yang taat.
Di awal-awal merintis madrasah, banyak pihak menentang ide positif tersebut. Di antara isu yang berkembang di masyarakat Kuanyar adalah tidak tepatnya kiai merintis madrasah di kawasan masyarakat abangan. Perlu diketahui, kiai putra dari Hasan Hamid alias Hasan Kobral (dipanggil Kobral sebab cara berpakaiannya ala kadarnya, tidak rapi, ngethowot) saat itu memutuskan untuk hijrah (pindah) dari tanah kelahirannya.
Pindahnya kiai tidak di tempat yang jauh, luar daerah, maupun luar negeri namun kepindahannya hanya berbeda Dukuh di desa atau kampung yang sama. Kiai Masyhuri lahir di Kauman Kuanyar. Sedangkan hijrahnya berada di Kampung Kidulan (sebelah Selatan) tanah kelahirannya.
Saat-saat idenya mendirikan madrasah ditentang, ia pun mencari akal yakni dengan berkomunikasi dan melibatkan tokoh-tokoh penting di desa. Mereka adalah Haji Tohir, Haji Glempo, Haji Ridwan, Haji Hasbullah, dan Carik Murani. Dari ikhtiar menjalin kerja sama dengan orang-orang yang berpengaruh tersebut alhasil sebuah madrasah berdiri tepatnya beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka.
Bangunan madrasah tersebut pun ala kadarnya, lantaran minimnya sarana prasana, dari bangunan yang tak bertembok hingga dewan asatidz madrasah yang tidak memperoleh Surat Keputusan (SK) maupun bisyarah (honor). Adapun dewan asatidz yang berkhidmah kepada kiai yang diperkirakan lahir akhir tahun 1800an ini yakni Ali Muhson, Muhyidin, Toyib, Abu Kholil, Muhsin, Mashudi, Hambali, dan sejumlah nama ustad yang lain.
Dari minimnya pendanaan madrasah, maka kiai yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama jalan di Desa Kuanyar oleh Petinggi (Kepala Desa) Ubeid Zubaidi (1986-1991) dan (1991-1999) setiap kali madrasah yang berlangsung siang hari setelah dhuhur ia menyediakan “jaminan” berupa penganan untuk dewan asatidz yang mengajar.
Menurut cucu Kiai Masyhuri, H. Milono bahwa simbahnya merupakan contoh orang Islam yang antik. “Dalam praktik perilaku Islam Mbah tidak perlu menggunakan dalil. Contohnya setiap hari menyedekahkan hasil pertanian untuk pengajar di madrasah,” jelas Milono saat ditemui di kediamannya, Ahad (2/8).
Beberapa hasil ubi-ubian semacam kerot, kentoreng, uwi, dan sejenisnya dimasak kemudian disuguhkan untuk guru-guru madrasah. Jika jenis ubi-ubian itu tidak ada maka penganan semacam pisang, bongko (makanan berbahan pisang), dan segelas teh disiapkan kiai sendiri. Tidak lain tujuannya untuk sekadar mengganjal perut dewan asatidz.
Di zamannya, kiai penganut tarekat yang taat ini mempunyai tanah luas. Meski demikian Kiai Masyhuri bukanlah termasuk sosok pelit. “Mbah termasuk orang loman, dan breh (dermawan),” kata Pak Mil didampingi putra pertamanya, Ahmad Kholas Syihab.
Perlu diketahui juga madrasah rintisan Kiai Masyhuri yang sekarang menjadi Yayasan Pendidikan Islam Al-Masyhur juga terdapat tanah wakaf dari kiai seluas 2.500 dan 1.500 meter persegi. Meski dikarunia Allah memiliki banyak tanah namun ia masih giat bekerja. Bahkan hari-harinya tidak pernah ada kata menganggur (berdiam diri, red).
“Jika panen, hasil pertanian langsung dizakati dan disedekahi kemudian dibagikan kepada tetangga serta tidak perlu menunggu besok-besok,” lanjut Pak Mil yang juga Ketua Yayasan Al Masyhur.
Selain rajin bekerja dan tidak pernah berdiam diri, di sela-sela aktivitasnya pukul 10.00 WIB biasanya Kiai Masyhuri diam sembari duduk tahiyat menghadap kiblat. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca Al-Qur’an.
Detik-detik menjelang Kiai Masyhuri wafat juga sedang beraktivitas membenahi genting madrasah dan terjatuh, dan kemudian wafat. Kiai Masyhuri wafat tepat pada Kamis Legi, 26 November 1981. KH Masyhuri dimakamkan di belakang pengimaman Masjid Mujtahidin Desa Kuanyar Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara.
Makam belakang masjid merupakan makam kiai, ulama, dan tokoh masyarakat Desa Kuanyar. Termasuk makam tersebut disemayamkan guru Tarekat Syattariyahnya, Kiai Janamin.
Selain Kiai Janamin guru tarekat Kiai Masyhuri yang lain adalah Kiai Syihabuddin, dan Kiai Abdul Hadi.
Di dalam buku Tarekat Petani; Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal karya H. Nur Syam (LKiS, 2013) disebutkan Tarekat Syattariyah di Desa Kuanyar mulai berkembang sekitar 1880an ketika beberapa orang dari Kuanyar mengaji ke Bangle.
Di antara yang pergi mengaji adalah Ropingi (Lurah Kuanyar), Mad Anom, dan Dawud. Mereka mengaji kepada Kiai Abdurrohman, Bangle. Saat itu juga di Bangle sudah ada santri dari Jebol (Mayong) bernama Janamin. Oleh Kiai Abdurrohman daripada orang-orang Kuanyar pergi mengaji ke Bangle maka diutuslah Janamin untuk menjadi khalifah di Desa Kuanyar.
Masih dijelaskan Nur Syam di bukunya, silsilah Tarekat Syattariyah di Kuanyar tidak memiliki genealogis secara jelas. Dari kajian Nur Syam diketahui jalur pengabsahan tarekat ini hanyalah sampai kepada Kiai Murtadlo yang dinisbatkan sebagai cicit Syekh Mutamakkin. Adapun urutannya dari Syekh Kiai Murtadlo ke Kiai Abdurrahman Bangle, Kiai Janamin, Kiai Abdul Hadi, dan Kiai Syihabuddin Kuanyar.
Kontributor: Syaiful Mustaqim
Editor: Abdullah Alawi
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua