Sebagian besar orang Mojokerto tak asing lagi dengan sosok Kiai Abdul Wahib yang memiliki kepribadian sederhana dan bersahaja. Ia dilahirkan pada 3 November 1959 di Dusun Pasinan Wetan, Desa Kupang, Kecamatan Jetis Mojokerto. Putra dari Bapak Tamun dan Nyai Tiara.
Kiai Wahib memiliki istri bernama Siti Zulaikha yang dikarunia tiga orang anak, diantaranya yaitu Toha Zainul Ibad Slamet, Rina Khurfatul Jannah, dan Fina Mamluatus Sa'adah.
Semasa nyantri
Sejak kecil pendidikan agama sudah ia dapatkan dari lingkungan keluarga. Setelah lulus Madrasah Ibtidaiyah (MI) beliau memutuskan untuk nyantri kepada KH Nur Hisyam Mansyur. Pondok Pesantren Nurul Huda Berat Kulon, Kemlagi yang menjadi pelabuhannya guna memperdalam ilmu agama pada tahun 1972-1980.
Semasa menjadi santri beliau sangat bersemangat mempelajari berbagai macam kitab guna memperdalam wawasan pengetahuaannya. Salah satu rutinitas santri setelah sholat shubuh yaitu mengaji kitab Al-Qur'an. Metode mengajar yang diterapkan oleh Kiai Hisyam kepada santrinya dengan cara ngaji sorogan.
Santri menunggu giliran maju satu persatu membaca Al-Qur'an dihadapan Kiai. Makhorijul huruf seta bacaan Al-Qur'an sangat dijaga betul.
Kiai Wahib sewaktu menjadi santri gemar berpuasa serta dzikir. Salah satu ijazah wirid yang pernah ia dapatkan dari Kiai Hisyam yaitu dzikir padang (terang) hati. Beliau paham betul jika usaha yang kuat akan berhasil jika dibarengi dengan doa.
Selama kurun waktu enam tahun nyatri kepada KH Hisyam tak membuatnya merasa puas dengan ilmu yang sudah ia dapat. Kiai Wahib melanjutkan petualangan memperdalam ilmu agama kepada KH Hamim Djazuli (Gus Miek) di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri pada tahun 1980-1990.
Rasa haus dahaga akan ilmu agama yang ia dambakan membuatnya terus bersemangat dalam menuntut ilmu. Pada tahun 1986 krisis ekonomi yang melanda keluarganya membuat Kiai Wahib terbesit niatan untuk kembali ke kampung halaman.
Kemudian beliau mengutarakan masalah ini kepada Nyai Lilik (Istri Gus Miek). Akan tetapi solusi yang ia dapat justru berkebalikan, nyai berkeinginan agar beliau tetap tinggal di Pondok. Pada tahun 1986-1990 beliau putuskan menjadi abdi ndalem.
Sewaktu menjadi abdi ndalem membuat beliau akrab dengan keluarga Gus Miek, terutama pada Gus Sabuth (Putra Gus Miek). Kiai Wahib seringkali diminta menemani tatkala kesepian melanda Gus Sabuth. Kedekatan itu terjalan hingga saat ini. Ketika Haul Gus Miek beliau selalu menyempatkan diri untuk sowan ke ndalem.
Berjuang di kampung halaman
Pada tahun 1990 Kiai Wahib meminta izin untuk pamit pulang ke kampung halaman. Akan tetapi Nyai Lilik bersikeras agar beliau tetap tinggal di pondok. Kemudian untuk kali kedua Kiai Wahib mengutarakan niatan untuk pulang ke kampung halaman.
"Apa sudah ada calon?" ujar Nyai Lilik. Mendengar jawaban tersebut Kiai Wahib merasa mendapatkan sinyal positif atas restu Nyai Lilik untuk pulang ke kampung halaman.
Banyak sekali kenangan, ilmu bahkan pengalaman baru ketika menjadi abdi ndalem. Gus Robert (Putra Gus Miek) pernah dhawuh agar nantinya bisa mengamalkan Dzikrul Ghofilin. Gus Miek adalah tokoh penggagas utama sekaligus penulis teks Dzikrul Ghofilin. Jamaah Semaan Al-Qur'an Jantiko Mantab tersebar di seluruh penjuru daerah.
Jantiko kepanjangan dari kata jama'ah anti koler, yang berarti jama'ah anti putus asa meskipun dari segi ekonomi atau pikiran jamaah lemah atau kurang. Sedangkan mantab diambil dari bahasa arab mantaba yang berarti orang-orang yang bertaubat.
Atas dasar tawadhu kepada sang guru, Kiai Wahib mulai mengamalkan dzikrul ghofilin di kampung halaman sekitar tahun 1990. Awalnya beliau memperkenalkan dzikrul ghofilin melalui jamaah pengajian.
Pengajian ini rutin dilaksanakan di Dusun Pasinan Wetan setiap dua minggu sekali. Satu hari penuh seusai sholat shubuh sampai menjelang sore mengkhatamkan Al-Qu'an, setelah itu lantunan bacaan dzikrul ghofilin mulai dikumandangkan.
Selain itu, beliau juga mengadakan rutinan di Musholla depan rumahnya setiap hari Jum'at selepas sholat maghrib. "Mengajak orang dalam hal kebaikan itu tidak bisa dipaksa, syukur-syukur bisa hadir saja itu sudah menjadi berkah tersendiri," ujar Kiai Wahib saat ditemui di kediamannya pada Ahad (31/12/2017) lalu.
Kiai Wahib terkenal dengan istiqomahnya dalam mengerjakan sesuatu. Istiqomah waktu dan tempat terus ia jaga dan pertahankan. Halangkan bahkan rintangan seringkali ia rasakan. Ketika sakit melanda, beliau bersikeras untuk terus mengamalkan dzikrul ghofilin.
Bahkan pernah ada salah satu tetanggga yang rumahnya tepat di samping musholla mengadakan hajatan pernikahan, pada malam puncak pernikahan lantunan dzikir di musholla masih berkumandangan dengan lantang. Cibiran dari masyarakat sekitar tidak mengendurkan semangat dalam menjaga istiqomah. Seiring dengan berjalannya waktu, jama'ah kini semakin banyak.
Selepas sholat shubuh Kiai Wahib mengajar Al-Quran di musholla. Metode yang diterapkan sama halnya seperti Kiai Hisyam terapkan sewaktu beliau mondok dulu. Satu per satu santri maju kedepan membaca Al-Qur'an.
Sosok Kiai Wahib terkenal keras dalam mendidik santrinya. Tak segan beliau mengingatkan berkali-kali ketika santrinya salah dalam membaca. Tetapi dengan semua itu, ada hikmah tersendiri yang bisa dipetik oleh santrinya yaitu bisa membaca Al-Qur'an dengan lancar dan benar.
"Saya dulu itu belajar membaca surat Al-Fatihah saja seminggu lamanya," ungkap Udin salah satu santrinya. Kiai Wahib memperhatikan betul bacaan Fatihah karena bacaan itu salah satu kunci dalam ibadah sholat yang harus dilafalkan secara benar dan jelas. (Nuruddin/Fathoni)