Ahmad Naufa
Kontributor
Malang, NU Online
Dalam rangka Tadarus Ilmiah Ramadhan, Dunia Santri Community menggelar diskusi virtual dengan tema "Ramadhan Bulan Al-Qur'an" bersama Gus Ach Dhofir Zuhry, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah, Malang, pada Jumat, 25 Ramadhan 1442 H (7/5) malam.
Pada sesi tanya jawab, penulis buku Peradaban Sarung itu mendapat pertanyaan dari salah satu peserta, Nur Anisa Fitri: Bagaimana pandangan Gus Dhofir mengenai depresi atau degradasi spiritual dan cara mengatasinya?
Menjawab pertanyaan itu, ia memulai dengan hal yang elementer untuk dimengerti, yaitu mula-mula kita harus membangun pandangan ini dari sebuah pendekatan bahwa manusia ini bukan hanya makhluk jasmani, tetapi juga makhluk ruhani.
"Sebenarnya, ruh kita itu sangat kangen dengan Tuhan. Salah satu aspek dalam Asmaul Husna kan keindahan. Kalau kita senang dengan keindahan, itu kita kangen dengan Tuhan, ruhani kita itu lho ya. Kita senang kepada keindahan, kemudian keagungan, itu berarti ruhani kita rindu, sebenarnya," jelas Gus Dhofir.
Ruhani ini, menurut dia, tidak senang dengan yang temporal. Akan tetapi, senang yang eternal, abadi. Makanya, ruh ini senangnya kepada yang pure, murni, otentik, ashalah, tidak kepada yang arbitrer, berubah-ubah, dan konvensional.
“Nah, ini karena pondok sedang membangun, kayu-kayu dan bahan bangunan di toko bangunan semua. Batu bata, koral, semua di toko bangunan. Di sana, statusnya sama, di gudang yang sama. Tetapi, begitu ia berangkat menuju rumah, maka alat-alat, material-material, bahan bangunan, menjadi rumah,” terangnya.
“Begitu menuju hotel, dia menjadi hotel. Begitu menuju jalan, dia menjadi marka jalan, aspal, tol dan lain-lain. Begitu menuju kafe, dia menjadi kafe. Hanya saja begini, semua hal apa pun, pispot, kloset, WC, berlapis emaskah ia seperti (milik) Sultan-sultan Brunei, Amir-amir Qatar atau Dubai dan sebagainya, ia tetap WC. Derajatnya tetap tinggi genteng meskipun gentengnya murah,” sambungnya beranalogi.
Oleh karena itu, lanjut Gus Dhofir, degradasi spiritual ini menurut Imam Junaid al-Baghdadi dimulai dengan teramat banyak kita menginginkan sesuatu yang ia bukan milik kita.
“Ramadhan ini kan kita belajar melepas. Zakat itu melepas sebenarnya. Bukan to overlay holding on, bukan terlalu menggenggam, tetapi kita justru melepas. Bisa ndak kita bahagia bukan dengan memiliki, tetapi melepas,” tanya Gus Dhofir, mengajak puluhan peserta virtual berpikir.
Kemudian, salah satu asmaul husna adalah as-Shamad yang di antara maknanya adalah tidak berongga. Tuhan itu tidak berongga, makanya Allah SWT Maha Suci dari makan, minum, dan berhubungan seksual. Kita makan minum, berhubungan seksual, melahirkan, karena punya rongga-rongga.
“Karena Allah SWT itu as-Shamad, begitu kita 'di dalam' Allah, kita tidak bisa keluar dari-Nya. Kalau Allah sudah menutup diri - na'udzubillah, ya – dari kita, kita tidak bisa 'masuk' kepada-Nya, jauh dari cinta dan rahmat-Nya, apalagi ampunan-Nya itu,” jelasnya.
Ikuti Ulama
Kemudian, bagaimana kita bisa bersembunyi dari murkanya Tuhan? Kata para sufi, salah satunya Imam Abu Yazid al-Busthami, kita bergabung dengan cinta kasih Tuhan. Jika sulit, ikutilah ulama.
“Di surat al-Fatihah ada ayat, ihdinash shiraathal mustaqiim. Tuhan, tunjukkanlah kami jalan yang luas, lurus, benar. Ternyata jalan yang benar itu bukan jalan apa, tapi jalan siapa, shiraathalladziina an'amta 'alaihim. Jalannya orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat berupa Islam, Iman, Ihsan, yaitu para nabi, rasul dan tentu saja para pewarisnya: ulama, dalam segala bidang,” terangnya.
“Jadi, jalan yang benar itu bukan jalan apa, tetapi jalannya siapa. Ini maknanya kita bermadzhab. Kita ikut para ulama, maknanya itu. Dan ini boleh beda pendapat karena kita hidup di negara demokrasi," bebernya.
Kemudian, terkait degradasi spiritual, pengasuh Kajian Tafsir Tematik NU Online itu memberi gambaran begini.
“Kalau saya guru, ya, teman-teman yang belajar di pondok kami – mohon maaf – tidak ada yang bayar. Mereka berharap akhirat, kok guru berharap dunia dari muridnya, itu degradasi spiritual kita. Itu rugi betul. Makanya kiai harus kaya, ndak boleh miskin, supaya ndak berharap dari santri dan jamaahnya,” ungkap Gus Dhofir.
“Saya itu kalau mengaji, ceramah-ceramah, kuliah, saya ndak pernah mikir amplop itu. Saya mikir materi yang mau disampaikan, karena amplop biar dipikir panitia,” selorohnya diikuti gelak-tawa peserta.
Terkait degradasi spiritual, Gus Dhofir menyatakan seharusnya kita hidup di present time. Ini pendapat Imam Fudhail bin 'Iyad. Present time, kita nikmati waktu sekarang. Jika kita susah, itu karena tidak bersyukur.
“Oleh karenanya, syukuri saja hidup kita hari ini. Orang yang bahagia hidupnya hari ini, dia tidak menangisi masa lalunya. Tidak cemas atau takut dengan masa depannya. Santai saja. Karena dia hidup sekarang menikmati present time. Kalau sempat berdoa, bersyukur. Syukur lebih hebat itu," pungkasnya.
Kontributor: Ahmad Naufa
Editor: Musthofa Asrori
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
250 Santri Ikuti OSN Zona Jateng-DIY di Temanggung Jelang 100 Tahun Pesantren Al-Falah Ploso
Terkini
Lihat Semua