Daerah

Kisah Relawan yang Pilih Tinggal di Lokasi Bencana Temani Warga yang Kehilangan Harta Benda

NU Online  ·  Ahad, 14 Desember 2025 | 14:30 WIB

Kisah Relawan yang Pilih Tinggal di Lokasi Bencana Temani Warga yang Kehilangan Harta Benda

Roiyul Haq Sayiduddar Hasibuan bersama relawan Banser Tagana lainnya saat berjibaku dengan lumpur di sebuah lembaga pendidikan. (Foto: dok istimewa)

Medan, NU Online

Rintik hujan turun tanpa jeda. Udara dingin menusuk hingga ke sela pori-pori. Di tengah kondisi yang serba tidak bersahabat itu, Roiyul Haq Sayiduddar Hasibuan terus melangkah. Ia memilih bertahan di lokasi bencana, menemani warga yang kehilangan rumah, harta benda, bahkan anggota keluarga.


Roiyul Haq (32), warga Jalan Ledda Sujono, Kota Medan, Sumatra Utara, bukan nama baru di dunia kerelawanan. Dalam berbagai keterbatasan, kontribusinya selama berada di lapangan telah banyak membantu warga terdampak bencana alam.


“Pengalaman menjadi relawan sangat mengesankan karena saya berhadapan langsung dengan masyarakat yang terdampak bencana,” ujar Roiyul Haq kepada NU Online, Sabtu (13/12/2025).


Pengalaman paling membekas baginya adalah ketika menyaksikan rumah sepasang suami istri rata dengan tanah, tanpa puing tersisa. Bersama tim, ia terlibat langsung dalam proses evakuasi keluarga tersebut.


“Saya melihat sendiri rumah pasangan suami istri dengan dua anak usia tiga dan lima tahun hancur diterjang banjir bandang. Air bercampur gelondongan kayu berdiameter sekitar 1,5 hingga 2,5 meter menghantam pemukiman,” tuturnya lirih.


Kisah pilu juga ia temui di Desa Garoga. Desa yang dulunya diapit dua sungai itu berubah menjadi hamparan kehancuran.


“Sekitar 75 persen rumah hanyut akibat banjir bandang dan gelondongan kayu dari hulu sungai. Puluhan warga menjadi korban jiwa dan ada yang dinyatakan hilang,” kata Roiyul.


Kondisi serupa terjadi di wilayah Huta Godang yang letaknya berdekatan. Di sana, sekitar separuh rumah warga hilang tersapu banjir, sementara 25 persen lainnya rusak parah.


Di tengah keterbatasan fasilitas, Roiyul Haq juga kerap melakukan pertolongan pertama kepada pengungsi yang jatuh sakit. Dengan peralatan medis seadanya, ia berusaha meringankan beban mereka.


“Kalau ada pengungsi sakit, saya identifikasi gejalanya. Kalau demam, saya cek pola makan dan kondisi tubuhnya, lalu memberikan obat-obatan yang tersedia,” ujarnya.


Namun, kerja kemanusiaan itu tidak selalu mudah. Akses menuju lokasi bencana sering kali terputus dan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Jaringan komunikasi sulit, sementara listrik padam berhari-hari.


“Komunikasi susah, sinyal minim, listrik juga mati. Tapi itu semua tidak menyurutkan niat,” katanya.


Bagi Roiyul Haq, menjadi relawan bukan sekadar tugas, melainkan panggilan nurani. “Saya tidak bisa melihat saudara-saudara saya kesusahan di lokasi bencana, sementara saya hanya duduk manis di rumah,” ucapnya.


Dari perjalanan kemanusiaan itu, ia memetik banyak pelajaran berharga. “Nilai yang saya pelajari adalah menolong sesama, memiliki kepekaan sosial, serta melatih kejujuran, empati, kesigapan, dan kedisiplinan,” pungkasnya.


Di tengah bencana yang menggerus segalanya, langkah Roiyul Haq menjadi penanda bahwa kepedulian, sekecil apa pun, dapat tumbuh menjadi gerakan nurani kemanusiaan yang menguatkan harapan.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang