Jombang, NU Online
Bangsa Indonesia seharusnya bangga dan punya rasa memiliki dengan Ka'bah beserta makam Rasulullah. Selama ini, tamu dari Turki saja yang memiliki rasa gengsi yang lebih tinggi karena merasa tanah suci merupakan bekas wilayah mereka. Karena sampai sekarang masih ada stasiun tinggalan Turki yang berada tak jauh dari Masjid Nabawi.
"Menurut hemat saya, warga Indonesia terutama Nahdliyin pun patut percaya diri di negeri gersang ini. Karena sejarah telah membuktikan, ulama Nahdlatul Ulama lah yang paling bersikukuh menentang penghancuran dan mempertahankan situ-situs bersejarah Islam. Sebagian besar sudah dibumiratakan oleh rezim Wahabi," kata H Zahrul Azhar Asumta As'ad, Selasa (12/3).
Dikatakan Pengasuh Pondok Pesantren Queen Al-Azhar Darul Ulum, Rejoso Peterongan, Jombang, Jawa Timur ini, sejarah tentang Komite Hijaz yang menentang pemerataan makam Nabi dan hingga lahirnya NU menjadi gerakan Muslim Indonesia yang luar biasa.
Andai saja tidak ada gerakan penentangan dari ulama Islam Nusantara, entah apa yang terjadi di dua tanah haram ini. “Dimungkinkan umat Muslim sudah tidak ada pilihan lagi untuk berziarah mengenang masa lalu karena sebagian sudah dihancurkan oleh penguasa Haramain kecuali ke kebun kurma,” kata Gus Hans, sapaan akrabnya.
Bahkan kebun kurma pun sudah diolah dengan mengkapitalisasi hadits demi menambah pundi-pundi uang Saudi. Atau berkunjung ke mall-mall branded di bawah hotel milik Paris Hilton. Yang sebetulnya baru muncul baru-baru ini dan tak memperdulikan pentingnya sejarah keislaman.
"Rumah kelahiran Nabi dihancurkan dijadikan perpustakaan, bahkan rumah istri Nabi Muhammad SAW pun dibongkar dijadikan toilet, sekali lagi toilet. Padahal itu situs sejarah yang luar biasa. NU berperan menghentikan penghancuran situs sejarah Islam di Haramain," ujarnya.
Gus Hans menjelaskan, berdasarkan estimasi Gulf Institute, 95 persen bangunan yang berumur 1000 tahun telah dihancurkan dalam 20 tahun terakhir oleh Pemerintah Arab Saudi. “Ini sebuah gerakan yang cukup berbahaya. Dikhawatirkan akan mengurangi khazanah keislaman dalam bidang sejarah penyebaran Islam,” terangnya.
Komite Hijaz adalah nama sebuah kepanitiaan kecil yang diketuai oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Panitia ini bertugas menemui raja Ibnu Saud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan.
“Setelah melihat gerakan Wahabi dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid'ah, berbagai tempat bersejarah, baik rumah Nabi Muhammad dan sahabat termasuk makam Nabi hendak dibongkar,” sergahnya.
Pemerintah Arab Saudi menghancurkan benteng Ajyad yang sudah ada sejak era Ottonom dan bukit yang ada di sekitarnya.
Beberapa tahun lalu tambahnya, sebuah masjid cucu Rasulullah dihancurkan dengan dinamit. “Gambar penghancuran masjid yang diambil secara rahasia menunjukkan para polisi agama Arab Saudi merayakan keruntuhan tempat bersejarah tersebut,” urainya.
Praktik mereka masih berlangsung hingga kini walau sudah dicegah para pelobi dari ulama Nusantara melalui ulama Hijaz. “Hingga kini NU masih meneruskan perjuangan itu," ujar Gus Hans.
Penghancuran situs sejarah ini dikarenakan pemahaman agama ala mazhab Wahabi menjadi mayoritas di Saudi. “Bahayanya, mereka kini menyebarkan ajarannya hingga ke pelosok Nusantara. Berusaha mencabut akar budaya asli Indonesia dengan dalih purifikasi ajaran yang sebenarnya justru malah melenceng dari konsep Islam yang rahmatan lilalamin,” terangnya.
Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Makkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh.
"Sikap Ansor dan Banser bagi sebagaian orang sering disalah pahami. Seakan anti ajaran yang lain dan tak bersahabat dengan sesama Muslim saat mengkritik upaya Wahabi,” katanya.
Dalam pandangannya, ini adalah cobaan bagi generasi muda. “Khususnya dalam meneruskan jihad para kiai mempertahankan nilai Ahlussunah wal jamaah hingga ke tanah Hijaz," pungkas Gus Hans. (Syarif Abdurrahman/Ibnu Nawawi)