Semakin berkembangnya penggunaan teknologi informasi dan meningkatnya kebutuhan untuk berinteraksi menjadikan social networking menjadi sesuatu yang tidak bisa dibendung oleh semua orang. Social media (media sosial) menjadi bagian penting teknologi informasi yang memberikan ruang dan waktu interaksi tak terbatas bagi semua kalangan, sampai kalangan anak-anak sekalipun. Di satu sisi, media sosial dapat menjadi solusi dari kebutuhan-kebutuhan itu, namun di sisi lain terdapat ancaman yang cukup mengkhawatirkan, khususnya bagi kalangan anak-anak sekolah yang belum mampu mengontrol dirinya.
Misalnya saja penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Shofiyuddin Ichsan dari Institut Ilmu Al Qur’an an-Nur Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan pada anak-anak dua Madrasah Ibtidaiyah di Yogyakarta tahun 2018 ini menyebutkan bahwa anak-anak sekolah yang aktif dalam media sosial memiliki kecenderungan kurang fokus dalam menerima pelajaran dari gurunya. Interaksi mereka tidak lagi mengenai pelajaran yang sedang disampaikan. Anak-anak dengan teman-temannya lebih banyak berbicara soal game dan hal-hal yang terjadi di media sosial. Jumlahnya pun mencapai 36% yang membahas game, 23% membahas pelajaran, sedang 20% membahas tingkah laku teman lainnya.
Penelitian yang bekerjasama dengan Diktis Pendis Kementerian Agama RI ini juga mencatat bahwa keaktifan dalam menggunakan media sosial, menyita waktu belajar mereka. Banyak di antara anak-anak Madrasah Ibtidaiyah tersebut menggunakan media sosial dan game rata-rata 3-4 jam dalam sehari. Jika diakumulasi, waktu yang dihabiskan bisa mencapai lebih dari 25 jam dalam seminggu menggunakannya. Tentu akan bertambah jika tidak dilakukan pengendalian secara dini.
Hal ini tentu patutlah menjadi kekhawatiran bagi banyak orang tua. Kecanduan media sosial (maniak) anak usia anak tingkat sekolah dasar setidaknya berimbas pada diri anak. Selain dampak yang sudah dijelaskan sebelumnya, ada pula imbas lainnya, antara lain:
1. Moralitas anak menjadi rendah.
Menurut hasil penelitian, ditemukan anak yang memiliki media sosial 71% sudah memiliki rasa dengan lain jenis, bahkan 39% sudah berpacaran. Hal ini menjadi ironis, karena usia mereka belum menginjak dewasa. Di lihat usia, mereka masih labil dalam berinteraksi sosial, sehingga melalui media sosial, mereka bisa mengakses apapun, termasuk gambar-gambar pornografi
2. Lebih berani berinteraksi dengan siapa pun, khususnya dengan lawan jenis.
Hasil penelitian mengejutkan bahwa melalui media sosial, mereka cenderung lebih intens berkomunikasi dengan lawan jenis daripada sesama jenis. Sebanyak 60% berinteraksi dengan lawan jenis melalui WhatsApp, 18% berinteraksi dengan orangtua, 22% berinteraksi dengan sesama jenis.
3. Kemalasan belajar dan semangat menjalani hidup di dunia nyata.
Anak yang sudah akut dalam menggunakan media sosial dan gadget, akan sulit untuk diajak ke dalam hal lainnya. Anak sudah fokus pada bagaimana menyelesaikan misi dalam game atau terus menelusuri (stalking) apa yang dia lihat.
4. Berisiko menimbulkan iri dan dengki antarteman.
Semakin dalam ia melakukan penelusuran akun orang lain (stalking), maka secara tidak langusng ia akan mulai membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Inilah yang akan memunculkan sikap iri dan dengki atas apa yang dilakukan oleh orang lain atau temannya. Anak yang belum mampu menemukan jati dirinya, akan lebihi terombang-ambing pada obsesi dari apa yang dia lihat.
5. Berisiko menimbulkan kecemasan dan ketidakstabilan emosi dalam diri anak.
Ketika anak-anak melihat dirinya dan mulai membandingkan dirinya dengan orang lain, di sana akan muncul kecemasan dari apa yang hanya dia miliki. Anak yang belum mampu melihat realitas yang sebenarnya mulai terperangkap pada suatu frame visualisasi saja, tidak melihatnya sebagai suatu proses. Misal ketika ia melihat temannya sedang memposting liburannya ke luar negeri, ketidakmampuan anak dalam melakukan hal yang sama akan menimbulkan emosi yang belum mampu diarahkan. Akhirnya anak tersebut merasa minder atau malah menyalahkan keadaan.
6. Menghilangkan kejenuhan anak dengan menyendiri akibat beraktifitas belajar di sekolah.
Masa usia anak yang seharusnya mampu menjadi masa yang baik dalam proses pertumbuhan interaksi langsung dan memahami pergaulan (tatap muka). Dengan intensitas anak kepada media sosial yang berlebih menjadi penghalang dalam proses itu, dimana ia tidak bisa memberikan respon langsung dari suatu proses interaksi. Anak tersebut lebih memilih untuk menyendiri dan mulai merasa, 'Ngapain ketemu, toh kalau soal ngobrol, di WA juga bisa.'
7. Berisiko tinggi dalam menyebabkan anak yang individualistik
Kenyamanan berlebih dalam bermedia sosial, membuat anak akan menjadi sosok yang lebih suka menyendiri (individualistik). Dalam keadaan pandangan fokus ke media sosial, ia lebih memilih keadaan yang tidak ingin diganggu. Justru si anak akan marah apabila diusik.
Keadaan yang berulang seperti ini akan menjadi boomerang apabila tidak ditanggulangi. Karenanya, perlu peran banyak elemen untuk mengatasi ini semua. Elemen yang berperan penting diantaranya; orang tua, sekolah, dan pergaulan sebaya. tetapi juga diperlukan sinergi dari pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan kebijakan tertinggi harus juga memahami lebih dalam tentang fenomena media sosial yang dilakukan oleh anak usia Sekolah Dasar, khususnya pada anak Madrasah Ibtidaiyah.
Khusus kepada orang tua yang memiliki peran efektif dalam penyadaran si anak, hendaknya membatasi penggunaan media sosial anak. Ketidakmampuan membatasi akan membuat anak lebih merasa bebas dan tidak terkendali. Sehingga pergaulan si anak di sekolah dan teman sebaya, akan berkutat saja dalam hal itu. Janganlah sampai kemudian, kekhawatiran kita bersama akan dampak yang disebutkan di atas malah menjadi kenyataan. (Sofwan/Kendi Setiawan)