Arsitektur Organisasi NU Seumpama Insan Kamil
Rabu, 5 Maret 2025 | 03:11 WIB
Abdullah Alawi
Kolomnis
Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan atau organisasi diniyah suniyyah. Berita Nahdlatoel Oelama edisi No. 8, 15 Februari 1936, tahun ke-5 mengungkapkan definisi singkat itu (hlm. 3-4). Pada perkembangan berikutnya, NU menjadi perkumpulan ijtimaiyah (sosial). Perkumpulan ini dibangun oleh orang-orang yang memahami pentingnya berjamaah, baik secara ilmu agama maupun keorganisasian.
Setidaknya, ada dua tokoh yang merumuskan bagaimana NU dibangun. Keduanya menuliskan gagasan dan pemikiran dalam dua media yang berbeda. Pertama, KH Abdul Wahab Chasbullah yang menuangkan gagasannya dalam Swara Nahdlatoel Oelama. Kedua, KH Mahfudz Shiddiq yang memaparkan pemikirannya pada Berita Nahdlatoel Oelama.
Kiai Wahab mendesain struktur organisasi NU dengan formasi syuriyah-tanfidziyah. Jika dilihat dari sisi umur, formasi itu merepresentasikan kelompok tua dan muda. Struktur tersebut memadukan dua kelompok yang pada waktu itu terbelah dan dibeda-bedakan.
Menurut KH Saifuddin Zuhri dalam Al-Maghfurlah KH A. Wahab Hasbullah Bapak Pendiri NU (1972: 34), NU menyatukan mereka. Dua kelompok itu harus bersama-sama menyingsingkan baju demi Ahlussunah wal Jamaah.
Dalam struktur NU, berdasarkan keterangan Heru Sukadri dalam Kiai Haji Hasyim Asy’ari, Riwayat Hidup dan Pengabdiannya (1985: 77), syuriyah adalah badan tertinggi yang bertugas mengelola NU ke dalam dengan dasar keagamaan (keakhiratan). Susunan pengurus besar syuriyah ini terdiri atas rais (ketua), wakil rais, katib awal (sekretaris I), katib tsani (sekretaris II), dan a'waan (pembantu umum). Adapun pengurus besar tanfidziyah merupakan badan pelaksana untuk bertindak ke luar. Badan itu dipimpin oleh seorang presiden.
Hubungan syuriyah dan tanfidziyah dilukiskan Berita Nahdlatoel Oelama sebagai berikut:
“Soesoenan NO bisa diloekiskan dengan pembagian a dan b agar njatalah dan moedah dipahamkan bahwa NO itoe soeatoe perhimpoenan jang ibarat barang samalah bandingannja dengan manoesia kamil. Manoesia hanja mendjadi manoesia dan bisa diseboet manoesia apabila padanja masih ada doea bahagian (roeh boeat NO adalah sjoerijah dan jasad NO adalah tanfidziyah).”
Dalam menjalankan organisasi, sebagaimana umumnya organisasi Islam lainnya, NU menetapkan satu syarat yang tidak boleh dilanggar, yaitu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sementara itu, orientasinya meliputi dua hal.
Pertama, untuk persatuan umat Islam yang disebut al-sawâd al-a‘zham (kelompok terbanyak). Lalu setelah bersatu, dipergunakan untuk kemanfaatan agama dan umat Islam sebagaimana yang dijelaskan dalam ajarannya. Kedua, untuk tanah air Indonesia khususnya dan tanah air umat Islam pada umumnya.
Setelah konsep syuriyah-tanfiddziyah diselesaikan oleh Kiai Wahab dan susunan pengurus terbentuk, menurut Heru Sukadri (hlm. 78), tugas penyusunan konsep anggaran dasarnya diserahkan kepada Muhammad Shadiq. Setelah Shadiq menyelesaikan tugasnya, giliran Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari menyusun Qanun Asasi Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Kemudian NU mengupayakan agar organisasinya sah secara hukum dalam undang-undang Hindia Belanda. Menjadi perkumpulan resmi yang diakui oleh hukum pemerintah merupakan langkah strategis untuk memperkecil pelbagai gangguan yang mungkin terjadi ketika dianggap sebagai perkumpulan liar.
Upaya itu dilakukan pada 5 September 1929 oleh KH Said bin Saleh yang mewakili organisasi. Ia mendapat surat kuasa dari perkumpulan Nahdlatul Ulama sebagaimana diberitakan surat kabar Bintang Timoer berjudul “Nahdlatoel Oelama dan Commissie voor Inlandsche Rechtspersoon.”
“Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama telah meminta rechtpersoon kepada pemerintah, jang mana ini nistjaja, sebagai biasa adalah soeatoe Europeesch rechtpersoon.
Kebetoelan:
Pemerintah telah mengadakan soeatoe badan commissie jang maksoednja barangkali hendak mengadakan Inlandsch rechtpersoon.
Terboekti ketika tanggal 11 Oktober 1929 Nahdlatoel Oelama mendapat panggilan sekira djam 7 setengah sore di Logegebouw, Toendjoengan, Soerabaja” (No. 250, 5 November 1929, tahun ke-4, lembaran ke-2).
Permintaan itu, sebagaimana ditulis Oetoesan Nahdlatoel Oelama, dikabulkan melalui besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia bertanggal 6 Februari 1930 bernomor IX.
Mengupayakan Organisasi yang Rapi
Sementara ditinjau dari sisi manajemen organisasi, ada banyak penulis yang menyatakan—dan diamini para pengurus NU sendiri di kemudian hari—bahwa NU pada awal berdiri dijalankan tidak dengan manajemen yang baik. Misalnya dalam Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (1998), seorang penulis menyatakan:
“Saat NU berdiri tahun 1926 dan kemudian mendapatkan dukungan massa—khususnya di perdesaan Jawa saat itu—bukan karena kekuatan manajemen organisasinya. Jika diukur dari segi kekuatan manajemen organisasi, sampai sekarang bisa dikatakan NU masih jauh dari sempurna” (hlm. 93).
Padahal jika mau bersusah payah menyelami data-data tentang NU dari sumber primer yang ditulis pada masa awal, mereka akan mendapatkan data yang jelas bahwa perkumpulan ini dijalankan dengan manajemen organisasi yang rapi.
NU adalah perkumpulan yang memiliki maksud dan tujuan organisasi, susunan pengurus, anggaran dasar dan peraturan rumah tangga, perancangan program kerja, dan aturan main pelaksanaan yang tersusun secara jelas.
Dari sisi hukum kenegaraan, NU adalah organisasi yang terdaftar dan sah. Dalam menyelenggarakan kegiatan, NU menempuh jalan-jalan yang resmi sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam pengelolaan organisasi, para pengurus menyampaikan laporan keuangan secara terbuka.
Pada penyelenggaraan muktamar, misalnya, pengurus NU dan panitia muktamar merinci tugas setiap bagian secara detail hingga ihwal yang terkecil. Panitia juga menyusun dasar hukum pelaksanaan muktamar berdasarkan Al-Quran dan hadis, proses dan tahapan muktamar, kriteria pemimpin sidang, durasi yang diperlukan, sumber keuangan yang masuk dan pengeluaran, hingga sandal, kopiah, dan sarung yang ketinggalan pun dilaporkan. Bahkan, harga sebuah keputusan dihitung pula berdasarkan biaya yang dihabiskan.
Sama halnya, sebelum membentuk cabang-cabang, pengurus NU telah mempersiapkan pedoman terkait kewajiban, hak, dan tugas-tugas bestuur (pengurus), kriteria pemimpin, syarat-syarat pembentukan cabang, ranting, dan anggota, serta mekanisme pemecatan pengurus dan anggota hingga pembubaran organisasi jika diperlukan.
Pada masa itu, setiap organisasi atau perkumpulan yang didirikan memiliki kantor atau sekretariat. Nahdlatul Ulama yang baru didirikan juga memiliki kantor khusus. Jika di masa itu tiap organisasi melaksanakan kongres, NU pun melaksanakannya tiap tahun. Ketika tiap perkumpulan memiliki majalah sebagai media pemberitaan dan perjuangan, NU juga memilikinya.
Pada masa awal, setiap anggota NU memiliki nomor anggota dan lencana serta harus membayar iuran bulanan yang disebut i’anah syahriyah. Kematian anggota dicatat dan dilaporkan. Jika anggota melanggar syariat Islam dan hukum kenegaraan, ia akan dikeluarkan dan diumumkan di majalah.
NU bahkan pernah mengeluarkan hingga 2.077 anggota dalam waktu bersamaan hanya karena tidak membayar iuran. Apabila ada pengurus yang melanggar tata tertib organisasi, ia akan dipecat dan pemecatannya diumumkan di media massa.
Harus diingat, salah seorang pendiri NU, Kiai Wahab, adalah tokoh yang melek organisasi sedari muda. Sepulang menuntut ilmu dari Makkah, dia mendirikan Nahdlatul Wathan, Tashwirul Afkar, Syubbanul Wathan, dan Nahdlatut Tujjar. Tak heran, dia menyusun NU dengan kombinasi yang komplit.
Abdul Mun’im Dz dalam Kaidah Berpolitik & Bernegara (2014: 81) menyebutkan Kiai Wahab telah mengembangkan NU dengan cara-cara modern sebagaimana dilakukan kalangan modernis.
Akan tetapi, harus diingat pula Kiai Wahab berasal dari lingkungan pesantren tradisional sehingga umat dan jajaran pengurus yang digerakkannya pun berasal dari lingkungan dan tradisi yang serupa. Dia benar-benar memahami situasi dan kondisi umat pada zamannya. Ia juga memahami potensi yang dimiliki umat.
Karena itu, ia tidak menghindari atau membuang akar tradisinya, tetapi memanfaatkan dan menggerakkannya. Modal-modal sosial berupa tradisi pesantren ini dijadikan sarana untuk pergerakan NU yang dikelola secara rapi.
Meskipun mungkin apa yang dicita-citakan serta yang tertulis tidak terlaksana persis dengan yang dipraktikkan, berita-berita di majalah, surat kabar, dan laporan, baik sumber internal maupun eksternal, menunjukkan bahwa NU dijalankan sebagai organisasi yang rapi.
Penjelasan tentang syuriyah dan tanfidziyah disebutkan pada statuten NU, yaitu bahwa keduanya terdiri atas bagian ulama dan bukan ulama. Bagian ulama disebut syuriyah dan bagian bukan ulama disebut tanfidziyah. Seperti diungkapkan KH Saifuddin Zuhri, struktur tersebut didesain Kiai Wahab untuk memadukan tenaga tua yang penuh wibawa dan tenaga muda yang penuh dengan kesanggupan dan semangat yang menyala (hlm. 34).
Baca Juga
Kaum Ibu pada Masa Awal NU Berdiri
Dari komposisi di atas, bisa dibaca bahwa sedari awal NU telah mempersiapkan generasi untuk masa-masa yang akan datang sebab perkumpulan ini tidak dibentuk hanya untuk satu-dua hari.
Syuriyah Umpama Ruh, Tanfidziyah Ibarat Jasad
Sementara itu, KH Mahfudz Shiddiq mengumpamakan syuriyah sebagai ruh, sedangkan tanfidziyah adalah jasad atau jasmani. Kedua kelompok ini tidak boleh terpisah dalam NU.
NU tidak boleh menelantarkan bagian ruh dan juga tidak boleh mengabaikan bagian jasmani. Kedua bagian itu harus selaras. Dalam bergerak, kedua bagian ini tidak boleh sekali-kali melanggar aturan agama. Di dalam kerja, syuriyah jangan melemahkan tanfidziyah, begitu juga sebaliknya: Tanfidziyah jangan sampai memudarati syuriyah.
Karena itulah dalam statuten-nya, NU membuat peraturan pasal 3 yang menyebutkan bahwa “sesuatu departemen tidak boleh menjalankan suatu aturan (usaha) bahasa sebelum dimintakan fatwa hukumnya syuriyah alg zaken.” Di antara kedua posisi itu, sebagai organisasi kiai, syuriyah menjadi bagian paling utama. Dalam statuten, tanfidziyah tidak bisa melakukan pergerakan organisasi tanpa sepengetahuan syuriyah.
Untuk menjalankan roda perkumpulan pada periode awal ini, NU membutuhkan orang yang ahli untuk mendampingi ketua umum pertamanya, Hasan Gipo. Moechammad Shadiq atau Sugeng Yudhodiwiryo asal Pemalang dipilih sebagai sekretaris tanfidziyah atau setaraf dengan Sekretaris Jenderal PBNU sekarang. Sugeng pada saat AD/ART diresmikan tercatat sebagai Sekretaris Hoofdbestuur NO.
Menurut BNO, dia adalah penyusun, pengatur, dan pembangun NU. Namun sayang, sebelum NU berkembang pesat, dia keburu tutup usia. Dalam obituari yang dimuat BNO, kematiannya disebut sebagai kehilangan tenaga yang amat penting, kehilangan seorang organisator yang cakap, pembawa semangat yang berkobar-kobar. Namanya terukir dalam hati kaum NU karena namanya tak dapat diceraikan dari NU (No. 24, 15 Oktober 1936, tahun ke-5, hlm. 3).
Di masa awal, jenjang kepengurusan NU hanya ada HBNO. Kemudian, untuk memperkuat organisasi di berbagai daerah, diupayakan pembentukan cabang hingga ranting. Karena ada jarak yang sepertinya terlalu jauh antara pusat dan cabang, maka pada muktamar di Banyuwangi ditetapkan struktur anyar, yaitu Consul HBNO. Struktur ini posisinya setingkat PWNU sekarang. Pada mulanya, ditetapkan hanya ada delapan Consul HBNO. Pada perkembangan berikutnya, jumlah Consul HBNO terus bertambah.
Kemudian, karena struktur ini masih dirasa terlalu luas jangkauannya, ditunjuklah perwakilan Consul NU di beberapa titik. Consul NU Jawa Barat misalnya, menunjuk Kiai Dahlan Cicarulang sebagai perwakilan Consul NU di Tasikmalaya, Said Wiratmana Hasan Abdurrahman di Bandung, dan KH Entol Muhammad Jasin di Pandeglang. Para wakil Consul NU itu diangkat untuk membantu tugas-tugas Kiai Zainul Arifin sebagai ketua Consul NU di Jawa Barat yang tinggal di Jakarta.
Abdullah Alawi, peminat sejarah NU, penulis buku Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941 (2023) dan tengah menyiapkan buku Sejarah NU Jawa Barat, Jakarta, dan Banten 1926-1941.
========
Pada Ramadhan tahun ini, NU Online menyajikan edisi khusus bertajuk “Sejarah Kecil NU” tentang kisah orang-orang biasa dan kejadian-kejadian obskur yang sering tenggelam dalam narasi besar sejarah. Selama sebulan penuh, sejarawan partikelir sekaligus Redaktur Opini & Editorial NU Online, Abdullah Alawi, mengisi edisi khusus ini.
Terpopuler
1
Kultum Ramadhan: 7 Amalan Spesial di Bulan Ramadhan untuk Pahala Berlipat
2
Kultum Ramadhan: Rahasia Rasulullah dalam Menjalani Ramadhan
3
Kultum Ramadhan: Hindari Perbuatan Ini, Supaya Puasa Tidak Batal
4
Manfaatkan Penyewaan Alat, Kurator PT Sritex Sebut Karyawan yang di-PHK Bisa Kembali Bekerja
5
Setelah Minta Maaf, Pertamina Jamin Ketersediaan BBM saat Mudik Lebaran 2025
6
Hukum Imam Shalat Tarawih Live di TikTok
Terkini
Lihat Semua