Fragmen SEJARAH KECIL NU

Kisah Mualaf Belanda dan Tionghoa yang Memeluk Islam lewat Cabang-cabang NU 

Ahad, 16 Maret 2025 | 23:32 WIB

Kisah Mualaf Belanda dan Tionghoa yang Memeluk Islam lewat Cabang-cabang NU 

Logo NU (Foto: NU Online)

Sebagai perkumpulan keagamaan, Nahdlatul Ulama tentu menyambut siapa saja yang beriktikad memeluk agama Islam tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. Sejak didirikan pada 1926, pandangan dan praktik NU tak pernah berubah terkait hal itu. NU bahkan tidak hanya menyambut, tapi juga memfasilitasi—baik secara pribadi (pengurus atau kiai NU) maupun secara organisasi—orang-orang yang ingin masuk Islam.

Majalah Berita Nahdlatoel Oelama No. 13, 1 Mei 1936 (hlm. 12), misalnya, mengabarkan tentang orang Tionghoa dan India yang menjadi mualaf dalam berita berjudul “Memeloek Islam”: 

“Dari Nov 1935 sampai Mrt 36 telah memeloek Islam di hadapan sdr H. Machfoedsiddiek 7 bangsa Tionghoa, 1 di hadapan sdr. Salimie, 1 bangsa India di hadapan sdr. Abdoel Chalimsiddiek.” 

 

NU Purwakarta dan Mualaf Tionghoa 

Apa yang dicontohkan pengurus di tingkat pusat, melalui seorang tokohnya, KH Mahfoed Shiddiq, kemudian ditiru oleh cabang-cabang. NU Purwakarta adalah salah satunya. Koran Pemandangan No. 92, 26 April 1941, memberitakan bahwa NU Purwakarta membantu dan memfasilitasi warga Tionghoa menjadi mualaf sebagaimana diungkapkan pada berita berjudul “Masoek Islam”:

“Seorang pemoeda Tionghoa, nama F.T.K., kira-kira oemoer 19 tahoen, dan sedjak ketjilnja ia disekolahkan di Tiongkok. Kemoedian setelah ia kembali lagi ke Indonesia, dan beroemoer dewasa, seringkali mendengar dari orang jang ditinggali olehnja, bahasa ia sebetoelnja boekan anak orang Tionghoa, tetapi dapat memoengoet dari seorang Indonesia.” 

Kemudian koran itu memberitakan bahwa setelah F.T.K. mengetahui nenek moyangnya adalah bangsa Indonesia, ia berkeinginan pulang ke kampung halaman leluhurnya seraya memeluk Islam. Sekembalinya dari Tiongkok, ia memilih tinggal di Subang (yang waktu itu masuk ke dalam cakupan NU Cabang Purwakarta). Namun, koran itu tidak menyebutkan alasan kenapa ia memilih di Subang, bukan kota lain. Mungkin ada kerabat atau koleganya.

Saat di Subang itulah, F.T.K. menyatakan diri hendak menjadi seorang mualaf. Sayang, koran tersebut juga tidak menyebutkan kenapa F.T.K. memilih menjadi mualaf melalui NU Purwakarta. 

“Dengan perantaraan dan pengoeroesan pengoeroes N.O. Soebang, setelah diselidiki hal ichwalnja, serta soenggoeh-soenggoeh atas kemaoeannja sendiri masoek Islam, maka pada hari Sabtoe kemarin, di mintakan - pertolongan kepada t. Dr. Moetiono di Hospitaal Soebang, disoenatlah ia dengan selamat. Demikian atas kedermawanan t. Dr. Moetiono, memberi poela sokongan wang jang tidak sedikit, oentoek biaja lainnja.

Sekarang pemoeda F.T.K, dengan selamat soedah masoek Islam, dan atas persetoedjoeannja poela, namanja diganti mendjadi Mh. Moechlis, serta pada masa ini masih ada didalam tanggoengan pengoeroesannja pengoeroes N.O. Soebang.” 

 

NU Bandung dan Para Mualaf Belanda 

Sementara itu, Sipatahoenan No. 190, 10 Agustus 1939, pada berita berjudul “Pasamoan Oemoem Nahdiatoel Oelama” mengabarkan tentang salah satu aktivitas NU Cabang Bandung pada 1939. Berita itu mengungkapkan kehadiran dua orang mualaf berkebangsaan Belanda.

“Kadjaba poersiter djeung Secretaris noe sasaoeran dina ieu pasamoan cemoem teh aja toedjoeh, njeata Ajengan Hamzih Hamid ti Tjitjalengka (bagian Agama) Rd Ihwan ijeung Rd Danoe (bugean masjrakat oemoem), Djenal Arifin, Consul NO Pasoendan ti Betawi, H Siti Fatimah djeung H Achmad, doeanana moealap Walanda ti Tjiparaj.” 

[Selain ketua dan sekretaris pembicara pada pertemuan itu ada 7 orang, di antaranya adalah Ajengan Hamzah Hamid dari Cicalengka (bagian agama) Rd. Ihwan dan Rd. Danoe (bagian masyarakat umum), Djenal Arifin (maksudnya KH Zainul Arifin) Consul NU Pasundan yang tinggal di Jakarta, H. Siti Fatimah dan H. Achmad, 2 orang Belanda yang baru masuk Islam (mualaf) dari Ciparay.]

Sayang, Sipatahoenan tidak menjelaskan bagaimana ceritanya Fatimah dan Achmad memeluk Islam. Tidak pula diceritakan di hadapan siapa mereka berdua membacakan dua kalimat syahadat. 

Sipatahoenan hanya menyampaikan, pada pertemuan itu, Siti Fatimah turut berbicara. Ia menjelaskan tentang kemuliaan ajaran Islam. Selain itu juga ia menjelaskan perihal poligami. Namun, Sipatahoenan tidak memuat pandangannya tentang poligami dari sisi setuju atau tidaknya. 

Sementara mualaf Belanda yang satunya lagi, H Achmad, yang merupakan putra dari Siti Fatimah, pada kesempatan itu hanya membaca Al-Qur’an. 

Lima tahun sebelumnya, pada 1934, kegiatan NU Bandung yang berlangsung di Cicalengka dihadiri seorang mualaf Belanda kenamaan pada bidang arsitektur, Wolff Schoemaker. Al-Mawaidz No. 30, 24 juli 1934, melaporkan kehadiran Wolff Schoemaker pada berita dengan judul “Openbaar NU Cicalengka”:

“Wakil Cabang nu aya ti: Tasikmalaya para juragan Soetisna Sendjaja, Roehiat, Hoelaemi jeung Haji Noe’man, ti Bandung Juragan Hasboelah jeung Soelaeman. Profesor Kemal Wolff Schoemaker ogé aya jeung Juragan Banam.“ 

[Pada kegiatan NU Bandung di Cicalengka itu dihadiri pengurus NU Cabang Tasikmalaya, yaitu Sutisna Senjaya, KH Ruhiat, KH Hulaimi, dan H. Nu’man. Sementara dari Bandung sendiri ada Tuan Hasbullah dan Sulaiman. Hadir pula Profesor Kemal Wolff Schoemaker dan Tuan Banam.] 

Wolff Schoemaker adalah arsitek yang merancang gedung-gedung monumental di Bandung, seperti Villa Isola, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, Peneropongan Bintang Bosscha, Bioskop Majestic, Landmark Building, Gedung Jaarbeurs, Penjara Sukamiskin, Gereja Bethel, Katedral St. Petrus, dan Masjid Raya Cipaganti.

Al-Mawaidz tidak menjelaskan alasan kehadiran Wolff, apakah keinginan sendiri atau undangan pengurus. Tidak dijelaskan juga apakah pada pertemuan itu dia diminta untuk berbicara sebagaimana Fatimah dan Achmad.

Abdullah Alawi, peminat sejarah NU, penulis buku Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941 (2023) dan tengah menyiapkan buku Sejarah NU Jawa Barat, Jakarta, dan Banten 1926-1941.


========


Pada Ramadhan tahun ini, NU Online menyajikan edisi khusus bertajuk “Sejarah Kecil NU” tentang kisah orang-orang biasa dan kejadian-kejadian obskur yang sering tenggelam dalam narasi besar sejarah. Selama sebulan penuh, sejarawan partikelir sekaligus Redaktur Opini & Editorial NU Online, Abdullah Alawi, mengisi edisi khusus ini.